Tahun ini (2016) tidak ada pesta demokrasi apapun yang akan diselenggarakan. Baik itu pemilihan Presiden, pemilihan anggota DPR, dan juga pemilihan kepala daerah.
Pemilihan Umum atau Pesta Demokrasi paling dekat yaitu pilkada serentak jilid 2, itupun baru akan dilaksanakan pada tahun 2017. Pilkada serentak jilid 2 atau lebih pas apabila kita sebut Pilkada "hampir" serentak akan diikuti oleh puluhan Kabupaten/Kota dan juga Provinsi di seluruh Indonesia. Kenapa hampir serentak ? Karena pilkada tahun 2017 tersebut tidak berlangsung pada satu hari yang tetap seperti tanggal 9 Desember lalu.
Tentunya kita berharap dengan diadakannya Pilkada "hampir" serentak di tiap daerah akan menimbulkan spirit baru bagi kemajuan bangsa Indonesia pada umumnya dan daerah itu sendiri pada khususnya.
Berbicara pemilihan, apapun itu pasti tidak lepas dari pemilih dan subjek yang dipilih. Pemilih pasti sudah jelas yaitu masyarakat luas yang pastinya juga memiliki beragam latar belakang. Sedangkan subjek yang dipilih ini biasanya merupakan Tokoh masyarakat yang sudah dikenal banyak orang dimana adanya kesesuaian antara perkataan dan perilaku atau bisa juga perorangan yang sebelumnya tidak pernah muncul kemudian didandani layaknya tokoh masyarakat sehingga kelihatan seperti "kaum muda yang menculik Soekarno pada jaman pramerdeka karena ingin percepatan kemerdekaan" kalau jaman sekarang berarti bisa dikatakan ingin melakukan percepatan pembangunan, kurang lebih seperti itu.
Untuk pemilihan anggota DPR kemungkinan perwakilan dari berbagai latar belakang bisa terwakili karena memang anggota DPR itu jumlahnya banyak dan tugasnya memang "mewakili". Sedangkan untuk Pemilihan Kepala Daerah ataupun Presiden sangat tidak dimungkinkan seluruh wakil maju menjadi subjek yang dipilih. Karena tentu yang pertama dan utama adalah faktor modal yang kedua secara hitung-hitungan suara pasti tidak akan masuk akal. "Di kabupaten merah akan dilaksanakan pilkada dengan 75 calon Bupati".
Bicara mengenai hitung-hitungan suara, saat ini yang paling menyedot perhatian adalah Pilkada DKI. Waktu pendaftaran Calon Gubernur belum dibuka namun beberapa tokoh sudah menyatakan sikapnya. Ada yang maju sebagai incumbent ada yang secara lantang akan maju sebagai penantang dan ada juga yang malah mengundurkan diri dari peta persaingan calon gubernur DKI. Padahal memiliki basis masa yang kuat dan terbukti kualitasnya di tingkat Ibukota Provinsi Jawa Barat. Ini membuktikan bahwa menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dapat menjadi momok tersendiri bagi perorangan yang tidak mau atau belum mau menerima tantangan yang diajukan oleh DKI Jakarta atau memang memiliki pandangan lain terkait Pilkada DKI.
Namun bisa juga sebaliknya bahwa memang gengsi atau prestis menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta itu sangat tinggi.
Ditambah lagi dengan Pak Jokowi yang tampil sebagai Presiden setelah menduduki jabatan gubernur DKI Jakarta. Dari hal tersebut memunculkan anggapan bahwa "jadi Presiden harus jadi gubernur DKI Jakarta terlebih dahulu".
Bakal calon dari kubu incumbent, dipastikan akan maju lagi di pilkada mendatang mengingat tingkat elektablitas yang terus menanjak terutama setelah pembongkaran area kalijodo. Yang paling hebatnya lagi meskipun incumbent, bakal calon ini dimungkinkan tidak menggunakan jalur partai sebagai kendaraan politiknya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Basuki Thahaja Purnama atau biasa disapa Ahok memiliki basis pendukung bernama Teman Ahok.
Basis ini diharapkan mampu menjawab tantangan yang diberikan Ahok yaitu dapat mengumpulkan 7,5% fotokopi ktp sebagai syarat dirinya maju melalui Jalur Independen. Sekitar 700ribuan fotokopi ktp terkumpul namun belum ada nama untuk mengisi kursi kosong di tempat wakil. Fotokopi ktp tersebut menjadi sia-sia karena syarat untuk maju melalui jalur independen menurut peraturan kpu yang di calonkan adalah pasangan bukan perorangan. Artinya teman Ahok harus mengumpulkan lagi fotokopi ktp tersebut dari nol dengan menyertakan nama calon wakil gunernurnya.
Djarot yang notabene Wakil Gubernur DKI Jakarta sekarang disebut-sebut tidak populer dikalangan teman Ahok. Karena dianggap memiliki afiliasi dengan PDI-P, yang ditakutkan adalah profesionalitas Djarot akan tergadai dengan balas budi terhadap partai. Sehingga akhirnya diputuskan Heru sebagai Calon Wakil Gubernur menemani Ahok. Heru merupakan PNS Pemprov DKI Jakarta yang dikenal bersih saat menjalankan birokrasi sehingga sempat menjadi Walikota Jakarta utara. Saat ini Heru menduduki Jabatan sebagai Kepala Badan Pengelola Aset Daerah DKI Jakarta. Heru dipercaya mendampingi Ahok karena tidak terindikasi berafiliasi dengan partai apapun. Sehingga profesionalitasnya tidak diragukan lagi.
Kemudian setelah teman Ahok menyatakan siap mengumpulkan satu juta ktp. Dari kubu penantang datang Adhyaksa Dault yang menamakan basisnya sebagai relawan muda adhyaksa dan juga kawan adhyaksa. Jalur Independen juga sepertinya sedang dijajaki oleh Mantan Menpora ini. Kemudian Yusril Ihza Mahendra yang memiliki latar belakang hukum dan juga merupakan Ketua Umum Partai Bulan Bintang juga sedang menghitung peluang apabila maju melalui Jalur Independen. Untuk saat ini yang kemungkinan maju melalui jalur Partai adalah mantan menpora Roy suryo dari Partai Demokrat. Kemudian Haji Lulung yang belakangan tengah mendekati petinggi-petinggi Partai Gerindra. Dan dapat dipastikan akan bersaing ketat dengan Sandiaga Uno yang kemungkinan juga akan diusung oleh Partai Gerindra.
Sosok Gubernur Independen idealnya memiliki integritas tinggi karena bertanggung jawab langsung kepada rakyat bukan lagi partai. Sosok tersebut tidak akan memikirkan "partai besok makan apa ?" Karena ingin membalas budi sudah meminjam "kendaraannya". Jangankan untuk membalas budi terbersit kata partai saja Tidak !!! Sehingga tren calon pemimpin dari jalur independen nampaknya akan menjalar ke seluruh bagian tanah air ini. DKI HARUS menjadi TRIGGER !!! Bisa dibayangkan seluruh birokrat bekerja sesuai dengan keahliannya (read:profesional). Tanpa ada ancaman utang budi. Betapa Indahnya suasana Indonesia saat masa itu tiba.
Mari bergerak sebagai Insan Muda yang menjunjung tinggi Idealisme. Kita percepat suasana yang indah itu agar segera sampai. Hingga pada akhirnya kita bisa merasakan bagaimana menjadi Negara Superpower Ketiga.
Â
Â
JAKARTA, MARET 2016
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H