Jembatan penghubung antar desa banyak dibangun. Kedua sarana itu mempercepat dan mempermudah pergerakan masyarakat. Kondisi ini membangkitkan gairah untuk punya kendaraan utamanya roda dua. Nyaris, tiada rumah tanpa motor. Â
Konsekuensinya adalah keterjangkauan masyarakat untuk membeli di tempat terdekat. Sedangkan dulu, satu kecamatan hanya ada satu pasar besar di ibukota kecamatan. Untuk ke sana mesti membutuhkan kendaraan angkutan umum. Kadangkala mesti berjalan kaki melewati pesawahan dan menyeberang kali.
Orang pun tak perlu berdesakan, berbecekan, dan merasakan hawa pengap di pasar. Kini mereka nyaman dan santai belanja yang tak perlu buang ongkos dan waktu. Cukup beberapa langkah menghampiri penjual. Sayuran, perabot, pakaian masing-masing ada penawarnya. Mudah bukan?
Apa yang terjadi beberapa tahun lalu di perumahan kota, kini sudah merambah ke pedesaan.
Beberapa lembaga perbankan hadir di wilayah pedesaan. Biasanya dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan. Minimarket ikut nimbrung berkompetisi.
Di mana ada "si Domar" di situ hadir "si Alfa". Keduanya mencari pangsa, ujungnya menjepit keberadaan toko-toko yang sudah ada. Minimarket menawarkan kemudahan dan  kenyamanan  berbelanja ala modern. Daya pikatnya  kuat bagi kalangan menengah pedesaan, juga anak-anak jaman now
Minimarket dengan ruangan ber-AC dan cara belanja yang memanjakan pembeli, tak ayal menarik konsumenorang desa untuk  menyambanginya dari pagi hingga malam. Â
Imbasnya adalah tumbuhnya pedagang makanan kaki lima di sekitar keduanya. Â Memanfaatkan tepi jalan yang sempit. Â Bermodal gerobak dan tenda mereka berdagang.Â
Apa yang terpajang di berbagai sudut kota, kini ada di desa. Mau apa? Takoyaki, burger, ayam penyet, martabak dan sostel. Atau aneka es: es duren, es kelapa muda, es capucino, es bubble dan entah apalagi. Â Begitu banyak varian yang bisa ditemui di desa. Â Tentu dengan harga khas kocek orang desa.
Pedagang makanan pinggir jalan telah jadi fenomena desa. Menciptakan keramaian pinggir jalan. Merangsang perputaran uang. Sekaligus tubuhnya konsumerisme di kalangan masyarakat. Mereka suka jajan ketimbang bikin makanan sendiri. Ungkapnya: yang penting ada duitnya.
Bangunan itu untuk disewakan. Peminatnya biasa berasal dari luar desa, yang karena tak punya lahan dan ingin mengais rejeki mereka menyewa petakan itu. Maka tumbuhlah kios sepatu, tas, pakaian, barbershop, servis elektronik, dan lainnya, yang dulu hanya dijumpai di kota.