“Bobo ya” Sesekali ia tiup dengan lembut mata bayi itu. Ia buat bibirnya menyerupai huruf ‘O’ dan menekankan sedikit udara keluar. “wus, wus”
Entah apa sebabnya, bayi perempuan itu menangis tak juga henti. Bulan masih separuh terlihat. Seperti tengah berjuang untuk menengok sang bayi. Desiran angin sesekali menerjang ranting dan daun, mencipta bunyi mengusik sepi. Memasuki setiap celah rumah, mengintai si mungil. Seakan ingin andil membantu lelaki tua itu menidurkan sang bayi.
Ibu bayi sudah membopongnya lama. Isaknya tak juga reda. Nenek pun turun tangan mengusap-usap kepala bayi yang masih tipis rambutnya.
Akhirnya, lelaki tua itu mendekat, mengulurkan kedua tangannya. Bayi itu berpindah ke dalam dekapannya. Dan sebentar kemudian ia tenang. Sang kakek, lamat-lamat bersenandung. Sebuah lagu pengantar tidur bagi sang cucu yang dikasihinya.
“Nina bobo oh nina bobo” Dan Lelaki tua itu melanjutkan lantumannya. “Kalau tidak bobo digigit nyamuk…”,
Sudah lebih dari dua puluh tahun. Rumah lelaki tua itu tak pernah lagi diramaikan tangis bayi dan bau minyak telon. Lelaki itu serasa menemukan suasana yang baru, kala anak perempuan satu-satunya, ibu bayi itu, datang dengan membawakan satu generasi penerusnya. Si cucu perempuan itu.
Sebuah rasa yang pernah ia dapat dulu, sewaktu ibu bayi itu lahir dari perut istrinya.
Bayi adalah kebahagiaan baginya. Bagi lelaki tua itu. Sebuah energi yang membarukan alam sadarnya, bahwa ada tanggung jawab yang menyertainya. Sebuah titipan Tuhan yang harus dijaga, diasup dengan kelembutan dan kasih sayang.
Ia merasa, kehadiran bayi didekatnya kini adalah cara paling bernilai memudakan jiwa. Mengisi kembali harapannya. Dan, mengencangkan doa-doa pada jeda waktunya.
“Ayah jadi ingat waktu kamu bayi” berkatalah dia pada ibu bayi itu yang ada di dekatnya.
“Kamu kerap menangis di tengah malam. Hampir setiap malam. Tak tahu, semua tak tahu mengapa demikian. Kamu, ayah emban ke luar rumah. Para tetangga sering terkejut dengan tangismu”