Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Humor

Jumbleng, Kucing dan Usus Buntu

28 April 2011   13:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:17 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1301545454847023230

-Bab IV dari XXIX- [caption id="attachment_99229" align="aligncenter" width="368" caption="www.catspictures.net"][/caption]

”Hei, Cing, kemari cepat, Cing,” kata Simbah suatu sore, memanggili kucing-kucingnya.

Mbah Jumbleng mendiami rumah asri berkamar-tidur tujuh di kawasan selatan Jakarta. Ia tinggal sendirian sebagai manusia, namun berguyub-guyub sebagai makhluk hidup. Di sana tinggal sepasang kucing jantan-betina. Sitok dan Sitik, namanya. Simbah menempatkan mereka di kamar bercat merah muda yang pada dindingnya tergantung poster bergambar ikan-ikan segar.

John dan Yoko—sepasang anjing separuh pudel berbulu keemasan, hidup di kamar sebelahnya. Kecil-kecil saja perawakan mereka. Tetapi galaknya minta ampun. Si John terutama. Simbah pernah nyaris menamainya Napoleon Bora-pante’. Tetapi niatnya diurungkan karena nama yang agak-agak berbau Minang ini dirasa terlalu panjang dan vulgar.

.

Kedua pasang makhluk itu selalu makan bersama-sama di nampan kayu besar yang ditaruh di selasar. Mereka akur-akur saja sejauh ini. Tak pernah timbul sengketa yang berindikasi ke arah konflik nuklir maupun perang lempar-lemparan klaim yang berimbas jadi sentimen negatif pada pasar. Kedamaian biasanya cuma terusik bila Yoko dicumbu Sitok. Sitik akan geram. Luar biasa gusar, bahkan sempat mengancam terang-terangan ke depan Yoko bahwa ia akan menyewa Blackwater untuk menembak John.

Lain dari itu, hidup pula di sana seekor ayam kate betina pemberian seorang mahasiswa demonstran radikal kiri tukang 'nenggak arak ketan hitam—yang salah alamat karena saking maboknya ia mengira Mbah Jumbleng yang kebetulan berjanggut panjang kelabu itu termasuk salah seorang perilis fatwa rokok haram.

Ahh, ente mahh kagakh signipikanh baaah-ngeth dech...ef-pe-ih ajahh gihh ente bikinh haramh, nahh entuh baaa-ruh ash-soyh bin man-taaaph, hiq...—begitulah mahasiswa gebh-legh tersebut dulu bermonolog di muka Simbah.

Pun di rumah tersebut hiduplah 11 ekor coro menurut sensus tahun 2000; 69 ekor lalat menurut prakiraan mutakhir NASA; serta terakhir, yang paling langka dan terancam punah: Sang empunya rumah sendiri. Sedang makhluk lainnya, tanaman, tak terhitung jenisnya. Hampir semua tumbuhan tropis tumbuh di halaman kecuali ganja, Rafflesia arnoldii dan genjer-genjer hibrida.

.

”Cing” adalah panggilan konvensional bagi kalangan kucing. Ditujukan per se pada Sitik dan Sitok. Demikianlah protokol komando yang berlaku. Maka mereka berdua tadi langsung bergegasan menuju tahta Simbah begitu mendengar imbauan ”Cing” dari cangkem-nya.

Sitik meninggalkan bola-bola bekel mainannya. Diletakkannya dekat pintu ruang tamu dengan maksud mengerjai warga lain yang memintas di situ sembari meleng. Jika ada warga berfantasi porno lantas betul terpeleset, maka diharapkan si korban mampu menangkap hidayah untuk bertaubat. Luhur sekali itikad ini. Selain itu ada alasan hankamnas juga. Bila sewaktu-waktu ada maling bodoh kebadut-badutan yang miskin jam terbang dan belum pernah nonton Home Alone: Maka maling itu akan kena batunya.

Sitok pun beringsut dari genteng tetangga dan menunda dulu aktivitasnya mengintipi Cleopatra, anak gadis kucing mesir yang tinggal di rumah sebelah. See you next shot, katanya dalam hati berbunga-bunga. Dia bangkit sambil menelan ludah. Clegug-clegug.

.

Whom do you serve?” tanya Simbah, saat mereka telah bersila di depan sang raja.

Eeeng,” kata keduanya serentak.

Jawaban itu artinya “Jumbleng”. Struktur lidah mereka tak sekompleks punya manusia, Saudara-saudari. Pelafalan dari mulut kucing tentu tak bisa luwes.

”Daging yang haram dimakan itu daging cel-...?”

Eeeng.”

”Intro James Bond bunyinya bagaimana...?”

Eng—ing—eeeng.”

“Bagus. Bagus. Nah, sekarang aku cuma mau bicara sama Sitok. Heart to heart. Man to man. Jadi kamu, Tik, lekaslah main di belakang. Carilah gara-gara di sana. Oke?”

Eng-eng,” timpal Sitik. Dia buru-buru cabut setelah mencium tangan Sitok.

Solehah amat tuh kucing dah, ah....

.

You ain't busy now, are you, Tok?”

Miaaa.” (---> aku nyantai saja)

Kucing-kucing Simbah ini, seperti para anjing, mengakrabi komunikasi bahasa Inggris. Bawaan sekolahan. Mereka pernah menempuh kuliah ilmu strategi di West Point selama musim panas. Di padepokan itulah mereka menggodok keahlian memahami perintah lisan bahasa Inggris.

