Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Foto Sang Guru

28 Maret 2015   07:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:53 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bukan matematika atau fisika.  Bukan pula biologi atau kimia.  Tapi sejarah.  Ya, pelajaran sejarah menjadi momok yang “menakutkan” bagi keponakan saya yang tengah menapak di bangku SMA.  Ini pun tidak hanya dirasakan oleh dia seorang.  Hampir semua temannya begitu.

Cerita tentang sulitnya  “menikmati” pelajaran sejarah di sekolah yang satu ini ternyata sudah puluhan tahun.  Menjadi sebuah roman klasik bagi alumni dan mereka yang tengah mengenyam pendidikan di sana. Pada sebuah SMA Negeri.

Ini tentang materi pelajarannya? Bukan.  Ini menyangkut siapa yang menjadi guru pelajaran sejarah.  Sang Guru  tidak menciptakan suasana belajar yang membuat murid merasa senang.  Terkadang perkataan “goblok” terlontar dari mulutnya.

Anak yang duduk dengan kedua tangan di atas meja menjulur ke depan ia bilang,”jangan seperti (maaf) kirik!” Dalam bahasa Jawa, kirik adalah sebutan untuk anak anjing.

Ada sebuah kejadian yang membuat saya heran.  Sang Guru merampas buku sejarah milik keponakan saya, yang karena tidak ada label nama sesuai yang dikehendakinya.  Walaupun di buku itu telah ada tulisan tangan nama pemilik.  Tapi dia tidak mau, harus persis yang ia kehendaki.  Akhirnya, buku yang seharga Rp 52.000 itu tidak lagi ia miliki.  Sesuatu yang tidak subtansial, tapi merugikan siswa.

Saya pun sempat tercengang saat pengambilan buku rapor keponakan saya sewaktu kelas satu.  Wali kelas menjelaskan, dari tiga puluh enam siswa, hanya ada lima siswa yang tuntas pada mata pelajaran sejarah.  Artinya, ada tiga puluh satu anak yang harus ikut remidian untuk memenuhi standar nilai minimal.  Hal seperti ini terjadi juga di kelas lain.

Bu Wali kelas berkata,”Saya dan Kepala Sekolah sudah membicarakan ini dengan guru yang bersangkutan.  Tapi beliau tetap dengan pendiriannya.”

Tentang sikap dan perilaku guru sejarah yang satu ini, ternyata dikeluhan oleh anak-anak peserta didik kepada orang tuanya.  Sehingga tidak heran, para wali murid menanyakan tentang hal ini.  Bahkan tidak saja dengan wali kelas.  Saat pertemuan dengan komite sekolah dan kepala sekolah pun, beberapa wali murid menyampaikan kegusarannya.

Kepala Sekolah hanya bisa berdiplomatis,”Setiap guru memiliki sifat sendiri-sendiri, maka siswa mesti pandai menyikapi karekter Bapak dan Ibu gurunya.”

Alhasil, menginjak kelas sebelas, saatnya penjurusan ia memilih IPS, dengan harapan ia terhindar dari guru yang satu ini.  Justru sebaliknya, ia yang selama ini mengajar sejarah untuk jurusan IPA dialihkan mengajar di jurusan IPS.  Sialan! Umpat keponakan saya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.  Sudah terlanjur basah, ketemu “si Dia” lagi yang menyebalkan.

Kemudia saya melihat pada steroform di depan meja belajarnya.  Sebuah foto pria paruh baya tertempel.  Itu foto sang guru sejarah.  Rambutnya menipis dan memutih.  Usianya sudah paruh baya.  Dua tahun lagi pensiun.  Itu Pak guru sejarah, yang perilakunya “berhasil” menekan kejiwaan banyak siswa.  Ia uduh dari website sekolah dan kemudian mencetaknya seukuran potscard.

Apa tujuannya? Singkat cerita, ia ingin “woles” saat belajar sejarah.  Tidak mau dihantui ketakutan dengan sikap dan perilaku sang guru itu.  Ia mempraktekkan cara  yang telah dilakukan oleh seorang alumnus yang pernah bertemu dan bercerita dengan keponakan saya.

Katanya, ia memasang foto guru itu di kamarnya.  Ia tatap tiap hari dengan tersenyum, hingga akhirnya ia bisa membebaskan diri dari kejumudan dengan pelajaran sejarah.  Melepaskan ketakutan terhadap bayang-banyang sang guru sejarah.

Saya bilang kepadanya,"Good idea!". Kemudian saya tempelkan sebuah tulisan di bawah foto itu:

SEJARAH ADALAH KITA, MAKA HEPI SAJALAH”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun