Karena penasaran, ia pun bertanya-tanya kepada kawan-kawan sekabinet:"Apakah mendapat hadiah sepeda dari Pak Presiden?" Semua menjawab seragam: Tidak.Â
Jawaban koleganya di kabinet membuatnya berpikir untuk apa presiden memberinya sepeda. Â Apakah presiden tahu bahwa di rumahnya tidak ada sepeda? Â (Ah, tahu dari mana?)
Istrinya bersikeras agar sepeda itu menjadi pajangan di rumah, utamanya di ruang tamu atau di ruang keluarga. Â Perempuan itu memberi ide agar menempelkan tulisan yang besar, yang mudah dibaca. Â Tulisan yang menggantung: HADIAH DARI YTH BAPAK PRESIDEN.Â
Dua anaknya yang sudah mahasiswa menuntut agar sepeda itu untuk mereka saja. Â Jika gowes, ungkapnya, akan diceritakan kepada kawan-kawannya bahwa ia membawa sepeda hadiah Presiden.
"Kalian sepeti anak kecil saja. Â Suka pamer!" Pak Menteri mengungkapkan ketidaksukaannya.
***
Suatu pagi di hari minggu ia keluar rumah. Â Ia sudah berencana semalam, mumpung tak ada jadwal seremoni, ia akan menjajal sepeda hadiah Pak Presiden. "Kalau sekedar jalan kaki lima kilometer, itu biasa,"pikirnya." Bersepeda puluhan kilo sendirian, oh terasa merdeka!"
Berpamitan dia kepada istrinya pagi itu:"Gowes, Mama!"
"Ke mana, Pa?"
"Ngikut judul lagu Bang Haji Rhoma... Berkelana, gicu. Ikuti kata hati saja....!"
Lelaki yang rambutnya mulai menipis di bagian ubun-ubun itu tampak sporty. Â Helem, kaca mata hitam, kaos tangan dan aksesoris bersepeda lainnya ia kenakan. Â Pasti tak akan ada yang mengenalnya, bahwa ia Pak Menteri. Â Mungkin juga anak-anaknya akan dibuat terbelalak, karena baru kali ini melihat ayahnya bersepeda.