Masuklah ke kamar Bapak yang karena jam tidurnya sudah terlewat dari biasanya, jadi susah tidur. “Keterlaluan, sudah malam begini masih belum juga pulang” Aku berbisik ke telinganya
“Terus bagaimana?” ujar Bapak.
Selanjutnya aku jelaskan padanya.
Lewat pintu belakang, aku melipir ke samping rumah menuju meteran listrik PLN. Aku pindahkan switch MCB-nya ke posisi off. “Bet” Matilah lampu-lampu dan lainnya. Suasana rumah jadi gelap.
Bergegas semua sibuk mencari lilin dan lampu darurat. Aku masuk rumah secepatnya.
“Konsleting!”
Aku bepura-pura kesana-kemari menyibukkan diri. Adikku pun begitu. Bapakku bangun dari rebahannya. Lelaki, tamu itu berdiri bereaksi terhadap gelapnya rumah. Sampai akhirnya, sebuah lilin dapat dinyalakan.
“Jangan dekatkan lilin itu ke dia, biarlah dari jauh saja” Bisikku kepada adikku.
Kami semua mencueki tamu itu. Apa boleh buat, ini darurat penuh rekayasa. Sampai akhirnya, dia mendekati Bapakku dan mohon diri.
“Pak Dhe, sudah malam nih, aku sekalian pamit, besok langsung pulang ke Bogor” Berkatalah dia.
“Yo wis, sing slamet-slamet wae”
Kami bersalaman. Aku mengantar dia sampai ke teras rumah. Memandangi dia sampai agak jauh dan tidak bisa melihat rumah kami lagi.
“Byar” Aku baru saja menggeser switch MCB ke posisi on. Teranglah kembali rumah kami.
Kami tersenyum, sandiwara kami bisa menghalau tamu dengan halus tanpa perlu menyakiti perasaannya. Kami merasakan sebuah kemerdekaan dari belenggu cerita panjang lebar seorang saudara. Seorang lelaki tukang servis kompor.
Aku menatap meja tamu. Sebuah bungkus rokok filter tergeletak. Tampaknya, milik saudaraku itu ketinggalan.
Aku buka, aku lihat isinya: lima batang rokok.