Disclaimer : Tulisan ini tidak bertujuan untuk menyudutkan salah satu penganut ajaran tertentu, tetapi sebuah bentuk keprihatinan dari berubahnya salah satu aset bangsa (PKS) menjadi sosok yang sulit dipahami lagi warnanya.
KAMMI Sebagai Cikal Bakal PK
Pada masa gerakan 98, hampir seluruh mahasiswa bergerak untuk menentang Suharto, mereka membuat kelompok-kelompok yang merepresentasikan ideologi dan kepentingan mereka, tidak hanya kelompok lama (PRD, Kacang Panjang, Forkot dll) atau organisasi yang telah mapan (PMII, GMNI, HMI dll), tapi juga kelompok-kelompok baru, bahkan kelompok Mahasiswa yang tergabung gerakan Tarekat mendeklarasikan bentuknya menjadi kesatuan aksi mahasiswa muslim indonesia (KAMMI) yang dimotori oleh Ahmad Sumargono.
Dalam gerakan mahasiswa 98, KAMMI memberikan warna tersendiri, bukan hanya berseragam berbeda tetapi dengan tuntutan yang berbeda pula disamping menuntut turunnya Suharto, yaitu pelaksanaan Piagam  Jakarta, khususnya terkait dengan Pelaksanaan Syariah Islam bagi Pemeluknya. Tuntutan ini membuat kepincut beberapa kelompok mahasiswa khususnya mahasiswa takmir masjid yang sebenarnya bukan anggota kelompok Tarekat manapun akhirnya bergabung ke dalam KAMMI, bahkan sampai hari ini.
Pergerakan mereka yang militan dan dimotori kaum muda yang tentunya saat ini sudah menua seperti Fahri Hamzah dkk, menjadi daya tarik tersendiri, bahkan mereka pada 1998 mentransformasi dirinya menjadi Partai Keadilan (PK), dengan pimpinan Nurmahmudi Ismail, dengan tujuan yang mulia memberantas KKN dan menegakan Syariat Islam bagi pemeluknya.
PKS ketika masih PK
Citra PK saat didirikan sangat bagus, sangat anti korupsi, kolusi dan nepostisme dan memegang Syariah Islam dengan sangat teguh, bahkan pandangannya tentang Poligami saat itu adalah negatif artinya menentang Poligami, terbukti mereka sempat menentang AA Gym untuk Poligami.
Pada saat pemilu pertama di Era Reformasi, sayangnya suara PK sangat kecil dan tidak menembus Parlementary treshold. jadinya mereka teranulir tapi perjuangan mereka untuk memberantas KKN dan mengembalikan Pancasila seperti aslinya yang termuat di Piagam Jakarta sangat kuat, sehingga menimbulkan simpati yang luas, khususnya pada mahasiswa masjid, dengan konsep partai kader dan 1 kader menduplikasi menjadi 4 kader baru, membuat gerakan mereka sangat masif, ya mereka berhasil mengembangkan kader dengan jumlah yang sangat besar bahkan menggeser PBB yang sebenarnya memiliki ideologi yang sama.
Transformasi PK menjadi PKS
Pada saat awal dideklarasikan menjadi PKS, citra yang dimiliki oleh PK sangat baik, sebagai partai putih yang benar-benar putih, HNW telah menunjukkan pola hidup yang sangat sederhana sebagai seorang ketua MPR, berangkat ngantor dengan Bus umum dan rumah sederhana di Pasar Minggu menjadi daya tarik yang kuat bagi masyarakat untuk mendukung PK. Benar, citra yang dimiliki oleh PK saat itu sama dengan citra yang dimiliki oleh seorang Jokowi saat ini.
Muncul kerelawanan dari masyarakat untuk mendukung PK menjadi partai besar dengan sangat masif, bukan hanya di kalangan muda, kalangan birokrasipun sempat terkiwir-kiwir dengan gerakan PK ini. Masalah mulai muncul ketika PK yang telah berubah menjadi PKS menerapkan program baiat untuk menjamin kesetiaan dari pendukung dan kadernya, sebagian besar relawan non partisan loncat dan meninggalkan PKS, hal ini diperparah dengan mulai munculnya penyimpangan perilaku menurut kaca mata norma ketimuran dari para pengurus PKS yaitu mempertonotonkan kekayaan dan mengoleksi Pushtun. Ya pada titik ini muncul gerakan balik kucing dari seluruh kader abal-abal PKS, baik yang sudah dibaiat apalagi yang belum dibaiat untuk keluar dari PKS.
