Mohon tunggu...
Sofyan Sjaf
Sofyan Sjaf Mohon Tunggu... -

Pemerhati Sosial dan Politik Pertanian dan Pedesaan. Juga Sebagai Pegiat Komunitas Agroekologi Kolektif Bogor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agroekologi dan Pembebasan Petani Kecil

25 Juli 2010   00:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:37 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melambungnya harga cabe di pasaran hingga menembus angka Rp. 60.000 per kilogram, membuat republik ini “goyang”. Rakyat berteriak dan para pengamat sibuk mencari akar persoalan tingginya harga cabe. Sebagian pengamat beranggapan kenaikan harga cabe terkait dengan kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Sebagian lainnya beranggapan naiknya harga cabe disebabkan bekerjanya mekanisme pasar setiap tahunnya saat menjelang hari besar Islam (puasa dan lebaran). Namun argumentasi tersebut ditepis Suswono (Mentan RI) yang mengatakan bahwa kenaikan cabe bukanlah disebabkan kenaikan TDL dan bekerjanya mekanisme pasar, melainkan akibat dari kondisi iklim yang tidak menentu.

Fenomena di atas belumlah seberapa, jika dibandingkan melambungnya harga komoditi pangan pokok (seperti: beras, telur, dan sayuran) yang bisa mencapai dua hingga lima kali dari harga yang ada saat ini. Kemungkinan terjadinya fenomena ini, bukanlah hal yang mustahil dengan sistem pertanian yang memiliki ketergantungan input produksi dari luar sumberdaya milik petani. Tulisan ini mencoba mengkonstruksi bahwa fenomena “pedasnya” harga cabe yang dirasakan rakyat Indonesia merupakan fenomena kegagalan sistem pertanian yang mengarusutamakan peran korporasi, ketimbang kebutuhan dan kesejahteraan petani kecil, serta kelestarian lingkungan.

Sistem pertanian yang pro korporasi sejak lama berlangsung di Indonesia.Ketika rezim Orde Baru (tahun 70-an) menerima modernisasi pertanian sebagai cara bertani yang mampu menjawab persoalan kebutuhan pangan terkait dengan ledakan penduduk. Teknologi tinggi (high technology) yang ditandai dengan penggunaan traktor dan sejenisnya, varietas unggul, pupuk kimia, dan lain sebagainya adalah penanda dari sistem pertanian ini. Bahkan disebagian petani kita, sistem ini sudah menjadi kultur produksi. Dimana petani akan berhenti berproduksi manakala harga bahan bakar dan pupuk melambung tinggi. Penyebabnya adalah ketergantungan terhadap input pabrikan dalam bertani. Dengan demikian, keberlanjutan aktivitas produksi petani ditentukan dari kemampuan petani menyediakan input pabrikan dan belas kasih dari korporasi. Inilah kondisi yang semakin mengaleanasi petani kecil di negeri ini.

Realitas di atas berbeda jauh dengan sistem pertanian yang berpijak pada kebutuhan petani kecil dan kelestarian lingkungan.Cara bertani ini menekankan pada sistem pertanian yang menyatu dengan alam dengan sebutan agroekologi. Seluruh input produksi berasal dari sumberdaya yang ada disekitar petani, bukan input produksi yang berasal dari pabrikan. Tenaga kerbau/sapi, gotong royong tenaga kerja, varietas lokal, dan pupuk alamiah (organik) adalah input produksi yang mudah ditemukan. Bahkan bekerjanya dualisme ekonomi di kehidupan tumah tangga petani adalah strategi sekaligus modal sosial petani yang dapat diorientasikan untuk pembangunan komunitas pedesaan untuk keluar dari “jurang kemiskinan”.

Pembebasan Petani Kecil

Agroekologi adalah cara bertani yang sangat adaptif dengan kultur kaum petani yang minim modal untuk menyediakan input produksi sebagaimana yang disyaratkan sistem pertanian yang pro korporasi. Alam sekitar dan kultur petani adalah modal dasar untuk bertani secara ekologis. Dengan tidak merombak (merusak) ekologi yang ada, bertani dapat dilakukan dengan minimum input, alami, dan berkelanjutan yang banyak kita temukan di pelosok-pelosok pedesaan Indonesia.

Bertani dengan konsep ini bukanlah sekedar inisiatif menyangkut hal-hal yang sifatnya teknis, namun desakan munculnya model pertanian baru sebagai kritik atas model pertanian saat ini yang pro korporasi.Suatu model pertanian yang mampu menjawab kesejahteraan ekonomi petani kecil, menyediakan pangan yang menyehatkan bagi keluarga dan kebutuhan lokal, memulihkan kembali ekologi yang rusak, termasuk mengembalikan kelembagaan petani sesuai dengan cita-cita kaum tani.Agroekologi adalah model pertanian baru yang mengarusutamakan kekuatan petani kecil beserta kultur bertani yang melekat di dalamnya.

Model pertanian agroekologi di dunia kini berkembang dengan pesat, meski nyaris tanpa dukungan dari pemerintah. Bahkan di Indonesia, telah ditemukan Pusdiklat milik petani yang menerapkan konsep agroekologi. Humberto Rios seorang intelektual asal Kuba dapat dijadikan sebagai spirit kebangkitan petani kecil dengan agroekologinya.Rios sebagai peraih Hadiah Lingkungan Goldman telah membuktikan bahwa pertanian ekologis mampu meningkatkan produksi panen mulai dua kali hingga tiga kali lipat. Bahkan kerusakan tanah akibat penggunaan berlebihan bahan kimia selama bertahun-tahun mulai pulih. Semua ini dicapai dengan membiarkan petani memilih bibit yang sesuai dengan kondisi khusus mereka (ekologis).

Perkembangan lainnya begitu menajubkan, dimana negara-negara maju telah mengintegrasikan konsumen dengan petani melalui pola consumer supported agriculture (CSA). Penelitian Internasional Assesment on Agricultural Knowledge and Science and Technology for Development (IASSTD) tahun 2008 menyebutkan pertanian konvensional (pro korporasi) tidak lagi bisa diharapkan untuk menyelesaikan kesejahteraan petani, problem kelaparan dunia dan juga krisis ekologis.IASSTD dalam kesimpulannya secara tegas menaruh harapan pada pertanian ekologis atau agroekologi.

Sudah saatnya petani kecil dan mereka yang prihatin (ilmuwan dan aktivis) menyadari untuk tidak lagi berharap kepada sistem pertanian yang diterapkan di negeri ini.Melainkan kekuatan modal sosial dan budaya petani kecil merupakan pondasi kuat untuk membangun karya besar pertanian di negeri ini. Untuk itu, kembali ke pertanian ekologis berkarakter sosio-culture petani keciladalah keniscayaan yang membebaskan petani kecil dari belenggu sistem pertanian saat ini.Agroekologi adalah anti-tesis pertanian neolibyang menjadi kebijakan pemerintah saat ini.

*) Penulis adalah Dosen Sosiologi Pedesaan FEMA IPB dan Pegiat Komunitas Agroekologi Bogor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun