Tapi ya, begitulah. Tak berapa lama, dia kembali ke topik utamanya: kompor gas, kompor listrik. Bahkan kulkas.
Tanpa terasa, sudah lebih pukul Sembilan malam. Bapak sudah tidak tahan dengan posisi duduknya. Ia bangkit dan ke belakang. Mataku terarah ke jam dinding agak lama saat dia bicara. Ternyata dia belum tanggap gelagatku. Sedangkan adikku tak mengacuhkan tamu itu. Ia yang malah memainkan HP.
Aku membatin, berdoa. “Duh Gusti. Sadarkanlah tamuku ini. Malam sudah larut. Kami mau istirahat.”
Masih saja dengan obrolan sekitar pelanggan dan kompor-kompornya. Sepertinya, saudaraku ini bicara tanpa berpikir. Kalimatnya mengalir tanpa hambatan. Sudah bocor! Tak sedikitpun kami bisa menyela. Bapakku yang sudah kembali ke kursinya, cuma manggut-manggut. Aku yakin, dia sudah eneg.
Beliau bolak-balik menguap. Tak tahan, lantas mundur dari arena pertamuan. Sebagai orang tua, setengah sembilan biasanya sudah berbaring. Bangunnya pagi sebelum adzan shubuh.
Dalam hati aku memuji cara saudaraku ini bercerita. Mendetail seperti cerita sebuah novel. Kalau saja dia seorang teknisi pesawat terbang, mungkin aku amat tertarik. Karena sangat menggoda minatku tentang pesawat. Tapi ini, ah! tukang servis kompor.
Kejengkelanku sampai meremehkan profesinya. Keahliannya.
Air teh manis dalam gelasnya hampir habis. Sepadan dengan tenggorokannya yang kering karena lama bercerita. Aku biarkan. Biar saja tanpa basa-basi untuk menambahkan air.
“Semoga dia cepat pamitan”
Aku senang dalam hati saat ia bangkit membawa gelas itu ke belakang. Aku senang, tanda-tanda doaku dikabulkan. Tapi tak lama berselang,ia kembali membawa gelas itu dengan sepenuh air putih. “Oh, tobat!”
Sudah mendekati pukul sepuluh malam. Segera, giliran aku yang bangkit dari tempat duduk, dengan lebih dulu menendang lembut kaki adikku. Ia menggangguk, maksud dengan pikiranku: gantian ngobrol.