Kekuasaan telah Membutakan PKS dari Dakwah
PKS sebagai Partai Kader sekaligus Partai Dakwah telah bergeser, mereka lebih mengutamakan merebut kekuasaan dari pada mengembangkan dakwah. Hal ini terlihat dari semakin merosotnya simpatisan PKS, kasus LHI dan para Pustunnya telah menjadi peluru tajam yang menghajar PKS, apalagi ditunjang dengan perilaku dari para kadernya yang semakin jauh dari Piagam Jakarta yang diperjuangkannya, membuat sebagian besar masyarakat menjadi tidak simpati dengan PKS. Fahri Hamzah yang dulu setiap cuitannya menjadi acuan bagi masyarakat untuk mengkritisi Pemerintah, malah menjadi cibiran untuk saat ini.
PKS telah jauh dari Dakwah, PKS sebagai kumpulan ahli Tarekat telah menyimpang dari hakekat, cerminan yang nyata adalah pada website mereka di PKS Piyungan dan VOA Islam, lebih banyak membahas masalah politik (baca : kekuasaan) dibandingkan dengan memuat masalah  Syariah apalagi Hakekat.
Semangat Masyumi dan Tarekat semakin menghilang dari PKS saat mulai mendukung pasangan Prabowo Hatta, ya demi mendapatkan kekuasaan mereka menjadi sangat dekat dengan kaum lain. Bahkan kedekatan mereka ini dimanfaatkan oleh para pejuang kaum lain itu untuk melakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang keimanannya masih mengembang guna menyebarkan luaskan ajarannya. Kondisi ini menjadi tidak menguntungkan pada proses Dakwah, alasan pembenar yang dilakukan oleh para petinggi PKS yang menganggap Prabowo adalah panglima muslim Indonesia adalah salah besar, terbukti dalam prosesnya pasca dideklarasikan di Masjid Sunda Kelapa, acara berikutnya adalah kebaktian demi kebaktian, bahkan yang menyedihkan para pimpinan PKS terlibat di dalamnya walaupun diklaim hanya sebagai tamu.
PKS telah Menjadi Alat Bagi Kaum Lain untuk Berdahwah
Seiring dengan semakin emosionalnya pertarungan dalam Pilpres, merubah sosok PKS menjadi partai yang semakin sulit dipahami warnanya, berbagai tulisan dalam website pendukung mereka semakin jauh dari akidah, tanpa didasari oleh bukti yang kuat, mereka berani memberitakan kebohongan demi kebohongan, bahkan ketika secara iseng poto Jokowi yang menggunakan Ihram dibalik langsung disambar menjadi fitnah.
PKS telah kehilangan ruh-nya untuk menegakkan dakwah, bahkan cenderung menyediakan dirinya dihancurkan kredibilitasnya serta mulai bergeser menjadi alat pembenar bagi kelompok dengan keyakinan lain untuk menyebarkan ajarannya, mereka bahu - membahu untuk memenangkan Prabowo Hatta, tetapi dibalik itu upaya penyebaran ajaran dari kaum lain mendompleng untuk memperkuat dakwah ajarannya.
Warna Dakwah Islamiyah yang semula tiga warna Hijau (NU, NW dkk), Biru (Muhammadyah dkk) dan Putih (Tarekat yang dimotori PKS) telah kehilangan salah satu warnanya, dan tinggal warna-warna Islam tradisional yang tetap secara eksis menangkis gempuran modernisasi dan kebebasan informasi untuk memperkuat keimanan para pengikutnya, sedangkan PKS sedang mabuk kekuasaan dan menjadi alat bagi kaum nlain untuk memperkuat ajaran dakwahnya dengan menggerogoti kredibilitas benteng keislaman yang paling militan dan berbasis pada para cendekiawan muslim muda di kampus-kampus  ini. Alangkah sayang sesuatu yang didirikan dengan baik dan diniatkan untuk kejayaan Islam di tanah air berakhir dalam lautan kebohongan dan fitnah.
Sebuah Harapan
Tidak ada harapan yang lebih besar dari keluarnya PKS dari rombongan itu, dan menjadi dirinya kembali yang santun tapi nylekit dan hanya menyerukan kebenaran tiada lain karena kebenaran. Rindu sekali dengan cuitan Bang Fahri Hamsah yang smart, santun tapi nylekit dan berisi kebenaran, seperti pada era-era awal pemerintahan SBY, sehingga bisa dijadikan referensi tentang kebenaran bagi para penyimaknya, dan dapat disandingkan dengan sindiran Bang Poltak.
Saya bukanlah pendukung PKS tetapi saya sangat menyanyangkan jika PKS harus kehilangan warna aslinya dan menjadi sesuatu yang begitu mudah dihina-dina, walaupun saya sangat yakin kader-kadernya dapat membela diri dengan baik, tapi itu tidak akan membuat PKS kembali dicintai layaknya PK dahulu kala.
Ini Indonesia, yang penuh dengan warna, tapi sangat sayang jika ada satu warna yang tercipta kemudian menghilang atau menyatu dengan warna lainnya karena para pemujanya tidak bisa menjaga kecerahannya.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H