Sambil mengelus-elus pantat cucunya, ia kembali berkata. “Sampai umur mendekati dua tahun, kamu belum juga bisa berjalan. Terhitung terlambat dengan teman sebayamu. Ayah dan ibumu sepakat mengikuti saran beberapa orang tua. Kamu diganti nama. Dan, selang waktu kemudian, kamu mulai menampakkan perbedaan. Akhirnya kamu bisa melangkah.”
Anak perempuannya hanya mendengarkan. Bibirnya ia rapatkan dengan sedikit ke dalam. Ia tatap anaknya yang mulai terbuai dalam ayunan kakeknya.
Bola mata lelaki tua itu bergerak ke arah kiri atas. Ia mengenang masa itu. “Betapa senangnya waktu itu. Ibumu sampai menetes air mata. Memamerkan kepada orang banyak bahwa kamu sudah bisa berjalan”
Sungguh, lelaki tua itu merasakan kebahagian yang tak terperi. Walau hanya beberapa hari berkumpul dengan anak dan cucunya itu. Baginya, tidak ada yang merepotkan untuk seorang cucu. Berapapun jumlah celana dan baju yang diompoli. Bukan alasan untuk menjadi jera menimang si kecil.
Ia sudah merasakan anugerah hadirnya bayi itu dihadapannya. Sendinya yang terasa mengering seperti telah diinjeksi pelumas. Matanya kembali penuh binar-binar, demikian pula pendengarannya, seakan awas menangkap bunyi dari kejauhan. Langkahnya pun sigap, tiap mendengar bayi itu menangis. Ia selalu terpanggil mendekat. Membopong dan mencium.
Ia menikmati aroma kulit bayi. Dan lelaki tua itu mendapat sebuah terapi yang tanpa ia sadari. Mengalihkan dari kesunyian karena sebayanya sedikit demi sedikit sudah ke alam kubur.
***
Tapi sesudahnya, rumah lelaki tua itu kini sepi. Kembali sepi seperti sebelum ada bayi di sana. Tak ada lagi tangis bayi, senyum dan ceceran pipis yang kerap kali merembas dari pakaian yang dikenakan lelaki itu.
Ia, lelaki tua itu rindu dengan suasana yang pernah didapat. Teramat rindu.
“Lina, Ayahmumu sakit. Sekarang lagi dirawat inap” kata istri lelaki tua itu menghubungi anak perempuannya.
“Sakit. Sakit apa Ibu?”
“Tekanan darahnya nggak normal, sesak nafas, gelisah. Dia selalu bilang kangen. Ingin sekali ketemu anakmu”
Perempuan yang tengah di seberang sana menarik nafas. Dihimpun olehnya kekuatan untuk menghadapi kabar itu.
“Ia kepikiran terus, sampai tekanan darahnya naik” lanjut ibu perempuan itu.
Tidak ada perkataan panjang yang bisa perempuan itu sampaikan lewat percakapan jarak jauhnya. “Aku doakan dari jauh, semoga ayah cepat sembuh. Nanti bagaimanalah, biar bisa pulang.”