Pada bulan Desember 2017 di kota Purbalingga ada proyek perbaikan trotoar. Panjangnya sekitar dua kilometer. Dari jalan MT Haryono sampai Jenderal Sudirman barat. Proyek ini diawali dengan kegiatan perbaikan gorong-gorong yang ada di bawah trotoar itu.
Seiring berjalannya proyek tersebut, ada yang membuat saya tercengang, tegel merah trotoar lama yang usang itu ternyata diganti dengan keramik merah marun. Bukan warna yang membuat dahi berkernyit, tetapi tekstur keramik yang haluslah penyebabnya.
Pertanyaan yang timbul adalah mengapa dipilih material seperti itu? Bukankah trotoar itu area outdoor, yang jika hujan langsung terkena air. Biarpun tidak terkena air, pada kemiringan tertentu keramik seperti itu membahayakan. Material itu punya karakter licin. Dan terbukti, beberapa orang menjadi korban bahkan sampai ada perempuan yang patah pada pergelangan tangan. Sejak itu muncul protes dari warga agar keramik trotoar diganti.
Dengan mata telanjang dan pengalaman menapaki keramik saja orang akan langsung tahu bahwa berjalan di atas keramik halus itu mesti hati-hati. Mestinya pada tahap perencanaan imajinasinya sampai ke sana. Bukan sekedar hitung-hitungan besaran anggaran. Atau membuat sesuatu yang berbeda dari yang sudah ada untuk estetika semata.
Hal yang sangat mungkin terjadi adalah proses perencanaan tidak melalui kajian matang. Semestinya mengkaji risiko yang ditimbulkan pada suatu pilihan. Bukan sekedar membuat rencana di atas kertas. Sungguh mengherankan, institusi pemerintah daerah yang notabene berisi orang-orang pilihan sampai tidak bisa memprediksi baik buruknya hal yang sederhana itu.
Dan ini sekali tiga uang dengan DPRD kabupaten yang tidak jeli terhadap realita. Setidaknya saat proyek berlangsung sudah bisa melihat adanya kejanggalan. Apalagi terjadi di dalam kota. Anggota dewan bisa mempertanyakan hal itu kepada pemerintah. Bukan baru bersuara setelah ada protes masyarakat.
Berbagai cara dilakukan oleh sebagian warga. Ada yang dengan sengaja mencungkil keramik. Menulis dengan cat semprot di atas keramik: Awas licin! Dan penanda lainnya yang mengharapkan kehati-hatian para penggunanya trotoar.
Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk proyek pencopotan keramik dan pemasangan material baru? Ya, untuk jalan sepanjang dua kilometer itu dialokasikan dana sebesar Rp 830 juta. Sungguh angka yang besar, yang semestinya tidak perlu terjadi jika perencanaan kota benar-benar melalui kajian yang baik.
Ada kemubaziran pada pemasangan keramik trotoar itu. Baik secara material itu sendiri maupun dana yang telah dikucurkan. Dan jika saja perencanaan matang tentu saja ratusan juta bisa dialokasikan untuk kegiatan pembangunan yang lain. Bukan sekedar mempercantik kota.
Memang, untuk ruas jalan tertentu yaitu jalan Jenderal Ahmad Yani, trotoar berkeramik masih utuh. Mungkin karena keterbatasan anggaran sehingga harus menunggu alokasi anggaran tahun berikutnya. Semoga tidak harus ada korban lagi, baru berpikir kembali untuk membongkarnya.