Pasar ilang kumandange begitu ramalan orang Jawa Kuno, yang bagi masyarakat Jawa sudah akrab di telinga.  Suatu prediksi jangka panjang tentang akan terpinggirkannya pasar, dalam arti tempat ini sepi.
Orang-orang tak ramai belanja di sini. Sehingga kumandang atau suara-suara mereka saat berada di pasar hilang. Pasar yang sepi berarti fungsinya sebagai tempat jual beli menurun.
Ramalan itu makin mendekati kebenarannya saat kita bertandang ke pasar-pasar tradisional di pedesaan. Para pedagang mengeluh sepinya pembeli. Bagi mereka yang puluhan tahun berdagang di sana merasakan perubahan itu.
Bahkan yang terjadi, jumlah pedagang tambah banyak dengan berbagai jenis dagangan. Tetapi tidak sebanding dengan jumlah pengunjung pasar. Â Tentu saja, ini sebatas pengamatan saya yang sering keluar masuk pasar tradisional di pedesaan sekitar tempat tinggal. Â Tapi siapa tahu ini gejala yang tengah melanda di tempat lain.
Pasar tradisional bukan saja tempat bertemu penjual dan pembeli. Sikap dan perilaku orang tercecer di sana pula. Kita akan menemukan pembeli "kejam"yang menawar sampai titik darah penghabisan. Seperti hendak menghalangi pedagang yang ingin untung.
Ada juga orang yang enggan menawar karena tak tega. Kecuali jika belanja banyak. Ada penjual yang mudah tersinggung jika ada orang mendekat tapi tak beli. Â Ada yang menerima sebagai hal wajar.
Aneka cara digunakan oleh penjual untuk laris. Dari kesantunan yang ditunjukkan lewat ucapan, berpakaian yang tidak asal-asalan, hingga penggunaan "penglaris" yang di dapat dari mendatangi tempat keramat ataupun "orang pintar". Begitulah strategi dagangnya.
Dalam masyarakat Jawa dikenal lima hari pasaran, yaitu manis, paling, pon, wage, kliwon.  Nama pasar biasanya berdasar kelima hari itu.  Dan di saat hari pasaran  itulah keramaian lebih kentara ketimbang hari biasa. Apalagi jelang Idul fitri, ramainya bukan main yang disebut sebagai prepegan.
Keramaian pasar begitu ditunggu, bukan saja oleh pedagang barang dan hewan ternak. Banyak orang yang menjual jasa di sana. Tukang jahit, tukang patri, juga tukang cukur dan tukang arloji. Semua mencari peruntungan dari keramaian pasar itu.
Sekarang berbeda. Lambat dan pasti telah terjadi perubahan. Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebabnya. Â
Pertama perkembangan infrastruktur. Saya mengamati makin ke sini jalan-jalan di pedesaan semakin bagus. Lebar dan beraspal. Kendaraan sekelas mobil akan mudah melintas.
Jembatan penghubung antar desa banyak dibangun. Kedua sarana itu mempercepat dan mempermudah pergerakan masyarakat. Kondisi ini membangkitkan gairah untuk punya kendaraan utamanya roda dua. Nyaris, tiada rumah tanpa motor. Â
Konsekuensinya adalah keterjangkauan masyarakat untuk membeli di tempat terdekat. Sedangkan dulu, satu kecamatan hanya ada satu pasar besar di ibukota kecamatan. Untuk ke sana mesti membutuhkan kendaraan angkutan umum. Kadangkala mesti berjalan kaki melewati pesawahan dan menyeberang kali.
Orang pun tak perlu berdesakan, berbecekan, dan merasakan hawa pengap di pasar. Kini mereka nyaman dan santai belanja yang tak perlu buang ongkos dan waktu. Cukup beberapa langkah menghampiri penjual. Sayuran, perabot, pakaian masing-masing ada penawarnya. Mudah bukan?
Apa yang terjadi beberapa tahun lalu di perumahan kota, kini sudah merambah ke pedesaan.
Beberapa lembaga perbankan hadir di wilayah pedesaan. Biasanya dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan. Minimarket ikut nimbrung berkompetisi.
Di mana ada "si Domar" di situ hadir "si Alfa". Keduanya mencari pangsa, ujungnya menjepit keberadaan toko-toko yang sudah ada. Minimarket menawarkan kemudahan dan  kenyamanan  berbelanja ala modern. Daya pikatnya  kuat bagi kalangan menengah pedesaan, juga anak-anak jaman now
Minimarket dengan ruangan ber-AC dan cara belanja yang memanjakan pembeli, tak ayal menarik konsumenorang desa untuk  menyambanginya dari pagi hingga malam. Â
Imbasnya adalah tumbuhnya pedagang makanan kaki lima di sekitar keduanya. Â Memanfaatkan tepi jalan yang sempit. Â Bermodal gerobak dan tenda mereka berdagang.Â
Apa yang terpajang di berbagai sudut kota, kini ada di desa. Mau apa? Takoyaki, burger, ayam penyet, martabak dan sostel. Atau aneka es: es duren, es kelapa muda, es capucino, es bubble dan entah apalagi. Â Begitu banyak varian yang bisa ditemui di desa. Â Tentu dengan harga khas kocek orang desa.
Pedagang makanan pinggir jalan telah jadi fenomena desa. Menciptakan keramaian pinggir jalan. Merangsang perputaran uang. Sekaligus tubuhnya konsumerisme di kalangan masyarakat. Mereka suka jajan ketimbang bikin makanan sendiri. Ungkapnya: yang penting ada duitnya.
Bangunan itu untuk disewakan. Peminatnya biasa berasal dari luar desa, yang karena tak punya lahan dan ingin mengais rejeki mereka menyewa petakan itu. Maka tumbuhlah kios sepatu, tas, pakaian, barbershop, servis elektronik, dan lainnya, yang dulu hanya dijumpai di kota.
Pbg, 09 Januari 2019
S_pras
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H