”Kowe tahu apa ini?” Simbah bertanya sambil mengeluarkan sebungkus plastik.

Sitok menggeleng doang.

”Benda dalam plastik ini mengajar-ken banyak hal akhir-akhir ini, Tok. Tahu kowe?”

Sitok menguap.

”Benda ini marai aku merasa tua dan aku merasa waktu berjalan makin kencang, lebih kencang dari larimu yang terbirit-birit itu kalau dikejar pentungan si John. O, Tok, hidupku tak akan lama lagi. Pencernaanku wis ndak beres. Onderdil-e aus. Nah, benda ini potongan apendiks-ku sing kemarin infeksi lan nyaris pecah, Tok. Dimatke.”

Sitok memejamkan mata.

”Usus buntu ini dulu-ne setia. Sekarang dia ingin ngaso..."

"...dan jasa-ne tak terkira-kira, Tok. Mengabdi puluhan tahun, menjaga imunitasku...eh giliran tua malah dibuang begini, bukan-e dikasih pensiun. Betapa enggak adilnya dunya iki. Sungguh majenun.”

Sitok yang bosan diceramahi retorika dan kebetulan mainan catnip tiba-tiba menjelma kucing trance; berputar-putar mengejar ekornya sendiri, membuat Simbah terkenang pada Ahmad Dhani yang suka sembarangan mengasong Rumi.

”Cing, usiamu 'meh sebanding sama aku. Untuk ukuran kucing, kowe tuaaa banget. Dua belas-tahunmu sebanding 72 tahun manusia. Jatah hidupmu wis mepet, Cing....”

Sitok melirik ambang pintu.

Ah, bini gue pasti sebentar lagi dateng, nih. Lagian Simbah sih, pake acara manggil cang-cing segale.

Sitik betulan datang, melongok-longok ke Sitok dan pasang raut penasaran seolah menanyakan apa yang terjadi sampai ia dipanggil lagi.

Tuh. Bener, kan. Gue, gituh.

Sitok berisyarat dengan mengibaskan telapak tangannya, dadah-dadah, yang artinya cuekin ajah.

Simbah terus beretorika, ”Mudeng-kah engkau, komprador, hari ini bisa jadi yang terakhir?”

Sitok menggeliat lalu mengubah duduknya ke pose klasik seekor sphinx.

”Tidakkah kowe ingin berbuat baik buat kucing liyane yang kowe cintai dalam sisa umur kowe?”

Sitok melayangkan angannya pada lenggak-lenggok koi di kolam rumah Pak RT. Ia tiba-tiba ingin sekali menghadiahi Sitik seekor saja yang berwarna putih sebagai kejutan dan tanda kasih nanti di peringatan Hari Dharma Wanita berikutnya.

”Kowe kudu eling kita cuma turis ringkih sing mencari jalan pulang. Kita semua sedang pulang ke Rumah,  Cing.”

Sitik kembali masuk gelanggang dan ikut nimbrung. Pidatonya pakai ”cing” lagi, sih. Payah, Simbah. Sitok tak sempat berkode sebab ia sedang dibingungkan oleh kalimat-kalimat belagu Simbah yang terlalu manusiawi belaka namun sekelumit pun tak berperikekucingan.

”Baiklah, cukup untuk kali ini. Camkan yang aku wartakan. Aku mau cari kacang rebus dulu, sebelum cari Jalan Pulang, oke? Oya, kalian wis punya catnip buat sore-sore?”

Sitok dan Sitik menggeleng.

”Mau ini?” kata Simbah menunjukkan plastiknya. ”Ini hasil operasiku kemarin di RS MMCz, lho. Ini lebih dahsyat dari catnip. Mau?”

(Catat dulu, RS MMCz = Rumah Sakit Matre Mitra Czengsara) (Dinamai demikian karena pemiliknya punya darah Ceko, barangkali. Eh, tapi nama ini fiktif saja, lho. Saya enggak mau jadi Prita...)

Eeeng,” sahut keduanya berbarengan dengan antusiasnya.

Halah! Enak ’aja. Ini harga-ne sebelas juta, yow. Tipu ’dikit, ha ha ha ha. Ya sudah sana main lagi. Dismiss!”

.

Sitok dan Sitik berpandangan, merasa dibodohi. Mereka lalu kompak menoleh ke kamera, mengangkat bahu, menggeleng-geleng, meludah ptuih-ptuih lantas berpencar mencari buku Teologi Pembebasan dan logistik senjata untuk menyusun makar bergerilya.

. Jakarta, MMVIII

marai = membuat

dimatke = diperhatikan

dunya iki = dunia ini

meh = hampir

mudeng = mengerti

liyane = lainnya

. . Catatan: Rasio usia kucing terhadap manusia ditentukan dalam 3 konvensi.

  • Satu berbanding enam. Si Sitok yang berumur 12 tahun sebanding manusia berumur 72 tahun; atau
  • tahun pertama kucing setara 15 tahun manusia. Tahun-tahun seterusnya dihitung dengan rasio 1:4. Sitok dengan demikian berusia 15 + (11x4) tahun, hasilnya 59 tahun; atau
  • tahun pertama setara 20 tahun manusia. Tahun-tahun seterusnya berasio 1:4. Maka umur Sitok 20 + (11x4) tahun, dengan hasil 64 tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun