Sudah hampir sebulan ia tak terhibur oleh kedatangan rombongan bupati. Ia nyaris kehilangan kemampuan mengingat suara lembut mobil-mobil para pejabat daerah. Aroma hempasan asap dari lubang knalpot yang acap kali menyentil bulu hidungnya pun ia lupa. Ia ingin sekali kembali seperti dulu, mengangkat tangan memberi salam pada rombongan bupati.
Hari itu ia kedatangan temannya. Lama tak bertemu di antara mereka. Walaupun cuma berjarak dua desa. "Kita sudah tua, sudah repot ke sana ke mari," ucap tamu itu. Ia mendengar, tersenyum kemudian mengangguk-angguk. Kemudian keduanya tertawa. Agaknya lelaki tua tuan rumah itu sejenak bisa melupakan yang terjadi pada dirinya. Temannya mencairkan suasana hatinya. Tak disangka itu terjadi. Keduanya pun tak menduga akan terjadi pertemuan ini. Lelaki tamu itu hanya kebetulan kondangan di desa ini. Dan ingat padanya, kemudian mampir.
"Kita ini orang kecil tapi masih punya malu. Mending hidup begini apa adanya.". Tamu itu melaju bercerita tentang berita yang ia dengar. Tentang bupati mereka. "Kamu tahu apa yang terjadi pada Bupati kita?"
" Tak tahu." Ia menggeleng.Â
"Dia ditangkap. Dia terlibat korupsi, apa kamu tidak tahu?"
Sekali lagi ia menggeleng. Sangat pelan.
Tamu itu melanjutkan, bupati kita dibawa ke Jakarta. Dia ditahan di sana.
Agaknya ia sekarang baru menemukan jawabannya. Kenapa rombongan bupati tak lagi melintas jalan depan rumahnya. Tapi ia masih tak percaya ia melakukan itu. Korupsi?
Ia terdiam sambil mendengar tuturan temannya. Tapi apapun yang terjadi, baginya bupati dan rombongannya telah menghiburnya. Ia akan tetap mengenang itu sebagai kebaikan. Dan ia berharap akan ada lagi rombongan bupati lewat depan rumahnya. Lebih sering lebih baik, bisiknya dalam hati.
***
S_pras, Pbg 18 Des 2018