.
Musik pertama yang diperdengarkan bagi kami adalah detak jantungnya. Suara yang bernyanyi dekat dengan jantung milik kami, dulu sekali, sebelum terang dunia. Barangkali karena riwayat kedekatan itu beliau seakan mampu merasakan getaran getir yang kami coba sembunyikan. Beliau tahu begitu saja. Lalu jika di wajah ini tampak olehnya gurat-gurat kedukaan, betapa pun uzur usia kami pada saat itu, beliau adalah orang pertama yang merasa bersalah atas doa-doa yang dianggapnya masih belum cukup agung untuk memerdekakan anaknya dari penghalang bahagia.
Ibu kami, ibu kami, ibu kami ialah juga orang pertama yang mencadangkan air mata; selalu. Pada masa kami benar-benar sedang runtuh di hadapan hidup, beliau menawarkan saputangannya. Jika tak ada lagi air mata anaknya yang tersisa maka beliau diam-diam mencucurkan miliknya sendiri, atas nama kami. Tapi kami tak pernah tahu. Beliau merahasiakannya. Beliau hanya melepaskan permohonan-permohonan murni kepada yang Satu dengan begitu sederhana.
.
Ada begitu banyak keindahan murni yang sederhana. Denting piano yang berjingkat dari hening pertiga malam penghabisan, wangi basah hujan pertama, kurva pelangi, atau perputaran tudung langit di malam cerah yang mengizinkan kami merunut jejak-jejak kelengkungan ruang dan waktu. Namun jika seluruh keindahan itu hendak dirangkumkan ke dalam satu tanda saja, kami akan selalu menemukan sebuah kata itu: Ibu.
.
***
.
. Catatan:
- Sir adalah ungkapan dari dunia simbolisme Jawa yang maknanya merujuk kepada rasa yang amat halus
- Gambar diambil dari dokumentasi pribadi
. "Audace" Composed by Steve Barakatt Performed by Steve Barakatt Audace, Audacity (1994)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H