“Yang seperti ini mudah bagi kami.”
“Jangankan yang begini, yang berat-berat pun kami pasti maju.”
Saat ingin mendapat kepastian, orang-orang partai balik bertanya kepada mereka,”Apa yang akan Saudara-saudara berikan kepada kami di tahun 2019 nanti. Tahu kan, itu tahun pemilu?”
Tentu saja mereka tidak bisa membalas apapun. Mereka malah baru tahu bahwa dua tahun lagi akan ada pemilu. Kalau sekedar janji, tentu bisa berjanji. Ya, asal janji!! Setidaknya, jika diberi kaos kampanye pasti akan dipakai. Namun, merasa tahu diri bahwa janji itu bisa membebani, mereka jadi urung memanfaatkan jasa partai.
Berembug kembali.
“Kamu bisa menghubungi teman seperjuangan kita di tempat lain,”kata Ramijo pada Kamto. Maksud lelaki itu, para pemulung di daerah lain untuk datang dan mengambil hiasan-hiasan bersama-sama.
“Kalian semua tahu maksudku?” lanjut Ramijo. Semua menggeleng. “Kita mencoba untuk tidak serakah. Biarlah, teman-teman yang dari luar kota ini ikut juga menikmati hiasan itu.”
Ketika Kamto menghubungi teman-teman Hipmi daerah lain, semua senada bahwa mereka melihat hiasan uang berderet di balaikota. Mereka melihat dari siaran televisi yang entah di mana mereka menonton. “Bawalah gerobak-gerobak kalian ke kota kami. Kita berburu ke balaikota.”
***
Roda-roda gerobak menggilas jalan. Kaki dari tubuh yang dekil menghentak aspal. Sesekali bila terpaksa, mereka menapaki trotoar. Asap dan debu bercampur dengan bau keringat mereka, bersintesis menjadi aroma yang menyengat warga kota. Sapu-sapu tangan mendadak menutupi hidung dan mulut. Toko obat dan apotek sekejap kehabisan stok masker.
“Ada demo gerobak?” Orang-orang yang melihat berujar begitu adanya. Dari empat penjuru mata angin: selatan, timur, barat, utara. Dan satu dari timur laut, barisan gerobak menembus kepadatan kota.