Mohon tunggu...
Satto Raji
Satto Raji Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Freelance Worker for Photography, Content Writer, Sosial Media,

Belajar Untuk Menulis dan Menulis Untuk Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terima Kasih Ibu; Untuk Semuanya

24 Desember 2015   14:44 Diperbarui: 24 Desember 2015   17:25 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="illustrasi foto shutterstock/kompas.com"][/caption]

Kisah sepasang manusia melewati sebuah fase kehidupan, kami bukan siapa-siapa hanya ingin berbagi cerita.

Rabu, 27 Februari 2013 18:00

Saya bersama istri tercinta, jadwalkan untuk periksa USG 4 dimensi disebuah klinik di daerah harmoni. Kami baru sekali datang kemari, tapi entah kenapa kami langsung “klick” dengan pembawaan sang dokter yang lugas dan blak-blakan tapi tidak menyinggung kami. Bahkan kami semakin yakin untuk  menyunat sikecil (menurut mesin janin di perut istri saya adalah perempuan) setelah dokter memberikan penjelasan dalil agama yang tidak terkesan menggurui dibumbui dengan aspek ilmiahnya.

 Setelah melakukan pemerikasaan dan  berdasarkan riwayat kehamilan istri, Dokter mendiagnosis bahwa ada kemungkinan anak kami akan lahir premature. Tanggal kelahiran jadi tidak bisa diprediksi, bisa dimana dan kapan saja, bahkan dengan resiko pendarahan. Untuk itu dokter menyarankan untuk dirawat selama 1x24 jam untuk diberikan suntikan penguat jantung bagi si janin. Menjaga kalau memang lahir sebelum waktunya, organ paru-paru dan jantungnya sudah siap, karena organ inilah yang sempurna paling akhir dari tahap perkembangan janin.

Kami meminta waktu untuk berfikir dahulu setelah selesai pemeriksaan. Di ruang tunggu kami berdiskusi, khawatir dengan kesibukan istri tercinta yang masih suka wara-wiri tugas peliputan maka dengan modal pakaian selepas kerja yang ada dibadan, kami putuskan untuk dirawat di klinik yang sederhana tersebut.

 Keluarga di rumah panik ketika kami memberi kabar istri saya dirawat, namun kami berusaha menenangkan karena ini untuk kepentingan janin di dalam kandungan istri dan juga kebaikan istri saya.

Suntikan untuk penguatan jantung diberikan per-6 jam sekali dan ada 4 kali suntikan. Kalau melihat hitungan kurang lebih besok malam kami sudah bisa pulang. Setidaknya itu jawaban penenang yang bisa kami berikan bagi keluarga dirumah.

 

Kamis, 28 Februari 2013 17:00

Papah saya datang untuk menjenguk dari pagi hari, setidaknya bisa menemani istri saat saya harus keluar membeli berbagai keperluan. Suntikan sudah diberikan untuk ketiga kalinya, tinggal satu kali lagi maka kami bisa pulang kerumah. Efek dari suntikan tersebut kurang lebih gatal-gatal, sedikit pedih seperti di gigit semut di sekujur tubuh. Saya hanya bisa menghibur sambil berusaha menenangkan. Kami lalui sore itu dengan bersenda gurau, bahkan saat istri berujar perutnya kontraksi saya tanggapi dengan santai.

“kok kamu tau rasanya kontraksi..?”. Karena ini adalah kehamilan pertamanya yang sampai di usia kandungan 8 bulan. Kehamilan sebelumnya usia janin hanya bertahan 2.5 bulan karena ada problem kekentalan darah istri saya yang di atas rata-rata.

“Perutku mules..”

“Mungkin mau ke toilet..”Ujarku masih coba menenangkan. Yang di sambut senyum istriku sambil menahan sakit. Memang beberapa kali istri mondar-mandir ketoilet tapi tidak juga BAB.

Selang beberapa menit, tiba-tiba istriku berujar dengan nada gelisah.

“Kok aku kaya ngompol ya,..kasurku basah”

“Masa sih, sebelumnya gak kerasa mau pipis..?” Ujarku sambil masih berusaha tenang dan coba melihat kebalik badannya.

Dan sesaat saya membalik tubuhnya, mata saya seakan tidak percaya melihat yang terjadi. Kasur istri saya sudah dipenuhi cairan kental berwarna merah.

Darah, ya darah keluar sangat banyak di atas tempat tidurnya, menggenang hampir memenuhi seluruh kasur yang dilapisi perlak (bahan anti air) Tidak ada waktu untuk berfikir, saya langsung turun memanggil suster, sementara Papah menjaga istri saya di kamar.

Dua orang suster segera naik ke atas dan  tampak jelas terlihat panik, sementara darah belum berhenti keluar, di putuskan untuk membawa istri saya untuk turun dari ruang perawatan di lantai 3.

