Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Saat Sungai Tak Seperti Dulu

7 April 2015   23:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:24 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="644" caption="transtitory.wordpress.com"] [/caption]

Sungai merupakan sumber kehidupan bagi ikan air tawar.  Di sanalah fauna itu memiliki habitatnya, berkembangbiak dan mencari makan.  Celah-celah batu besar menjadi arena hunian, rumahnya untuk perlindungan diri.

Saya melihat di pedesaan, sungai telah mengalami perubahan ke arah kerusakan lingkungan.  Sampah plastik  mudah ditemukan di sepanjang bantaran.  Batu kali dan pasir diambil secara serampangan,  hingga akhirnya menyisakan dasar sungai berupa cadas.  Hingga saat banjir, air itu mengalir begitu lancar tanpa hambatan batu-batuan sebagai pemecah arus.

Kegiatan pembangunan rumah, maupun proyek-proyek infrastruktur  yang membutuhkan material kali, menambah masif gejala kerusakan itu.  Dulu, hanya orang-orang yang turun ke sungai mengambil batu atau pasir, kemudian di bawa ke tepi jalan untuk di jual.  Sekarang, truk dan mobil pick up yang turun langsung ke sungai.

Kelangsungan hidup aneka jenis ikan pun terancam, akibat hilangnya tempat untuk berkembang biak.  Bebatuan  besar sebagai wahana perlindungan bertelur mereka sudah sulit ditemukan.  Perkembangbiakkan menjadi sangat terbatas.  Efeknya, ikan pun sulit di dapat baik dengan cara dipancing, di jarring atau pun dengan teknik pemijahan di pinggirian sungai.

Sebagai contoh, di tempat saya, harga ikan Uceng bisa mencapai lebih dari Rp 60.000 per kilogram.  Repotnya untuk mendapatkan ikan jenis  ini harus inden.  Heh, menunggu, seperti  mau membeli mobil saja!

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="kaskus.co.id"]

kaskus.co.id
kaskus.co.id
[/caption]

Ini salah satu akibat mulai langkanya jenis ikan itu, sehingga para penangkap  ikan tidak lagi mudah mendapatkan, maka terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan. Harga pun  menjadi tinggi.

Dulu, orang-orang desa mudah mendapatkan ikan jenis ini.  Memancing pada sore hari di tepi sungai bisa mendapat satu mangkuk ikan tersebut.  Ini artinya, sekeluarga bisa mendapatkan lauk nabati tanpa perlu keluar uang belanja.

Perkembangan lain yang tidak kalah mengkuatirkan yaitu berdirinya usaha pemecah batu kali untuk dijadikan split. Split adalah pecahan batu dengan ukuran tertentu yang biasa digunakan untuk campuran cor beton dan juga pelapisan pengaspalan jalan.

Sungguh aneh, pemerintah daerah “seperti” mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkannya.  Birokrasi hanya melihat sisi pendapatan yang bisa diperoleh oleh Pemda dari kegiatan ini, tanpa memperhatikan efek jangka panjang akibat semua ini.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="krjogja.com"]

krjogja.com
krjogja.com
[/caption]

Sungai pada masa kecil saya adalah tempat yang menyenangkan,yang  memberi makna sebagai anak-anak desa.  Di sanalah karakter “ndeso” kami terbentuk.  Rasanya jika sehari tidak masuk ke sungai, badan ini terasa kurang enak.

Saya dan teman-teman semasa kecil, terbiasa mandi di sungai sebelum berangkat ke sekolah.  Walaupun kami semua memiliki sumur dengan air yang jernih, tapi tidak menarik hati untuk mandi di  rumah.  Hanya jika hujan dan air sungai keruh, kami tidak mengarahkan kaki ke sungai.  Sepulang sekolah pun, kami turun ke air.  Berenang, menikmati jernihnya air sungai, hinga mata kami memerah dan kulit menghitam karena terik matahari.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="searchthetruth.wordpress.com"]

searchthetruth.wordpress.com
searchthetruth.wordpress.com
[/caption]

Sekarang, saya jarang melihat lagi suasana seperti ini.  Sungai sudah terlihat keruh dan sampah-sampah banyak mengapung. Pendangkalan sungai menyebabkan hilangnya tempat-tempat yang memiliki kedalaman tertentu, padahal inilah wahana paling menyenangkan untuk berenang.  Orang desa menyebutnya “kedung”. Bisa jadi, ini yang memyebabkan anak-anak sekarang jarang mau “nyemplung” ke sungai.

Maka kemudian saya tersenyum, manakala serombongan tiga buah mobil dari kota mendatangi sungai yang ada di desa saya.  Anak-anak dari sebuah SD swasta itu hanya memliki satu tujuan yaitu berenang di sungai, yang mereka tidak dapatkan dalam kehidupan kota.

Sepulang dari sungai, mereka membilas badannya dengan air sumur di rumah saya.  Ternyata, melihat sumur saja mereka terpana.  Melihat cara mengambil air dengan  menimba pun terasa begitu mengasikkan, hingga mereka saling berebut untuk mencoba.

Keceriaan seperti ini apakah akan menjadi momen langka?

Oenthoek Cacing, Bumi Cahyana, 07 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun