Mohon tunggu...
T.S Trisno
T.S Trisno Mohon Tunggu... -

Political & Economic Research

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik ‘Sinis’ Ala Amien

14 September 2013   14:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:54 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13791443251052970182

[caption id="attachment_278745" align="alignleft" width="300" caption="foto:tribunnews.com"][/caption] Pada awal reformasi bergulir, Amien Rais (AR) adalah salah satu tokoh yang namanya mencuat. Pasca gerakan reformasi 1998, layaknya selebritis, AR tidak pernah absen dari hingar-bingar panggung orasi, mulai dari jalanan sampai dengan auditorium kampus, serta gedung parlemen. Tidak heran, jika orang mengenalnya sebagai tokoh reformis yang vokal.

Sebagai tokoh reformasi, AR juga dikenal dengan ‘kesinisannya’ dalam mengkritisi pemerintah. Pada saat itu AR menyebut Soeharto sebagai biang kehancuran Indonesia. Tidak hanya soeharto saja. Setelah kejatuhan Soeharto dan tampuk kekuasaannya berganti ke BJ Habibie, Amien tidak melepaskan sikap sinisnya, karena menganggap mantan Mensristek itu sebagai bagian dari orde baru. Padahal kalau mau jujur, Habibie adalah bagian produk dari reformasi. Dia menjadi presiden, karena mendapatkan ‘berkah; dari gerakan reformasi yang dipelopori oleh elemen mahasiswa. Namun AR tetap AR yang selalu kritis dan sinis. Amien terus meramaikan panggung orasi untuk menolak Habibie dan kelompok militer yang pada saat itu masih berada di ring kekuasaan.

Sampai akhirnya, pada 1999, Indonesia memasuki babak baru, dimana demokrasi (Pemilu) tidak hanya berisi 3 partai tradisional (Golkar, PDI, PPP). Dari panggung orasi, AR akhirnya masuk ke gelanggang politik. AR bersama Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikannya mengikuti Pemilu 1999.

Tapi apa hasilnya? Sebagai tokoh reformasi, seharusnya AR dan PAN mendapatkan berkah dari momentum reformasi. Namun PAN tidak mampu berbuat banyak. Sebagai partai reformasi dan ada AR di dalamnya, PAN hanya menempati peringkat lima, kalah dari PDIP, PPP, PKB dan Golkar.

Kenapa ini bisa terjadi?  Salah satu penyebabnya adalah sikap sinis AR, pemikirannya yang terlalu radikal dan ‘sok kebarat-baratan’ dengan pencetusan ide negara federal.

Kekalahan AR pada Pemilu 1999 menjadi indikasi yang jelas bahwa dia telah gagal memanfaatkan momentum reformasi. Namun kekalahan AR pada Pemilu 1999 tidak mengubah ‘tabiat politiknya’ yang sinis. Ketika akhirnya Megawati mendapatkan berkah dari Pemilu 1999, Amien membentuk Koalisi Poros Tengah. Manuver AR yang tiba-tiba menggandeng KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akhirnya berhasil ‘mengeliminasi’ Megawati.

Namun apakah kesinisan AR berhenti? Jawabannya tidak. Ketika Gus Dur berkuasa, AR pun bermanuver lagi dan kembali menggerakkan Poros Tengah untuk menggusur pentolan NU tersebut dengan ‘mengapungkan’ kasus Buloggate dan Bruneigate. Sampai dengan Gus Dur, kesinisan AR masih mendapatkan hasil. Meskipun sejarah kemudian membuktikan, dalam pengadilan, Gus Dur dinyatakan tidak bersalah.

Keberhasilan AR dalam melakukan manuver-manuver politik memberikannya kepercayaan untuk kembali turun ke ‘gelanggang politik’. Pada Pemilu 2004, AR cukup percaya diri maju dalam pemilihan presiden (pilpres). Namun lagi-lagi dia gagal. AR kalah bersaing dengan SBY dan Megawati yang lolos ke putaran dua. Pada akhirnya, SBY lah yang memenangkan pertarungan pada Pemilu 2014.

AR yang mulai ‘ditinggalkan’ para fansnya, masih tidak kehilangan semangat untuk mengumbar politik sinisnya. Dia terus mengkritik Presiden SBY yang pada saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK). Namun era sudah berubah. Masyarakat sudah pintar dalam menilai pemimpinnya. Apapun yang dilakukan AR pada saat itu tidak bisa meruntuhkan duet SBY-JK. Pun demikian ketika SBY menjadi presiden lagi bersama pasangannya, Boediono. AR masih saja sinis dan menganggap SBY sebagai antek-antek asing, kapitalis dan melanggar UUD. Namun pemerintah SBY-Boediono tetap berjalan sampai sekarang.

Apakah AR kehabisan stamina untuk melontarkan sinisme politiknya? Ternyata tidak. Menjelang Pemilu 2014, AR kembali muncul dengan pernyataan-pernyataan sinisnya. Dua tokoh yang oleh sebagian kalangan dianggap bisa menjadi ‘duet maut’ dalam Pemilu 2014, tak lepas dari ‘serangan’ Amien. Kedua tokoh ini adalah Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Ironisnya, Hatta adalah yuniornya sendir yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum DPP PAN.

Dalam Rakernas PAN beberapa waktu lalu, AR ‘bersinis ria’ dengan menjatuhkan Hatta dan menyebutnya tidak pantas maju sebagai capres pada Pemilu mendatang. Dia juga mengatakan Hatta cocoknya hanya sebagai cawapres. Puncak dari kesinisan AR terhadap Hatta adalah ketika dia menyebut perekonomian Indonesia tanpa arah dan carut-marut. Padahal kalau mau fair, di bawah kendali Hatta, perekonomian Indonesia terus tumbuh positif. Bahkan ketika dunia mengalami krisis dan mengalami pertumbuhan minus, ekonomi Indonesia justeru terus berkembang.

Pernyataan AR ini sangat kontradiktif dengan apa diungkapnnya enam bulan lalu. Pada saat itu dia selalu menyanjung Hatta sebagai capres potensial. Bahkan dalam berbagai kesempatan, dia memuji keberhasilan Hatta dalam menyusun konsep ekonomi Indonesia ke depan.

Kontradiktif sikap AR juga terlihat pada Jokowi. Sebelumnya, AR menyanjung Jokowi sebagai sosok yang diperhitungkan dalam Pilpres 2014. Dia bahkan sempat mewacanakan duet Hatta-Jokowi pada Pilpres mendatang. Namun baru-baru ini AR berubah 180 derajat. Dengan sinis dia ‘menyerang’ Jokowi yang hanya menjadikan pekerjaannya sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk pencitraan. Dia juga menyebut keberhasilan Jokowi di Surakarta tidak lepas dari peran wakilnya pada saat menjabat sebagai walikota.

Setelah mengkritik yuniornya sendiri (Hatta Rajasa) dan Jokowi, publik kini menunggu, apalagi yang akan dilakukan AR mendekati Pemilu 2014. Namun sekali lagi, publik sudah cerdas. Sejak 2004, ‘politik sinis’ yang dilakukan AR, terbukti sudah tidak ‘manjur’ lagi. Artinya, AR sudah mulai ditinggalkan penggemarnya. Dan bahkan di lingkungan partai yang didirikannya sendiri, yaitu PAN, AR pun sudah mulai ditinggalkan loyalisnya. (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun