Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Anjing Herder Berkuping Satu

25 April 2017   10:52 Diperbarui: 26 April 2017   03:00 1600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya ada satu anjing di kota ini yang berkuping satu.  Setidaknya begitu yang dikatakan kebanyakan orang.  Anjing yang besar, berkulit kelimis  kecoklatan sebagaimana anjing yang terawat. Dan tentu saja, dia menakutkan bagi yang takut anjing.  Tak usah melihat wujudnya, mendengar gonggongan yang bergema,  jantung terasa tersentak.  Hal  demikian itu sudah cukup menghentikan langkah orang, mungkin adrenalinnya mendadak turun. Dan anjing itu milik Pak Supenis.  Lelaki ini biasa dipanggil Pak Sup, tapi tak sedikit orang kala membincangkan kejelekannya suka menyebutnya Pak Penis. Sedang kaum ibu lebih memilih Pak Pen saja.  Jika pakai “is” terdengar risih, gurau mereka.

Lalu kenapa helder, si anjing itu berkuping satu?  Begini ceritanya.

Pak Supenis alias Pak sup alias Pak Penis alias Pak Pen bukanlah penggemar anjing, pada mulanya.  Karena bisnis konstruksinya maju dan merasa sudah kaya, ia perlu pendamping. Ia tak mau rumahnya yang berhalaman luas dengan tiga mobil di garasinya menjadi sasaran maling.  Baginya CCTV tak menjamin rasa aman.  Maka atas saran seorang teman, ia mengikuti.  Ia kini memelihara anjing.  “Kebanyakan pencuri, rampok, maling, garong atau apalah punya ciri sama,” ujar Yoben, temannya itu.  “Mereka takut anjing!”

Awalnya, Pak Supenis memiliki anjing Peking berwarna hitam.  Tapi ketika Yoben ke rumahnya dan melihat itu, ia kecewa.  Atau setidaknya agak kecewa.

“Sup.  Sekelas kontraktor sepertimu, anjing ini tak sejajar bersanding di rumah ini.”

“Maksudmu?”

“Aduh.  Gantilah, Sup. Beli yang helder!”

Dan tak sampai satu minggu seekor anjing helder menjadi anggota keluarga Pak Supenis.  Sedangkan si peking diberikan ke orang lain lewat Yoben.  Hanya saja, oleh dia, anjing Pak Sup dijual.  Tapi dalam laporannya, Yoben telah memberikan ke Saudaranya.  

Melihat postur dan hentakan suaranya, Pak Sup membenarkan ucapan Yoben.  “Benar kata si Yo,  helder ini lebih pantas menjadi pendampingku.  Ada rasa aman di dada ini.”  Kendati pada awalnya terasa bising, lambat laun ia akrab dengan suara helder itu: Guk….guk….guk…!

Ah, anjing milik Chica Koeswoyo, si Herly itu, sudah pasti kalah bersaing guguknya, kilah Pak Supenis dalam hati.  Ia tersenyum mengingat masa lalu, mengenang lagu si Chica yang terkenal seantero Indonesia itu.

***

Helder Pak Supenis bernama Guplo.  Jika dipanggil Gup!  Anjing itu menyahut kencang: Guk….guk…guk…! Anehnya, entah kenapa bila dipanggil ‘Plo….!’, binatang itu tak juga menyahut. Ia hanya plonga-plongo, tengok kanan tengok kiri.

Selama setahun lebih Guplo menjadi bagian dari hidup keluarga Pak Supenis, binatang ini telah memenuhi harapannya.  Belum pernah sekali itu harta benda yang ada dalam rumah, bahkan di sekelilingnya  raib.  Setidaknya, ini menurut pikiran si empunya helder, anjing itu memiliki daya waskita, bisa mengendus apa yang akan terjadi.  Maka jika ada orang yang berniat jahat, ia gelisah di kandang.  Pak Supenis tahu tentang hal ini, dan ia memerintahkan kepada orang kepencayaannya untuk waspada.  “ Kau lihat  si Guplo, Kamsir.  Lihat itu... Jika begitu pertanda kurang baik di sekitar rumah kita nanti.  Kamu harus waspada!”  Kamsir adalah lelaki yang kesehariannya mengurusi kebersihan rumah dan taman.

Pada awalnya Kamsir tak percaya dengan pertanda itu.  Namun saat seorang pencuri terjatuh dari pagar tembok setelah dikejutkan oleh gertak anjing helder, dan tergeletak karena kakinya patah, ia baru sadar tentang keistimewaan Guplo.  Padahal sore itu majikannya sudah wanti-wanti,”Jangan tidur gasik.  Lihat, Guplo gelisah.  Barangkali akan ada pencuri datang.”  Kamsir mengangguk walau setangah tidak percaya.  Namun benar adanya, tengah malam seorang pencuri  berhasil memanjat pagar tembok setinggi hampei tiga meter. 

***

Hujan rintik malam itu.  Hawa dingin mengembang melapisi rumput halaman, genting dan dinding-dinding sekililing rumah Pak Supenis.  Lewat celah yang masih bisa ditembus, angin malam membawa hawa dingin itu hingga ke sudut dalam rumah.  Si helder Guplo pun tampak meringkuk .  Andai saja ada yang pengertian, ia ingin diantar selembar selimut.  Tapi mana ada yang tahu, si Kamsir semenjak lepas maghrib tak juga tampak batang hidungnya.  Apalagi malam begini.

Di kamar, Pak Supenis sedang santai.  Dengan volume televisi yang lirih, ia duduk di kursi menyaksikan siaran televisi, yang agaknya, tak satu pun yang membuatnya bisa bertahan untuk tidak mengganti saluran.  Hingga akhirnya, barang elektronik itu ia matikan.  Detak jam dinding sepontan menylentik telinga.  Semua yang bisa bersuara membisu, kecuali membisu, kecuali jam dinding itu.  Dan... lampu kamar meredup menjadi temaram setelah lelaki itu mengganti  menyalakan lampu tidur di atas nakas.

“Semoga saja Guplo bisa menjaga malam ini dengan tenang,” batin Pak Supenis.

Sore tadi, si majikan itu secara istimewa memberi helder Guplo beberapa kilo daging, yang pasti lebih dari tiga kilo.  Belum termasuk tulang-tulangnya.  “Ini kado istimewa untuk Guplo,” ucapnya pada Kamsir yang menemani.  Kamsir heran, jatah makan Guplo melebihi takaran, maka ia berucap,”Bukankah ini melebihi yang biasanya, Pak Sup?”

“Memang.  Ini Sengaja.  Biar malam ini menjadi yang menyenangkan baginya. Juga buat saya.”

Kamsir hanya bergeming.  Tak tahu benar dengan yang dimaksud majikannya.  Urusannya sekedar ikut membantu memberi makan Guplo.  Ia pun tak tahu bedanya anjing senang atau sedih.  Yang tahu, menurutnya anjing adalah binatang rakus!

Malam yang indah dan penuh kemerdekaan.  Malam yang membuatnya  melayang-layang mendekati langit kamar.  Dada yang mengembang dengan mata berbinar.  Begitu yang dirasakan Pak Supenis.

“Beruntunglah, istriku mau mendengar alasanku,”ujarnya dalam hati.  Lelaki itu berucap bahwa beberapa hari ini ada pertemuan mendadak membahas kontrak baru, maka ia batal pergi ke Raja Ampat.  Bertanya istrinya: Apa tidak ada waktu lain, minggu depan begitu?  Supenis menggeleng.  “Ini proyek besar, Ma.”  Maka, dengan ditemani satu anaknya yang sudah kuliah, mereka berangkat berdua ke destinasi wisata yang amat kesohor di wilayah Papua itu. “Seminggu di sana, Ma.  Tidak usah mikir yang di rumah.”

Tapi di luar sana helder Guplo tampak gelisah.  Berjalan memutar, sesekali menabrak besi pembatas. Kemudian menggonggong berkali-kali.  Kamsir yang sudah meringkuk di kamarnya yang berada dalam  bangunan luar rumah induk, tepatnya ujung kanan rumah, terjaga. 

“Suara Guplo!” Ia melempar sarung. Membuka pintu dan memburu kandang binatang majikannya.  “Bahaya!” Kamsir bersuara lirih.  Kemudian ia melangkah ke arah halaman depan.   Senter ia arahkan ke berbagai sudut.  Pohon mangga yang rimbun tak luput dari bidikan.  Tak ada yang mencurigakan.  Kemudian ke pintu gerbang.  Sepi.  Nafasnya terputus-putus. Peluhnya sedikit menetes.  Ia memang berlari.  Sementara, si helder Guplo masih menggemakan suaranya: Guk…..Guk….Guk…..!  dan seterusnya dan seterusnya.

Kamsir panik.  Atau lebih tepat dibilang tak tahu harus bagaimana.  Lantas, lewat HP ia menghubungi Pak Supenis.  “Maaf Pak Sup.  Saya mengganggu.  Sepertinya lingkungan rumah tidak aman.  Sepertinya ada penyusup!”  Dengan agak malas, lelaki itu menjawab,”Saya sudah tahu siapa penyusup itu.  Kamu tenang saja!”  “Baik, Pak!”

Jawaban Pak Supenis membuat Kamsir bingung.  Lelaki botak yang rambutnya hanya tersisa  di bagian belakang itu mengernyitkan dahi.  “Tahu ada penyusup, kenapa tidak ada tindakan.  Ia tenang saja.”

Guplo dengan gonggongannya menambah kebingungan Kamsir.  Kemudian ia melempar tulang ke dalam kandang.  Tanpa di duga, ternyata masih ada satu yang tercecer di luar kandang dan Kamsir melihat tulang itu.  Sejenak helder itu  terdiam.  Tapi benar-benar sebentar. Lantas bersuara lagi.

Merasa terusik dengan suara herldernya, Pak Supenis emosi,”Dasar asu buntung!”  

Sebenarnya lelaki ini ingin berteriak: Goblok! Dasar kere! Tentu tertuju pada Kamsir.  Tapi lelaki itu menahan diri untuk bersumpah serapah.  Masak sih, orang kaya berucap begitu. Menurunkan kelas, pikirnya.

Tak berapa lama terdengar suara mobil.  Nissan X Trail terbaru warna hitam keluar dari garasi, kemudian sang pengemudi menghubungi Kamsir,”Buka pintu depan, cepat !”  Kamsir berlari memburu halaman rumah, kemudian dengan sigap membuka gembok, dan mendorong pintu besi dengan tenaga yang tersisa malam itu.  “Mau kemana, Pak?”

“Jangan banyak tanya!”

“Kan cuma satu,Pak.”

“Sontoloyo.  Tutup mulutmu, kunyuk!” Agaknya ia sudah lepas kendali, hingga kata kunyuk keluar dari mulutnya.

“Iya, saya kunyuk, Pak.”

Kamsir terpana dengan perempuan yang ada di samping Pak Supenis.  Mmm, cantik, gumamnya sambil mengalihkan pandangan ke arah jalan raya, seakan tak peduli dengan bidadari malam itu.  Mobil pun meninggalkan pintu gerbang. Meninggalkan asap yang terasa menyengat dan memporandakan bulu hidungnya yang beberapa helai sudah memutih dan jarang dipotong.

Ia mengintai pantat mobil, hingga hilang di tikungan jalan.  Suasan lengang.  Suara Guplo teredam oleh kepergian majikannya. 

***

Seseorang datang menemui Pak Supenis di rumah itu.  Agaknya sudah ada janji antara mereka.  Atau mungkin sudah kenal lama? Begitu dalam benak Kamsir melihat kedatangan lelaki yang menurut tafsirnya baru berusia tiga puluhan.

Bertiga mereka mendatangi kandang Guplo.  Karena disebut: Plo…! Maka helder itu terdiam.  Dengan cepat tamu itu menembakkan sesuatu dari arah belakang dan menancap pada pantat anjing helder.  Guplo mengguguk, berlanjut tak sadarkan diri.  “Biusnya sudah bereaksi,” ucap sang tamu sambil menatap Pak Supenis.

Sang tuan rumah memegang pisau yang ia dapatkan dari tamunya.  Ia pegang telinga kiri heldernya. Menjembrengnya.  Dengan wajah kesal itu memotong daun teling itu hingga putus.  Darah bercucuran.  Sang tamu, sepertinya sudah siap dengan  yang akan  terjadi, dengan bekal dan peralatan dalam tasnya, mengatasi keadaan.

“Kau rasakan sekarang, Guplo,” ucap Pak Supenis geram.  “Kemarin hari saya kasih kamu jatah makan lebih.  Tapi kamu tidak patuh!

Kamsir dan lelaki tamu Pak Supenis memperhatikan Sang pemilik helder.  Guratan pada wajahnya menyiratkan rasa dikhianati.  “Sudah saya katakan ke kamu waktu itu.  Kamu tenang...  Jangan gelisah....  Jangan gaduh.  Yang akan datang malam itu temanku!”

Pak Supenis menemas-remas daun telinga si Guplo yang telah terpotong.  Jemari tangan kanannya mencengkeram erat.  “Saya penuhi janjiku.  Jika kamu mengganggu: kupotong telingamu!” 

Semenjak itu si herder Guplo berkuping satu.  Ada yang dirasakan aneh.  Sikap dan gerakannya berubah.  Ia tampak minder dengan keanyataan dirinya kini.   (***)

*S_Pras, Bumi Cahyana, 25 April 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun