- Untuk Ibunda Setyawati - [caption id="attachment_92413" align="aligncenter" width="500" caption="Around the Bend"][/caption]
Beliau adalah subjek kedaulatan alam. Pihak yang dititahkan untuk melahirkan mereka yang kelak mempersalinkan inkarnasi berikutnya bagi masyarakat manusia. Ibu, seperti juga sang bayi yang terlahirkan dalam satu larik Tagore, mungkin datang dengan membawa pesan bahwa Gusti memang masih belum jemu dengan manusia.
Ibu tunduk kepada hukum-hukum yang telah mengantar kami ke dunia ini untuk pertama kalinya. Ketika jerit kami pecah di hari lahir bersyaratkan rasa sakit tanpa peri itu, dan kesejahteraan yang tadinya mengaliri plasenta terputus tiba-tiba, ibu tengah memerankan lakon untuk babak terbaik yang mungkin ada di biosfer ini: Genesis. Darah ditumpahkan. Nyawa telah terbelah. Dan beliau mematuhi naluri-alam berikutnya untuk jatuh iba bahkan kepada kami yang barusan menyudutkannya kepada tawar-menawar rawan dengan kematian.
Kami melampaui hari-hari duniawi awal dengan kemanjaan mutlak. Seolah ada ketentuan tak tertulis bahwa semakin tinggi derajat satu spesies maka makin tak berdaya pula spesies tersebut di fase-fase awal kehidupannya. Tak seperti tetasan penyu yang seketika itu juga sanggup merayap sendirian ke tubir pantai, bayi manusia tak akan bertahan hingga pekan berikut tanpa campur tangan sesamanya, terutama induknya. Bayi, ujud kami yang pertama, adalah hanya daging dan kelenjar yang tergolek tanpa fatsun apa pun selain meminta. Semua sistem tubuh yang berdetak di diri kami hingga hari ini adalah satir menyindir bahwa kami berutang banyak sekali.
Bahkan untuk mengutarakan keinginan pun bayi itu pernah tak kuasa. Ibulah yang terus-menerus menerjemahkan rengekan kami yang memanjangkan malam-malamnya tanpa jadwal pasti. Beliau penafsir tangis. Sebentuk dharma kemanusiaan yang mungkin masih belum sanggup kami lakukan terhadap manusia lain, siapa pun, selama ini.
Pernahkah Saudara menafsir tangis orang lain dan sekaligus berbuat sesuatu ke atasnya? Mungkin hanya seorang ibu yang menjawab ya.
.
Ibu patuh kepada isyarat alam dengan menyelenggarakan semua keperluan biologis anaknya semata-mata agar bayi tersebut berkesempatan membangun dan meneguhkan benak serta kekebalan tubuhnya terlebih dahulu. Dua bekal penting yang tanpanya perjalanan hijrah dimensional dari kedalaman rahim ke keluasan rahmat alam akan menemui banyak ancaman. Perlahan-lahan, sang bayi menyesuaikan indera terhadap alamnya yang baru. Hingga satu saat sang bayi tak lagi harus menerima pancaran susu dari tubuh ibunya dan bisa menemukan nutrisi dalam segala yang hidup di atas Bumi--bunda dari bundanya yang sejati.
.
Bayi itu kami.
Dan ibu pula yang mengajar kami bernyanyi. Ninabobo untuk senja yang berpamitan dan kinanti untuk alamat-alamat yang terjauh. Juga elegi bagi para ayah yang tiada. Ibu, ibu dan ibumu. Tiga kali ia disebutkan sebelum kami layak menaruh ode kepada semua sifat maskulin yang beredar di jagad raya. Ibu itu sendiri ialah himne hidup yang meringkas tiga perempat alasan-alasan terluhur bagi kami untuk mengasihi siapa pun yang kecil, lapar, tanpa suara, rapuh dan tak berdaya di atas dunia--seperti teladan yang beliau ragakan sepanjang zaman.