Jadi selama dua minggu itu, telah terjadi transformasi ilmu yang cukup kencang. Dan Minatun tampak cepat mempraktekkannya.
Kata Bu Juminten, setiap yang datang punya karakteristik sendiri. Sorot mata, roman muka, cara duduk sangat mempengaruhi rasa “mengopinya”. Maka, puluhan tahun ia niteni, mengamati sikap dan perilaku pengunjung setianya.
Aku masuk kedai. “Kopi satu Min. Yang seperti biasa,” kataku pada Mina saat kedatangan berikutnya. Aku sudah mulai mengesampingkan Bu Juminten.
Ia tidak perlu lagi bertanya: manis, sedang atau pahit untuk satu gelas kopi. Ia sudah bisa membaca wajahku, sikapku dan mungkin saja hal-hal tersembunyi yang aku sendiri tak peduli.
Akhirnya aku katakan padanya, pada bulan kelima statusku sebagai pelanggan kopi kedai Bu Juminten. “Kamu sudah pas untukku Mina,” Aku berucap lirih sambil melirik kanan kiri di hadapan Mina, Minatun itu.
“Bu Juminten yang mengajariku, Mas.”
Aku masih merendahkan suara. “Bukan itu maksudnya, tapi….”
Aku menghentikan suara, setelah di-sssttttt oleh Mina. “Ada Bu Jum!”
Satu orang yang masih tersisa di kedai itu menatap kami yang sedang berdiri bercakap dekat dapur. Gelas kopinya sudah habis. Ia kasih uang dan pergi. Bu Juminten dari luar masuk pintu dan mendekati Minatun, sedang aku sudah bergegas ke tempat duduk. Cari posisi aman.
“Tun, kamu aku tinggal. Nanti kalau Mas carles ini selesai, langsung tutup saja.”
“Sales, Bu!” Aku tersenyum menunduk sambil pura-pura membetulkan risleting. Aku dan Minatun berucap spontan bersama. Tak kuduga.
“Ya, maksudnya ya itu…” tangkis Bu Juminten.
Aku girang tak karuan. Hatiku bergelora, getarannya memantul-mantul ke dinding hati Minatun. Ia pun melepas senyuman dengan tatapan gadis bermata jeli. Pesonanya selaksa bunyi petasan cabe rawit.