Jujur membawanya turun bukan persoalan gampang, tidak ada tangga jalan apalagi lift, untuk itu kami harus melalui tangga yang lebarnya tidak lebih dari 3 orang dewasa saat berjajar dan melihat kondisi istri yang makin melemah  kami putuskan untuk menggendongnya. Namun dengan sigap istri saya berucap.

“Nggak usah, turun sendiri aja aku kuat kok”.

Saya dan Papah tertegun sejenak, namun melihat keyakinan istri, saya pun mengiyakan sambil membantunya untuk menuruni tangga.

Sampai dilantai 2, beruntung dokternya sudah hadir dan siap di ruang tindakan. Sesaat istri saya sempat berkomunikasi dengan dokter untuk menanyakan keadaanya. Yang saya lihat saat itu, istri sudah terlihat sudah mulai pucat karena darah yang keluar tiada henti.

Diruang tindakan dokter bergerak cepat, mempersiapkan 4 infus sekaligus dan mengecek tekanan darah. Yang saya ingat saat itu ada satu infus yang di pompa cepat untuk bisa masuk ke dalam tubuhnya entah untuk apa. Saya hanya bisa terdiam di samping istri saya sambil mengajak ngobrol  sementara, Papah saya mengusap kepalanya sambil memanjatkan doa dan dzikir.

Satu kata yang saya ingat dari dokter saat itu adalah.

“Ibu jangan tidur ya,,…”.

Mendengarnya saya langsung shock kerongkongan terasa tercekat, teringat adegan di film saat seseorang korban terluka parah dan rekannya berusaha agar korban tetap terjaga. Kalau sampai tidak sadarkan diri, hal yang paling buruk yaitu kehilangan nyawa bisa terjadi.

Ketahanan saya runtuh, akal sehat saya hilang memikirkan hal yang terburuk. Sungguh saya belum siap. Dan saat saya memegang kakinya, yang saya rasakan adalah dingin,..sangat dingin. Saya makin kalut.

Saya keluar sejenak untuk mengabari ibu mertua, di iringi suara sayup-sayup adzan maghrib sore itu dengan terbata menahan tangis saya kabari kondisi istri. Ibu mertua pun tidak kalah panik terdengar dari suaranya karena istri saya satu-satunya perempuan dari 7 bersaudara. Saya hanya meminta doa agar istri bisa melewati kondisi kritis ini.

Setelah mengabarkan keluarga di rumah, selama beberapa detik pikiran saya kosong. Hanya mampu bersandar pada dinding klinik yang dingin tidak tahu harus berbuat apa selain berdoa. Kehadiran Papah yang tidak di sengaja hari itu merupakan berkah tuhan yang terbaik. 

Selintas dari ruang perawatan terdengar dokter meminta istri saya untuk terus menceritakan apa yang dia rasakan. Dengan sisa tenaganya istri saya memberitahu apa saja yang dirasakan, kondisinya yang mulai dingin, mengantuk dan lain sebagainya. Ternyata ini menjadi patokan untuk dokter mengambil tindakan yang tepat.

“Untung istri ada komunikatif” ujar dokter. Sesaat setelah pendarahan hebatnya bisa dihentikan dan langsung di bawa kerumah sakit Pulomas, Cempaka Putih untuk menjalani operasi cesar.

Kurang lebih jam 20.00 istri saya masuk ruang operasi untuk tindakan cesar dan tidak berapa lama saya kembali dipanggil untuk melihat “Jagoan” kecil kami yang masih menangis karena baru menyesuaikan diri di suhu ruangan. Saya takjub melihat lucu jari jemari kaki dan tangannya, lentik bulu matanya dan renyah suara tangisnya.

3 jam terpanjang selama hidup saya, melihat istri berjuang antara hidup dan mati, mempertahankan semangatnya untuk tetap terjaga sampai akhirnya bisa melewati masa kritis dan berhasil melahirkan buah hati kami. Dia sudah menjadi pahlawan bagi saya, mengingatkan saya bahwa hidup dan mati saya juga untuk keluarga kecil kami. Dia juga pahlawan  bagi “jagoan” kecil kami, karena berhasil mempertahanakannya untuk bisa bertemu kami di dunia ini.

[caption caption="mereka sumber inspirasi dan semangatku"]

[/caption]Terima kasih istriku tercinta sudah memberikan ayah pelajaran yang luar biasa berharga, terimakasih Papah yang sudah mendampingi saya di saat kritis, terimakasih Ayah dan Ibu yang sudah mendoakan kami dan terima kasih untuk perawat dan dokter di klinik sederhana itu. Entah apa yang terjadi kalau kami tidak dirawat malam itu. Istri saya bisa mengalami pendarahan hebat di mana saja. Tuhan bekerja dengan caranya sendiri. Terima kasih Ya Allah.

Tulisan ini untuk semua Ibu dimanapun kalian, dan untuk Almarhumah Mamah. Maaf belum memberikan yang terbaik setelah semua kasih sayang yang kau berikan selama ini.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun