Tapi nampaknya, si maling itu makin bersemangat setiap mendengar bunyi “ting” itu. Akhirnya, linggis makin dalam dan makin memasuki ruangan. Pintu rumah bergoyang goyang.
Kami, si anak-anak kecil itu berbalik jadi takut. Bergerak mundur….mundur…. mundur, menjauh dari pintu.
Sayang, karena lengah dan gelap ruangan, salah satu di antara kami menabrak sepeda ontel milik Bapak yang teronggok di dalam rumah. “Gubraaak……..!” Sepeda roboh.
Jadilah maling itu terkejut bukan buatan. Dengan semangat empat lima ia lari tunggang langgang dan menghilang entah ke arah mana. “Maling…………maling……..maling………,” kami lantas berteriak memecah gelap dan sunyinya malam.
Bapak keluar kamar menemui kami. “Wonten maling, Pak!” Ada pencuri. Kami melaporkan kejadian itu padanya.
Akhirnya, Bapak membuka pintu itu. Dengan berbekal lampu teplok yang terambil dari kamar, kami melihat-lihat keadaan di luar.
Oh, maling yang bermurah hati. Sungguh, kami terperanjat. Sekalian bersyukur. Ternyata ia meninggalkan sebatang linggis yang tadi dipakainya.
Terbukti secara kriminologi, bahwa tidak ada kejahatan yang tidak meninggalkan bekas. Dan linggis itu menjadi sebuah bukti.
Terimakasih Maling, kau telah memberi cindera mata …………. (***)