[caption id="attachment_111563" align="alignleft" width="180" caption="www.metacafe.com"][/caption]
Dulu pernah aku pandangi mereka dari ketinggian pohon ara: Seorang kakek dan seorang nenek yang dipisahkan oleh kekinian. "Dipisahkan oleh kekinian". Frase yang muluk. Semoga aku mampu menyampaikan maksudnya.
Pagi itu seperti biasa aku memanjati pohon ara di satu sudut persimpangan jalan desa. Pohon ini pertapaanku. Di sini aku dapat memandangi cakrawala tanpa penghalang apa pun. Aku bisa melihat lanskap lengkap dari pucuknya. Banjar perkampungan, hutan yang jauh, bukit-bukit selatan.
Pada awal hari cerah, langit selalu didahului paduan warna surgawi. Tak terlukiskan damainya. Lembayung, jingga dan gelora merah seakan barusan diledakkan oleh surya itu sendiri, menyemburat lewat gugus rona yang senantiasa berbeda. Itu semua jadi alasan kenapa pohon ara tua ini begitu menggoda untuk dipanjati. Pada momen terbit matahari itulah aku baru merasa tuhan memang ada dan sedang memampangkan sepotong warta, lewat palet pagi.
.
Lalu aku menyaksikan drama ringan itu. Seorang kakek, tetanggaku, berjalan ke arah rumahnya. Ia memakai sepatu tenis dan melenggang anggun. Dengan rambut peraknya ia menjadi kontras terhadap warna aspal jalanan. Disapanya semua warga yang berpapasan. Aku pun melihat ia berhenti dan merunduk sejenak untuk mengusap-usap tengkuk seekor kucing kusam yang berbaringan di bibir bak sampah. Rumahnya tinggal berjarak satu blok lagi. Hanya di balik satu tikungan, persis di seberang pohonku. Tikungan itu membatasi sang kakek secara visual dari rumahnya. Tetapi tidak untuk penglihatanku. Aku bisa menyaksikan sang kakek berikut bangunan rumahnya pada saat bersamaan.
Aku membayangkan ia ingin segera sampai ke rumah karena di tangannya tergantung sebungkus sarapan. Mungkin ia lapar, atau ia berpikir istrinya sudah lapar, dan gagasan itu terbaca lewat langkahnya yang dipercepat.
Menjelang tikungan, rumah baginya adalah (masih) masa depan. Rumah itu berada di keakanan. Ia tahu ia akan sampai juga, tetapi nanti. Sedangkan masa kini cuma tersusun dari ruas jalan, pohon ara di mana aku tersembunyi, dan langkah kakinya sendiri.
Sementara itu aku justru mampu merangkum sang kakek beserta rumah manisnya sekaligus karena aku berada di ketinggian. Dan bahkan ada satu penglihatan lagi: Seorang nenek yang tengah menyapu halaman. Semua itu adalah penghuni kekinianku.
.
Sang nenek menyapu serakan daun kering di halamannya. Dengan rambut perak dan daster abu-abu dia seperti melebur dengan warna pelataran semen di mana dia berdiri. Sesekali matanya menoleh ke gerbang, terdiam sesaat, lalu kembali mengangsrukkan sapunya. Aku tahu dia menanti-nanti sang suami yang telah menikahinya sepanjang setengah abad belakangan itu kembali dari olahraga pagi. Aku bayangkan dia cemas akan bronkitis suaminya. Waktu telah berlalu 10 menit dari jam yang dijanjikan suaminya untuk pulang. Begitu cemasnya hingga dia abai pada kesehatannya sendiri, tak memedulikan osteoporosis yang merapuhkan lututnya, dan tampil menyapu halaman supaya nanti terbit anggapan di diri suaminya bahwa dia sudah bugar kembali pagi ini walaupun kemarin dia terpaksa rehat saja di pembaringan. Lagipula berdiam diri tanpa melakukan apapun saat gelisah itu hanya akan menggandakan perasaan tak nyaman.
Pada titik-kala yang itu pula, bagi sang nenek, kedatangan suaminya masih berada di keakanan. Kekiniannya cuma berupa gagang sapu lidi, getar tempurung, sebatang pohon ara di mana aku tersembunyi, dan deru kekhawatirannya sendiri.
.
Dari ketinggian, aku melihat dua bentuk keakanan ini—dari sepasang manusia yang saling mengasihi—justru sebagai satu kekinian utuh. Keakanan-keakanan yang jamak itu menjadi kekinian tunggal buatku. Aku sanggup melihat mereka berdua sekaligus, namun mereka tak dapat melihat satu sama lain. Ini adalah, seperti wejangan masa silam lazim katakan, sebentuk tarian sawang-sinawang. Pada satu titik-kala mereka tadinya belum saling bertemu; masih terpagari oleh kekinian yang tak menyertakan satu sama lain, yang tentu mengasingkan. Tetapi mereka berdua sudah bertaut lebih dahulu dalam kekinianku.
Beberapa detik kemudian barulah mereka benar-benar bertemu. Sang kakek menghela pagar dan sang nenek menyandarkan sapu ke dinding garasi untuk menyambut suaminya. Mereka menyungging senyum terang dan berangkulan di dekat rumpun gladiol.
I hope you both find beauty in every single leaf that falls....
.
*
Aku tak mengerti kenapa satu perspektif bisa demikian sentimental. Aku sebetulnya hanya merasa kaya demi menyaksikan mereka berpelukan, berbagi kekinian, yang juga menjadi kekinianku saat itu. Lantas ada semacam dering di dadaku, ngungun, tertuju kepadamu dan siapa saja di atas dunia yang sedang tercerai-berai dari sisimu:
Kalian berdua memang acap terpisah. Hari-hari pernah muram. Namun keakananmu dan keakanannya suatu masa nanti barangkali akan kembali saling memeluk, memanunggal. Dan seperti kakek-nenek itu, kalian akan berbagi kekinian yang baru. Sementara menunggu, mulai hari ini kalian boleh belajar percaya bahwa sejauh apapun jarak itu terbentang, kalian masih tetap menghuni perspektif milik Mata yang jauh lebih tinggi, yang melihat segalanya. Kalian menghuni Kekinian Tuhan.
.
Terinspirasi oleh Wendelin van Draanen Medan, MMXI
.
***
.
Ps; kalimat yang tercetak abu-abu dan seterusnya didedikasikan untuk keponakanku, S. N. . . "Tu Me Acostumbraste" Written by Frank Dominguez Performed by Chavaela Vargas Babel (2007) Phantom Record [7407660]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H