Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Sebuah Oplet

8 Desember 2015   17:45 Diperbarui: 9 Desember 2015   04:47 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Habis manis sepah dibuang,” ucapnya getir.

Makin lama, Kakek Muda benar-benar tergencet oleh perubahan Jaman. Kendaraaan Jepang membuatnya terpelintir dan keluar dari percaturan transportasi untuk manusia. Ia menyendiri di tepian jalan merenungi nasibnya yang mulai redup.

Tetapi, asap dapur bagi rumah Mbah Wiryo, sang pemilik oplet harus tetap hangat dan berasap. Sebagai pertanda bahwa pemasukan masih ada. Dapur harus ngebul, pikirnya. Atau setidaknya masih ada kebutuhan yang bisa dipenuhi sehari-harinya.

Kakek Muda, yang kini supirnya sudah tidak muda lagi itu benar-benar membanting setir. Ia mengaku kalah bersaing. Lelaki tua ini ambil haluan, cari obyekan baru: mengangkut pasir dan batu kali yang oleh para penambang biasa digunungkan di pinggir jalan. Bata merah yang tertata di tobong pembakarannya pun ia datangi. Pokoknya, siap angkut.

Era baru sudah dibuka. Pasir, batu kali dan bata merah sudah dapat menikmati sisa kejantanan kendaraan Eropa yang sudah sepuh itu. Para penambang sudah merasakan manfaat. Seperangkat alat pemikul dipakai seperlunya, untuk jarak dekat saja. Mengantar pasir dan batu kali lebih mudah dan cepat dengan oplet. Mau ke desa sebelah mana, asal ada jalan yang memadai, mereka sanggup.

Mbah Wiryo kembali bisa tersenyum. Ia kini menjadi raja di kelas angkutan bahan bangunan. Lelaki ini sudah tak risau dengan mobil-mobil Jepang, yang dengan klakson elektrik,” Tin…Tin…Tin…” memberi aba mendahuluinya. Ia sumeleh, berbesar hati. “Mangga, silakan kalau mau mendahului.” Setir oplet digerakan perlahan ke arah kiri, memberi ruang lebih lebar bagi kendaraan yang dibelakangnya.

“Ngati-ati, ngebut bisa benjut!” selorohnya.

Tetapi perubahan trayek memicu pertengkaran. Pemilik gerobag sapi merasa terancam dengan sepak terjang Kakek Muda. Filosofi gerobag sapi yang “alon-alon sing penting slamet” sedikit demi sedikit mulai terlindas. Pangsa pasar angkutan bahan bangunan mengalami penyempitan. Panggilan sepi. Pemilik gerobag gelisah, sebagaimana pemilik oplet itu saat mulai tersingkir setelah hadirnya mobil Jepang. Tapi bagi dua ekor sapi penarik gerobag, keadaan ini menyenangkan. Mereka jadi lebih banyak makan daripada kerja.

“Pak Wiryo. Nuwunsewu. Jangan mentang-mentang punya oplet, terus Sampean seenaknya begini. Saya sudah lebih dulu angkut-angkut seperti ini. Sekarang sampean ikut nimbrung. Nanti saya kebagian apa!” kata pemilik gerobag dengan berkacak pinggang.

“Ya nggak tahu. Saya kan cuma nyari duit. Memang cuma sampean yang butuh duit.”

“Tapi penghasilan saya jadi berkurang!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun