Sebagai tetangga saya pun punya rasa bosan kepada mereka.  Tak bedanya dengan televisi berita, yang  saya hapus dari daftar saluran yang layak ditonton.
Kendati pun begitu, tiap hari mereka bertemu dan bertemu lagi. Kadang sore hari pun keduanya berhadapan  lagi. Di rumah si pensiunan guru itu tentunya.  Tempat yang lebih leluasa bagi si pensiunan tentara yang nggak betah di rumah. Biasanya saat  sore, percakapan mereka ada di ruangan belakang sebelah dapur. Tempat menyimpan perangkat gamelan dan perabot milik RT.
Tidak sedikit pun yang merasa sebal di antara mereka. Agaknya begitu. Atau alergi untuk sekedar mendengar perbedaan pendapat satu sama lain.
Tahukan Anda, kenapa mereka bisa akrab kendati dalam polarisasi politik yang kentara itu?
Jawabannya singkat. Yaitu kesenian.
Kedua pensiunan ini memiliki kemampuan dalam memainkan alat musik gamelan. Â Dari kendang, bonang, gender, gambang keduanya menguasai. Â Apalagi sekedar saron dan demung, alat gamelan dasar yang biasa diajarkan bagi para pemula.
Sekali waktu mereka bersama-sama mengajari anak-anak SD bermain gamelan. Â Tiap sebulan sekali dengan kelompok macapatan melantunkan tembang-tembang Jawa.
Untuk seni kuda lumping, kedua orang ini dedengkot. Di desa ada grup seni bernama Turangga Budaya.  Jangan ditanya berapa honor mereka saat ikut pentas sebagai penabuh gamelan. Paling-paling hanya cukup untuk  beli tiga bungkus rokok.  Tapi semangat keduanya seperti tak punya lelah jika ada yang minta pentas.  Pas hajatan sunatan, hari kemerdekaan RI dan lainnya.
Dan saat berada di habitat kesenian tradisional itu, urusan politik terlupakan dengan sendirinya. Â Tak ada yang saling menyinggung. Â Tak perlu pula ada yang memulai. Â Fokusnya bagaimana bisa tampil bagus, bersinergi dan turut melestarikan seni tradisi.
Jadi, urusan politik tak bikin baper mereka. Â Nggak seperti dirimu....
Pbg, 11 Januari 2019