“Tapi….. daripada seperti tadi malam.”
“Ya, tapi baru sekali itu, tadi malam, Bu Nur.”
Musholla tua yang lebih seratus meter dari rumah Bi Mirah adalah tempat ibadah yang selalu didatanginya selama ramadhan. Jalan ke sana tak berlampu, tapi penghlihatannya masih mampu menembus kegelapan malam.
“Aku nggak terasa, sudah dua puluh hari puasa. Belum pernah berhenti,” ucapnya pada Rusdi, lelaki yang tengah membopong anak. Anak lelaki itu lantas digoda, dicolek, dimain-mainkan tangannya hingga bayi yang baru genap setahun itu terkekeh. Girang tiada kepalang. Bayi itu, agaknya, seperti merasa tengah bersama neneknya.
“Semoga bisa sampai selesai. Genap!” tambahnya kemudian.
Rusdi menyahut,”Aku doakan begitu, Bi Mirah.”
Bulan puasa tahun kemarin, Bi Mirah sama sekali tidak mampu menjalani ibadah saum itu. Nafsu makannya menurun. Tubuhnya lemas. Bi Mirah hanya bisa menjalani-hari-hari di dalam rumah. Wajahnya yang keriput legam tampak memucat. Satu dua tetangga bergantian mengirim makanan. Hanya seorang perempuan kerabatnya, yang usianya sepantaran, menunggui. Ia datang dari luar desa. Maka taklah menjadi heran, bila dua puluh hari bisa menikmati ibadah puasa tahun ini, wajah keriputnya memancarkan rona bahagia. Seperti riangnya muda-mudi yang hilir mudik bermotor, berboncengan ngabuburit jelang maghrib sore itu.
Namun, kendati malam kemarin Bi Mirah mesti dipapah pulang, esoknya, ketika pagi mulai merambat siang, ia sudah terlihat ke luar rumah.
“Aku masih kuat ternyata,” sambil tersenyum ia menjawab sapaan Kusdiah, tetangga yang lain, yang hendak ke pasar hari itu: “Bi Mirah. Katanya semalam nggak bisa bangun di musholla. Apa sekarang puasa?”
Pagi itu, ia menjalani hari-hari rutinnya. Berangkat ke pasar. Biasanya pulang menenteng kardus atawa tas kresek berisi botol air kemasan. Atau lainnya lagi barang bekas pakai. Hanya memulung yang dilakoninya untuk mengais rupiah sekarang ini. Ia kumpulkan di rumah. Dan biasanya pengepul akan datang mengambil pada kemudian waktu.
Ia beruntung, orang-orang desa yang pengertian kerap memintanya mampir, menyerahkan sortiran barang-barang yang bisa dimanfaatkan oleh Bi Mirah. Ada juga yang karena banyaknya barang, mereka langsung mengirimkan ke rumah perempuan tua itu. Dan Bi Mirah seringkali tidak tahu siapa yang sudah meletakkan barang-barang di depan rumahnya itu.