Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ruang Isolasi

30 Juli 2016   16:13 Diperbarui: 30 Juli 2016   16:15 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu, aku memburu Ruang Asoka.  Katanya dia dirawat di sana sejak dua hari kemarin.  Aku tersentak sepulang dari ibukota, tetangga memberi kabar: Kusno masuk rumah sakit lagi.

Seminggu lalu, ia baru pulang dari perawatan.   Aku sempat menengoknya di rumah sakit swasta, sebelum keberangkatanku itu.   Beda dengan yang sekarang, kini ia mondok di rumah sakit negeri yang fasilitasnya lebih lengkap.

“Dia di ruang isolasi.  Bapak ke selatan, terus ke kiri sedikit.  Di situ,” jawab seorang perempuan berseragam putih di ruang perawat, setelah aku tanyakan ruang rawat Kusno.

Istri Kusno melihatku, kemudian menahan untuk berhenti sejenak.  “Pakai masker dulu, Mas.”

Aku mulai nggeh.  Ini ruang Isolasi.  Sakit apakah gerangan temanku ini?  Bukankah kemarin dokter mengizinkan pulang dari rawat inap?

Kusno menatapku ketika aku menghampiri sisi kanannya berbaring.  Ia berusaha mengangkat badan.  Tapi tak mampu.  Tiduran saja, kataku padanya.

“Kamu baru pulang kuliah?” tanyanya.

Kuliah? Aku membatin, juga heran.  Bercanda  orang ini, pikirku.

“Sengaja ke sini.  Besuk kamu.”

“Besuk?”

Aku mulai curiga, saat tak lama kemudian, dia bertanya pada istrinya,”Siapa anak yang berada di sebelahnya?”

“Tak ada siapa-siapa.”

Aku menengok yang ditunjuk Kusno.  “Tak ada siapapun,” ucapku sama.

“Ada.  Itu…. Nah…. Itu….” Kusno menunjuk-nunjuk ke arah nakas berplat logam bercat putih.

Halusinasi? Pikirku kemudian.

Lelaki ini tinggal tulang berselimut kulit.  Matanya cekung.  Larikan iga-iga menyembul dari balik kaos yang dikenakan.  Ada selang infus pada tangan kanan dan juga oksigen yang menempel bawah hidung.  Lelaki  ini nampak  kehilangan kegagahan.  Hingga malu ketika anaknya hendak menyuap makan siang.  Ia mencoba memaksa merebut piring.  Ia ingin menyuap sendiri.  Tapi tak mampu. Ia ringkih.  Tangannya bergetar-getar,saat akhirnya anak lelakinya melepas piring.

Lama aku tak dekat dengannya.   Puluhan tahun, barangkali.  Baru beberapa bulan belakangan ini kami bisa bercakap banyak.  Dan temanku itu, dengan  tiga anak dan istrinya, menempati rumah yang tak berpenghuni.  Bapak dan ibunya mangkat selang setahun, berurutan.  Kusno, oleh saudara-saudara diminta menghuni rumah itu.

Lelaki berkulit gelap, yang pintar memainkan gitar dan biola itu  pernah bercerita kepadaku tentang satu perjalanan hidupnya.  Mengais rupiah di tanah seberang.  Ada pengalaman  yang mengesankanku.  Yang membuatku terpana.

Sekiranya diceritakan kembali, beginilah kisahnya.

Akhir hidupnya seperti sudah ada di depan mata. Kematian yang tidak akan dilihat oleh istri dan anaknya. Kematian yang mungkin sulit diketahui mereka yang pernah mengenalnya. Atau, menjadi manusia yang dianggap hilang tak jelas rimbanya.

Ia benar-benar diam. Berhenti. Kayuhan sepedanya ia sudahi. Kedua kakinya menapak pada tanah basah yang terguyur hujan semalam. Pantatnya masih tersangga pada sadel hitam yang telah menahan beban dirinya berkilometer-kilometer. Peluh dari pipi kanan dan kiri bermuara di dagu. Seakan berniat menyuburkan bulu jenggotnya yang belum sampai satu senti itu. Ia seka dengan ujung kerah kaos lengan panjangnya.

Lelaki itu menatap jauh ke jarak pandang satu lapangan bola. Menduga-duga: Ada apa?

Ini pedalaman. Satu wilayah dalam gugusan pulau yang tersebar di Selat Malaka.  Tak terhitung berapa jarak yang telah ditempuh dari awal ia menapakkan kaki. Sepanjang ia lalui bersepeda, hanya perkebunan karet dan kelapa sawit terhampar luas. Kampung-kampung tak semudah dijumpai sebagaimana di Jawa, tempat asalnya.

Sekelompok orang tengah bergerombol di tengah jalan yang hendak dilewatinya. Kusno hitung, ada sekitar dua puluh lima orang. Menghadangkukah? 

"Masya Allah!" Ia melafal doa sembari menggelengkan kepala.

Bukan jumlah yang membuatnya ciut nyali. Bukan tampang mereka. Bukan perawakan. Tapi senjata tajam seperti parang, ada pada genggaman. Siaga ada pada  mereka.

Parang terhunus dengan sesekali menampilkan kilauan terkena sinar matahari. Tiada teriakan dari mereka yang mengancam Kusno. Ia tengok ke belakang. Tak ada orang! "Mungkinkah saya ini, yang dinanti mereka?"

Ia pun berpikir. "Kalaulah lari. Dan sepeda saya tinggalkan. Kemungkinan besar saya keok. Nafas saya tak memungkinkan berlari cepat."

"Putar balik, dan menggenjot sepeda secepatnya?" Ini pilihan sulit. Beban berat yang ada dalam tas besar yang terikat pada boncengan sepeda, tak memudahkan gerakan. Belum lagi jalan yang tidak rata. Itu akan menyiksa.  Apa maju saja, mendekati mereka, pikirnya.  Itu pun risiko. Seperti menyerahkan leher untuk dipenggal.

Ia sudah yakin bahwa dirinyalah yang sedang mereka hadang. Kedua pihak saling menanti. Kusno menunggu keputusan yang harus diambil pada saat genting itu. Di sisi lain, kelompok orang itu menunggunya mendekat.

Ini kali pertama Kusno bertandang ke pedalaman ini.  Pedalaman Bengkalis.  Petualangannya bukan pengembara. Ia cari uang. Berniaga aneka pakaian yang dibawanya dalam tas besar. Celana jean, baju koko, kemeja, kaos. Bersepeda ia keliling dari kampung ke kampung. Beberapa waktu yang lalu ia sudah merambah ke pulau seberang.  Ia melompat dari satu pulau ke pulau lain dengan menumpang angkutan perahu motor. Bukan jarak yang dekat. Puluhan kilo! Lebih dari satu jam terapung menuju dermaga berikutnya. Suatu pengalaman yang belum dia rasakan.  Beda dengan masa kecilnya, yang hanya bermain  rakit bambu  di alur suanga besar belakang rumah.  Tapi kali ini beda.

Sesungguhnya, dia sendiri tak mengira, tubuh dan nyawanya bisa berkelana ke pulau-pulau pinggiran: pulau perbatasan. Pulau yang selama ini ia tahu hanya dari peta. Setiap menemukan dermaga, ia bertanya pada orang di sekitarnya: Itu perahu mau kemana?

Ia tak bertanya lagi sesudah terima jawaban. Naik saja, mengikuti perjalanan di atas air. Kemudian turun di dermaga dan mencari kepala kampung untuk izin berjualan. Sekaligus, numpang menginap.

Sampai beberapa waktu Kusno terdiam, tiada tanda yang menunjukkan pergerakan mereka yang menghadang. Tetap menunggu. Sesekali tampak saling menengok. Sepertinya masing-masing tengah membaca pikiran pihak lain. Seperti komandan pasukan yang tengah menyiapkan strategi menghadapi musuh. Ia pikirkan kemungkinan tindakan yang dilakukan pihak musuh saat menghadapi serangan. Mencari kemungkinan yang paling mungkin.

Entah kenapa, kesenyapan pada siang hari itu bisa dipecahkan oleh Kusno. Ia angkat tangan kanannya. Melambaikan ke kiri dan kanan. Hatinya berkata,"Hai......" Terlihat dari kejauhan, orang-orang lantas saling berpandangan.

"Semoga mereka tahu maksud saya" ia bergumam. Kusno heran, kenapa tangannya seketika itu diangkatnya. Entah dorongan darimana. Tuhan? Yang pasti, gerakan tangannya memecahkan kebekuan.

Turunlah Kusno dari sepeda dan menepikannya di sisi kiri jalan itu. Tas diturunkan, lantas ditarik resletingnya. Dikeluarkan semua yang ada di dalamnya. Ia tunjukkan satu demi satu dari kejauhan. Hingga semua barang berada di tanah. Tercecer! Tas besar kosong itu ia lempar jauh-jauh ke depannya. Sejauh mendekati sepuluh meter.

Yang ia ingin kabarkan kepada  mereka: sudah aku keluarkan semuanya! Apa mau kalian?

Tak sampai di situ. Ia lukar kaos yang dikenakan. Ia lempar juga. Ia turunkan celana panjangnya, hingga paha, lutut dan betisnya telanjang. Ia lempar lagi ke arah dua benda yang sudah melayang sebelumnya. Kini, hanya celana pendek yang melekat pada tubuhnya.

Tampaknya mereka mulai berembug. Memutuskan tindakan yang akan dilakukan. Hanya dua hingga empat orang yang siaga. Tetap dengan parang yang tergenggam kuat.

Kusno terbelalak. Mereka serombongan mendekatinya.

Tidak banyak yang bisa dilakukan dalam situasi ini. Menunggu saja. Apapun yang terjadi. Mau apa lagi. Satu banding dua puluh lima orang! Di tanah yang ia sendiri masih asing. Mau berlindung ke mana?

Lima belas meter lagi. Mereka makin mendekat. Degub jantung Kusno terasa keras. Keringat dinginnya mulai mengalir. Takut.

Kini, mereka sudah melewati tas besar yang tadi Kusno lempar. Kaos dan juga celana panjangnya. Tak satu pun yang menginjak ketiga barang miliknya. Beberapa pasang mata memandangi tas besar blue jean yang terkulai di tengah jalan.

"Bapak siapa?" Satu dari mereka bertanya ke Kusno. Empat orang di samping kiri dan kanan mengapit orang tersebut. Selebihnya berada di barisan belakang.

"Kusno!” ia menjawab.  “Penjual pakaian."

Jawaban itu memicu perubahan pada raut wajah mereka. Kegarangan meleleh. Ada senyum yang hendak ditampakkan, kendati tertahan. "Penjual pakaian?"

"Ya, aku penjual pakaian keliling." Orang-orang tersebut saling pandang memandang. Dilihatnya setumpuk pakaian yang teronggok di tepi jalan.

"Memang ada apa dengan saya? Pikiran saya sudah buruk sekali sedari tadi"

"Mohon maaf…" Satu di samping yang awal bicara, mengeluarkan suara. "Kami mengira, Bapak ini penculik! Penculik anak!"

Kusno akhirnya ingat kenapa ia dikira penculik. Isu adanya penculikan anak sudah ia dengar di sebuah warung makan dekat pasar beberapa waktu sebelumnya, Beberapa orang membicarakan, dan ia menyimak tanpa bertanya. Ternyata, cerita itu sudah merebak ke berbagai tempat. Sampai di pedalaman yang tengah ia jajaki.

Sang penculik membawa tas besar dan bersepeda, begitu orang-orang saling memberitahu satu terhadap lainnya.

“Tas besar dan bersepeda?” Kusno seperti bertanya pada mereka.   Itu memang gambaran dirinya, tapi bukan dia.

Kusno tertawa mengakhiri sejumput cerita dari tanah seberang itu.  “Kamu pasti tak sangka , aku mengalami hal itu.”  Aku menganguk pelan. 

Tapi kini, aku iba dengannya.  Di ruang isolasi itu tak mungkin aku lama bercakap, hingga menyingkirlah aku keluar ruangan.  Istri Kusno menyusulku beberapa langkah.

“Waktu di rumah dia ngedrop.  Langsung saya bawa kemari.  Padahal sewaktu di rawat inap kemarin, ia kelihatan sudah pulih,” ucap istrinya pelan.

“Sebenarnya dia sakit apa?” Kini aku bertanya pada perempuan  itu.  Ia balik ke dalam, kemudian keluar dengan hasil foto rongent dalam sampul kertas hijau pupus daun.  “Mas pasti tahu dari foto ini.”

Aku terawang film itu.  Kemudian membaca diagnosis dokter radiologi.  Aku terdiam.  TBC kronis!  

Sudah beberapa kali aku menjumpai dia batuk.  Batuk yang berkepanjangan.  Tapi ia selalu anggap barang biasa.  “Aku pakai daun sirih. Dimasukkan dalam air panas, kemudian meminumnya.”  Ia menjelaskan padaku.

“Tapi, kalau sering batuk begini, kamu harus waspada.”  Dia menatapku tanpa tanya.  “Sekali waktu, kamu harus mendatangi  dokter spesialis paru-paru.”

Bukan hanya batuk yang mencurigakan.  Tubuhnya pun makin menipis, makin kehilangan daging.  Dan orang-orang memperhatikannya, bertanya padaku: kenapa Kusno kurus sekali?

Tapi aku tidak tahu, kenapa  ia tidak mengindahkan saranku.  Setidaknya sekedar menanggapi.  Itu pun cukup bagiku.  Tapi sudahlah, aku pun berusaha  mengerti.  Semenjak berhenti berdagang keliling ke pulau-pulau seberang itu, dirinya nyaris tak punya pekerjaan pasti.  Aku pun tak tahu, bagaimana ia bisa bertahan dalam situasi itu menghidupi keluarganya.

Terlambat, pikirku.  Dokter yang dulu merawat mungkin sudah tahu, Kusno sulit disembuhkan.  Hanya tak berterus terang.  Ya, mungkin saja begitu. Pengobatan kali ini pun bisa jadi tak memberi hasil, menurutku.  Tapi aku tak sampaikan itu pada istri Kusno.  Sepertinya, ia pun  membaca pikiranku.  Ia tenang.  Tampaknya perempuan ini sudah siap untuk keadaan apapun: menerima takdir. (***)

Bumi Cahyana, 30 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun