Pagi itu cuaca mendung. Awan kelabu menggelayut di langit. Matahari masih enggan menampakkan diri. Sesekali ada angin yang membawa butiran air gerimis. Tapi empat orang peternak bebek tengah asik berjajar di atas pematang sawah. Di dekat tenda-tenda yang mereka dirikan. Tak peduli hari ini hendak hujan atau tidak.
Yang pasti, bebek-bebek yang ada di kandang nanti mesti dilepas untuk mengais makanan di pesawahan. Musim panen memang usai beberapa hari lalu. Inilah kesempatan bagi peternak bebek petelur untuk menempati satu bidang sawah. Mereka berkelompok mendirikan tenda-tenda. Tenda yang beraneka warna itu. Yang dari kejauhan, warna oranye tampak lebih mencolok mata.
Satu kelompok biasanya terjadi diri empat sampai enam orang. Masing-masing memiliki kandang bebek yang bermuatan sampai dua ratusan ekor. Ada juga satu tenda yang khusus untuk berteduh bagi para peternak. Sekaligus tenda untuk dua orang yang menginap di pesawahan itu. Mereka bergiliran setiap malam. Dan di dalam tenda itu, para peternak menyimpan telur-telur yang diambil dari kandang menunggu pembeli datang. Jangan ditanya bagaimana pengap dan bau jika masuk tenda itu.
Di dalam tenda plastik itu mereka terbiasa dengan suasana yang ada. Satu yang pasti, mereka menjaga agar piaraannya tidak dicuri. Harta yang berharga itu. Hari-hari ini, kata salah satu peternak, telur yang didapat tidak banyak. Agaknya pakan di sawah sudah tak sebanyak saat beberapa hari mereka mulai bertenda di situ. Ini sudah seminggu, lanjutnya. Biasanya sampai sepuluh hari bertahan.
Cara ini untuk menghemat biaya produksi. Remah-remah panen menjadi sumber nutrisi yang bagus untuk produktivitas binatang ini. Sekaligus, memberi keluasaan bergerak beratus-ratus bebek untuk menyosori setiap celah potongan batang padi.
Cara gratis ini sudah mereka lakoni puluhan tahun. Yang penting dapat duit, ujar mereka. Secara ekonomi cara berpindah pindah ini dianggap menguntungkan. Mereka tidak dipusingkan dengan biaya pakan ternak yang harganya kerap naik. Minimal mereka hanya menyediakan biaya untuk transportasi pindah tempat.Â
Setiap hari mereka didatangi pembeli telur. Hari itu harga per butir Rp 2000. Telur yang berukuran besar. Transaksi berlangsung secara tunai. Pembeli mendatangi kelompok demi kelompok di area pesawahan yang luas itu.
Mereka tidak "nyeker", alias kakinya tak beralas. Untuk alasan kenyamanan mereka mengandalkan sepatu boot. Boot yang sebenarnya. Sekitar pukul delapan pagi satu per satu pintu kandang dibuka oleh pemiliknya. Ratusan ekor bebek dengan suara riuh beriringan. Bergegas berkecipak di persawahan yang tampaknya amat becek. Peternak mulai "angon bebek", mengarahkan carang bambu panjang yang ujungnya diikat selembar plastik. Mulutnya bersuara,"Hus....hus...hus....!
Kapan mereka kembali masuk kandang? Setelah pagi hingga siang berkelana mencari asupan, bebek-bebek itu digiring pulang menjelang pukul empat sore. Seluas area sawah panen mereka menjelajah. Para peternak yang bercaping bambu itu, yang dengan bekal ditasnya tetap mendampingi binatang piaraannya. Rokok menjadi kawan sepanjang hari.
Sampai pada hari tertentu, mereka akan membongkar tenda-tenda itu. Membawanya ke tepi jalan raya. Mengumpulkannya, sembari menunggu mobil pick up datang.Â
Mereka sudah punya rencana, ke pesawahan yang baru selesai musim panen. Ke tempat yang nutrisinya berlimpah dan gratis pula. Begitulah mereka melakoni pilihan hidupnya. Sebagai "pengangon bebek". Sebagai pemilik bisnis bebek petelur. Sekaligus adalah kepala rumah tangga. Yang karena tuntutan ekonomi harus terbiasa di tengah sawah hingga menginap di sana. Pada hari yang panas atau dingin. Pada saat tanah amat becek sekalipun.
S_pras
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H