Mohon tunggu...
Satto Raji
Satto Raji Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Freelance Worker for Photography, Content Writer, Sosial Media,

Belajar Untuk Menulis dan Menulis Untuk Belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Dolly di Kota Pahlawan

30 April 2015   16:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:30 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_380972" align="aligncenter" width="600" caption="sumber foto: KOMPAS.com/Achmad Faizal "][/caption]

Kurang lebih 10 bulan sudah lokalisasi terbesar di asia tenggara itu tidak beroperasi. Penutupan Dolly oleh pemerintah kota Surabaya merupakan langkah yang tepat dengan cara yang tidak tepat. Kenapa tidak tepat; karena dengan menutup lokalisasi itu secara menyeluruh dan tidak bertahap hanya akan membawa masalah sosial baru bagi kota Surabaya.

Para PSK kini lebih luas jangkauan operasinya tanpa bisa di awasi pemerintah. Mereka secara sporadis menawarkan jasa mereka tanpa memikirkan keselamatan dan kesehatan, karena pikiran mereka terkonsentrasi mencari pelanggan secara sembunyi-sembunyi dan resiko di kejar-kejar satpol PP.

Kalau dilihat dari sisi lainnya, penutupan Dolly akan menyulitkan para relawan atau Pemkot yang selama ini kadang mengunjungi Dolly untuk cek kesehatan atau sekedar mendata para PSK. karena kini mereka tidak tahu keberadaan mereka. Resiko penyakit kelamin khususnya HIV sangat berpotensi bagi para PSK jika tidak diberikan edukasi yang intensif.

Langkah Pemkot membagikan sejumlah uang kepada para PSK sama sekali bukan solusi yang menyentuh akar permasalahan. Mereka menjadi PSK bukan karena hobby, mereka terpaksa karena keadaan dan kesempatan kerja. Jika uang mereka habis, tinggal tunggu waktu saja, saat mereka kembali ke jalan.

Bahkan sudah ada beberapa PSK yang kembali secara sembunyi-sembunyi ke Dolly untuk beroperasi. Walau bukan di wisma, tapi keberadaan mereka cukup memprihatinkan. Ada seorang PSK yang sudah positif HIV dan tetap menerima pelanggan. Yang lebih mengejutkan beberapa pelanggan justru tidak mau menggunakan alat kontrasepsi saat melakukan hubungan badan.

Tidak terbayangkan kalau pria hidung belang ini melakukan hubungan dengan istri mereka di rumah, juga tidak berani membayangkan anak yang akan lahirkan nantinya.

“Saya sudah sarankan untuk pakai, tapi mereka nggak mau…”Jelas PSK itu.

Kalau sudah seperti ini siapa yang harus bertanggung jawab.

Saya terinspirasi dari program AIMAN di Kompas TV mengenai PSK gang Dolly. Terlebih sosok Ibu lilik Setyowati dari yayasan Abdi Asih yang lebih di kenal sebagai Vera. Beliau sudah mendampingi para PSK Dolly selama 20 tahun lebih. Mungkin banyak yang belum tahu sosok vera, termasuk saya.

Wanita ini adalah figur Kartini Indonesia. Saat muda beliau merasa terenyuh saat menyaksikan orang makan nasi kering, sementara dia bisa makan nasi jatah dari pemerintah karena orangtuanya PNS.

Kalau anda bangga dengan Ibu Walikota Surabaya karena berani menutup Dolly. Anda pasti lebih terkesima dengan perjuangan Vera yang berhasil memberdayakan para PSK agar bisa bebas dari jerat mucikari.

Awalnya tidak mudah, Vera harus berkamuflase menjadi penjudi wanita kawakan di area Dolly dan rela menggadaikan rumahnya sebelum bisa masuk ke "komunitas" Dolly. Sangat sulit untuk diterima terlebih lagi Dolly sempat di bekingi oknum aparat.

Setelah di kenal vera memulai langkah sederhana dengan membuat arisan untuk mucikari dan PSK. Bahkan menurut beberapa sumber dia pernah mejadi tukang jamu keliling, agar bisa masuk jauh kedalam wisma dan melihat langsung keadaan para PSK. Yang ternyata tidak seindah seperti saat mereka di pajang.

Sedikit demi sedikit Vera mulai mengontrak rumah yang di jadikan tempat belajar para PSK. Sampai akhirnya sekarang menjadi sebuah yayasan.

Kini perjuangannya sedikit banyak membuahkan hasil, sudah tak terhitung  PSK yang diajarkan keterampilan agar bisa di manfaatkan untuk menambah penghasilan. Saat ini di yayasan Abdi Asih ada sekitar 40 PSK yang masih rutin datang. Sebagian ada yang sudah terinfeksi HIV positif, termasuk anak-anak mereka.

“Tahun lalu ada 15 orang yang meninggal karena HIV, Kalau tidak anaknya yang meninggal duluan, ya Ibunya….” Vera menjelaskan.

Sempat tersirat kekecewaan Vera kepada pemkot yang menutup Dolly tanpa mengajak berdiskusi semua elemen secara menyeluruh. Karena Dolly bukan hanya masalah Prostitusi.

Dolly sudah kadung besar dan mengakar, menutupnya secara langsung tanpa memikirkan pemberdayaan para PSK langkah yang keliru. Tampaknya pemkot tidak bisa mempunyai solusi yang lebih baik dan lebih sabar untuk memecahkan masalah Dolly. Harus konsisten dari tahun ketahun, dari pemimpin satu kepimpin selanjutnya untuk dapat menyelesaikan masalah sosial di Dolly.

Jakarta sudah menjadi contoh kasus, lokalisasi berhasil di tutup tapi bisnis prostitusi tetap membesar di sebagian wilayah Jakarta. Ada yang terselubung tidak sedikit yang terang-terangan di sebuah gedung bertingkat tinggi. Kasus Deudeuh mengingatkan kita, bahwa tidak mudah menyelesaikan prostitusi. Tidak hanya asal tutup lokalisasi menyelesaikan semua masalah.

Permasalah sosial tidak bisa di selesaikan dengan kekuasan dan Perda, Masalah sosial harus di selesaikan dengan pendekatan yang lebih sosialis dan humanis.

Maaf kalau analogi saya salah atau kasar. Kalau ada satu ember berisi air limbah yang sudah kotor, sepertinya tidak bijak kalau kita menuangkan semua isinya keluar karena akan berdampak bagi lingkungan lain. Apakah tidak lebih baik kalau kita ambil sedikit demi sedikit air limbah itu lalu kita saring bersama-sama. Air yang sudah cukup bersih pasti bisa lebih di berdayakan untuk kita semua.

Saya berpikir, alih-alih memberikan uang intensif yang dalam kurun 1 minggu pun bisa habis. Bagaimana kalau PSK yang niat keluar dari masa kelam itu diberikan pendidikan agama dan wirausaha, lalu di rehabilitasi nama baiknya dengan cara mengganti nama di data kependudukan kemudian di tempatkan di wilayah baru agar bisa lebih berdaya guna.

Semacam program transmigrasi untuk para PSK. Di tempat yang baru di harapkan mereka bisa berbaur tanpa takut diskriminasi dari masyarakat yang tidak semuanya mempunyai pikiran terbuka tentang mantan PSK.

Dengan memulai kehidupan yang lebih sederhana pula, diharapkan bisa jadi salah satu benteng mereka agar tidak terbawa gaya hidup saat mereka masih menjadi PSK.

Saya tidak tahu apakah cara ini berhasil, tapi yang saya tahu memberikan intensif ke pada para PSK agar “Insyaf” itu cara yang tidak efektif dan keliru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun