Akhirnya para penulis rubrik Humor Fiksiana harus mendendangkan lagu,”Rela-rela rela aku relakan… Rela-rela rela aku rela.” Sebagaimana Meggy Z menyanyikan lagunya yang berjudul Sakit Gigi.
Felix Tani, juragan Humor Revolusi Mental (HRM) adalah sosok K-ner yang paling getol menyuarakan protes atas Keputusan dihilangkannya sub kanal tersebut. Saya mengamini saja, namanya teman. Nggawe bombing lan bungah. Saya yakin dia jengkel setengah nunggung!
Sampai titik tertentu, tulisan-tulisan argumentasinya tidak satu pun ditanggapi oleh Admin, ia akhirnya tunduk pada kenyataan. Mengikuti pernyataan Romo Mangunwijaya, dulu,”Hidup di Indonesia harus sering mengatakan: apa boleh buat.” Itu jika sudah mentok, tidak ada lagi yang bisa diterjang.
Dan Felix Tani memberikan solusi jalur tengah yaitu menjadi penulis Nomaden. Katanya, kendati rubrik humor sudah tersisih, tetapi tulisan-tulisan bergenre humor bisa nangkring di berbagai sudut ruang. Bisa pada Hiburan, Humaniora, Politik bahkan Kotak Suara. Saya pun mengamini saja dari dalam hati, namanya juga teman.
Ketiadaan rubrik khusus Humor setidaknya membuat para penulisnya gigit jari, untuk sementara waktu. Jikalau akan mengirim artikel, di depan judul terpaksa di tambahi tulisan dalam tanda kurung: (Humor). Biar pembaca tahu, bahwa mereka masih hidup, masih mau menulis, masih ingin diakui eksistensinya.
Terlihat menggelikan. Tapi lagi-lagi: Apa boleh buat!
Dan sepertinya, makin ke sini, penulis-penulis humor diam-diam mengucapkan: Sayonara! Tapi tidak perlu dihasihani, karena hidup harus mengikuti iramanya. Dan mereka pribadi-pribadi yang sudah sangat dewasa.
Sebagai bagian dari K-ners yang pernah mengisi rubrik Humor, akhirnya saya vakum beberapa bulan. Setidaknya mencari celah untuk tetap bisa menulis. Bagi saya, menulis adalag gaya hidup! Kalau tidak menulis, rasanya mati gaya. Alias tangannya gatal.
Keputusan yang terbaik, saya memilih “nyemplung” di Fiksiana. Apapun yang terjadi, saya harus berani bersikap sebagaimana operator SPBU,”Dimulai dari nol, ya!”
Sebenarnya, mengawali bergabung di Kompasiana, rubrik yang saya tuju adalah Fiksiana karena ada cerpen di sana. Dan, saya sangat berminat untuk itu. Namun, beberapa kali posting hasilnya sangat mengecewakan. Tidak ada vote, tidak ada komentar. Sampai satu minggu, hanya ada 6 sampai 30 klik. Paling tinggi sekitar 80 klik.
Menyakitkan. Fiksiana zaman itu terasa angker!
Saya menyeberang ke Humor. Menulis humor terasa mudah daripada cerpen. Cukup beberapa menit bisa langsung posting. Banyak yang vote dan komentar. Oh, indahnya persahabatn dengan orang-orang koplak! Saya berterimakasih kepada Jati Kumoro, Felix Tani, Mas Nur Setiono dll. Mereka yang telah membuat hidup terasa hidup.
Kembali ke Fiksiana.
Tidak ada pendidikan formal yang memungkinkan saya bisa menulis cerpen. Hanya lantaran sering membaca cerpen di Kompas Minggu, maka saya memiliki minat yang tinggi untuk bisa menulis. Seperti mereka yang di muat di Harian itu.
Pikiran saya, membaca saja sudah menyenangkan, apalagi sampai bisa mengarang cerita dan terpajang di halaman Koran.
Suatu ketika saya bertemu dengan Gola Gong, seorang penulis novel, pada acara workshop kepenulisan cerita di Purwokerto. Satu hari saya mengikuti pemaparannya. Santai. Tapi mengesankan. Dan saya baru tahu, betapa "gobloknya" saya. Menulis cerita itu ada rentetannya. Bukan dengan melamun. Hiks!
Ada risetnya. Hah, riset?
Iya, menulis cerita itu pakai riset. Biar ketemu 5 W 1 H. Cerita harus mengandung unsur itu, sebagaimana para jurnalis menyampaikan warta.
Saya beruntung, karena sewaktu kuliah pernah mendapat pelatihan jurnalistik dari berbagai wartawan: Kompas, Suara Pembaharuan dan Suara Merdeka. Dan, sempat pula mengelola tabloid kampus. Berbekal pengetahuan itulah, maka memudahkan saya menulis cerita pendek.
Mulailah saya memposting hasil karangan saya. Dua kali mendapat Hlt dari Admin. Itu nikmatnya bukan main. Walaupun saya sendiri belum tahu, bagus atau tidak ceritanya. Tapi kan oye! Wong sudah ada yang vote dan komentar. Rasanya memang udik, tapi ini menggelitik. Postingan menjadi tidak seperti kuburan.
Akhirnya, Ketika cerpen saya berjudul Gadis Minimarket mendapatkan HL, saya berteriak: Eureka! Keluar kamar sambil telanjang dada. (Di sini: http://fiksiana.kompasiana.com/s_pras/gadis-minimarket_55c21b25f47e613014b59387)
Inilah titik pangkal yang menjadikan saya fokus untuk mengasah kemampuan menulis cerpen. Mengumpulkan literatur kepenulisan cerita. Membaca berbagai karya dari pengarang favorit seperti Putu Wijaya, Arswendo Atmowiloto, Ahmad Tohari, Seno Gumira Adjidarma, Agus Noor dan lainnya.
Maka sampai akhirnya saya merasakan bahwa menulis cerpen tidak bisa dibuat main-main. Harus serius. Bukan sekedar hiburan pribadi. Tetapi sebuah proses kreatif yang diperoleh dari tiga unsur yaitu nilai, imajinasi dan pengalaman. Dan ini tahapan yang mengasikkan. Sebuah proses yang harus dilalui dengan sebuah bangun cerita yang dimulai dari setelah “akhir dalam pikiran.” Sebagaimana Steven R. Covey menulis dalam buku Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Paling Efektif.
Maka setahap demi setahap menulis cerpen menjadi sebuah kebutuhan. Sebuah kenikmatan. Di sinilah, saya terangsang untuk terus menemukan ide dan bersegera menulisnya dalam bentuk draft. Kemudian mengendapkannya agar menemukan pengembangan cerita. Membuat alur yang menarik. Menentukan paragraf pertama secerdik mungkin,karena ini krusial agar pembaca mau bertahan. Menjaga suspensi cerita agar tidak datar. Dan yang paling menguras “energi” adalah membuat akhir yang mengejutkan: Sebuah Twist. Ini adalah sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap pengarang.
Maka sebenarnya, Kompasiana telah memberi ruang bagi saya untuk leluasa mengembangkan keminatan saya pada dunia sastra, khususnya membuat cerpen.
Semoga makin banyak yang ingin memberanikan menulis cerita, mumpung Kompasiana memberi atmosfir. Kalau bukan di sini, ke mana lagi!
Wassalam. Merdeka.
sumber" pixabay.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H