Siang yang tenang. Awan bercecer menuju formasi terbaiknya. Panas menyengat, walau masih bisa ditoleransi. Puluhan orang duduk. Puluhan yang lain berdiri mengarah pada satu pandangan. Pada tumpukan kertas surat suara yang tengah ditata, dihitung per sepuluh demi sepuluh, sampai kemudian dijumlah keseluruhan.
Santai. Tidak tampak wajah-wajah tegang pada semua yang hadir. Hamparan seng yang digelar di atas rangka besi bongkar pasang itu, melindungi tubuh mereka dari bidikan matahari. Tidak terlihat siapa mendukung siapa. Semua mengesankan Pilkada ini datar-datar saja.
Satu per satu surat suara dibuka. Ditunjukkan kepada saksi. Beberapa orang turut mencatat, menggerakkan ballpoint, menorehkankan "tanda lidi" pada lembaran kertasnya.
Pukul 13.00, proses penghitungan itu dimulai. Segel dan kunci kotak suara dibuka. Tiga orang menata dan menghitung isinya.
Sekarang, sudah lebih satu setengah jam berlalu.
Tidak ada gerakan dan suara-suara yang berlebihan. Semua adem anyem. Nyaris seperti menonton pertandingan catur dunia. Sesekali hanya "dehem" yang terdengar. Kepulan asap rokok terlihat dari mulut banyak lelaki. Dan, satu dua anak kecil merengek ada ibunya minta pulang. Aha, tak mau kehilangan kesempatan, penjual balon pun ikut mencoba mengais rejeki di luar arena.
Pilkada pun tergambar damai, penuh kesejukan.
Dan kini, surat suara ke-113 telah diambil.
Ketua KPPS membuka. Sejenak ia terdiam memandang lembaran yang cukup lebar itu. Ia tersenyum dan menggelengkan kepala. Kemudian memperlihatkan kepada dua orang saksi yang duduk tak jauh darinya. Ia melangkah, mendekat ke meja saksi. Kedua yang tertuju juga tersenyum, tertawa, dan melempar punggung pada sandaran kursi plastiknya.
Lelaki berkemeja batik parang rusak itu mengangkat tangannya sedikit lebih tinggi. Warga menatap terbelalak. Mereka tertawa tak ubahnya menonton stand up comedy. Seperti mendapat satu hiburan, pemecah siang yang hambar.
“Bagaimana, Saksi?”