Diketuklah pintu kamar perempuan tua itu. Â Ketukan yang lirih. Â Pencuri itu tak ingin membuat kaget. Â Tiga ketukan. Sampai akhirnya dari dalam kamar menyahut,"Siapa?"
"Saya. Â Saya, Mbah?
Lelaki itu diperkenankan masuk. Â Dan melihat perempuan itu terbujur di atas tempat tidur. Â Agaknya tengah sakit.
"Saya mendengar si Mbah minta  tolong.  Kebetulan saja saya lewat. Saya ingin masuk saja, kebetulan pintunya belum terkunci."
"Syukurlah kalau tidak terkunci. Â Jadi kamu bisa langsung ke sini."
Perempuan itu bercerita keadaan dirinya  satu hari ini.  Untuk berdiri ngilu sekali. Ia menunjukkan pinggangnya. Sakitnya di sini, ujarnya.  Lelaki itu hanya berdiri sambil mendengarkan.
"Tolong kamu ambilkan air minum," perintahnya. "Saya haus."
Lelaki itu keluar kamar.  "Nyalakan lampunya dulu. Saklarnya di tembok  dekat pintu." Terdengar suara lirih dari kamar.
Ia melihat ada teremos di atas meja. Diangkatlah teremos itu untuk memastikan isinya. Â Masih ada. Tutup dibuka. Â Tiga jari diletakkan agak mendekat lubang teremos. Â Airnya cukup panas. Â Dituangkan air itu ke dalam gelas, kemudian membawanya masuk kamar. Disilakan perempuan itu untuk meminum. Â Tapi lelaki itu menunda dengan meniup air itu empat sampai lima kali lebih dulu.
Â
"Kamu Kadirun, kan?"
Pencuri itu hendak terus terang. Â Tapi ia menahan mulutnya. Â Khawatir situasi yang akan terjadi di luar dugaan jika terus terang. Dia pun menyahut,"Ya, ini Kadirun, Mbah."Â
Lelaki itu sadar dirinya berbohong. Tapi ia anggap terpaksa. Â Terpaksa baginya selalu dimaklumi. Â Mungkin mata perempuan tua itu sudah kurang awas. Â Hanya sebatas suara yang ia hafal yang mungkin sama, sehingga lelaki itu dikira Kadirun.