Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Romantisisme untuk Mozaik Warteg

8 Desember 2010   18:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1

Ibukota tak akan bisa melenggang dengan mantapnya tanpa warteg, duhai. Kota Babel versi baru ini niscaya luka parah sistem-koordinasinya, lantas tak sanggup memerintah sel motorik tubuhnya untuk mengurus diri sendiri. Tak kuasa mengunyah makanan, apalagi untuk cebok atau mandi keramas tengah malam. Ya, Jakarta akan limbung seteler-telernya, Saudara-saudari, jika para pengusaha warteg sungguhan melakukan boikot sebagai bentuk protes terhadap rencana pemungutan pajak daerah 10% ke atas usaha penyedia jasa makanan-minuman milik mereka. Malah, jika boikot tersebut berlangsung dalam rentang panjang, bukan tak mungkin Jakarta bunuh diri saking stresnya. Ibukota lalu dipindahkan ke Wonosari.

.

Saudara-saudari tak akan mampu memerikan betapa dahsyatnya warteg menjaga perikehidupan kota. Karena bagi sebagian warganya, yang terperosok di dasar-melebar piramida pendapatan, warteg adalah sanctuary.

“Saya pergi ke warteg karena harganya pas dengan kantong saya,” kata Item, seorang tukang obat, “dan lagipula harga itu jujur. Saya harus irit karena istri saya pelit. Lha di restoran Kolonel Sanders yang wajahnya mirip Romo Mangunwijaya itu saya pernah lihat ada harga paket 18.180 perak, tapi giliran 'mbayar kok jadi 20 ribu. Itu penipuan, Coy, dan sebuah penghinaan terhadap Gereja Katolik,” sambungnya tanpa kearifan kapitalistis sama sekali. “Nah, kalau di warteg itu perkedel yang satunya seribu bayarnya ya tetap seceng. Damai sejahtera dah pokoknya.*)Halah....

Lain lagi dengan Lik Saridi, seorang tukang ojeg di Pasar Pondok Gede. Ketika ditanya wahai, mengapa sampeyan makan di warteg melulu saban hari? --beliau menjawab, “Simply because I can speak tegalese with the goddamn owner, there I feel so so at home.

.

Warteg itu sebuah romantisisme. Setengah abad terakhir, bagi Babel, warteg menjelma jadi ikon khusus yang berada di seberang kelap-kelipnya kota besar. Kumuh, murahan, norak dan eksotis bagi sebagian orang. Ia komponen intim bagi keseharian orang banyak. Makanya pada 1998 lalu tak pernah terdengar kabar warteg dijarah atau dibakar massa. Mungkin berjuta-juta romantikus di luar sana punya cerita masing-masing tentang warteg; dan jika ada pihak yang iseng ingin mengumpulkan semua kisah itu maka niscaya ruang inventaris Perpustakaan Nasional perlu segera direnovasi.

.

"Gue kagak bakal lupa kebaikan hati warteg di jaman muda dulu. Bisa utang, cukup dengan muka melas sebagai DP-nya. Tanpa bunga pula. Biar status cuma debitur tapi gue enggak perlu harus gadai-gadai kancut, naikin harga bensin, atawa kudu privatisasi BUMN," ujar Peno, alumnus tongkrongan Potlot. Sedikit catatan, masa remaja Peno memang karikatural. Ia sering pesan menu khusus di warteg langganan. Ditanya, mau makan apa, Mas? --lalu si Peno, karena sering mengalami kekacauan neraca pembayaran, memesan: Pakai kuah saja, Mbak. Ah, alangkah manisnya nostalgia. Dan kini ia mengaku masih setia kepada warteg dengan alasan: Makan di situ masih enggak mewajibkan orang pakai dasi.

.

Tiga puluh lima ribu buah warteg berserakan di megapolitan Jabodetabek. Bagi petugas sensus, adalah tugas yang nyaris tak mungkin untuk mencari satu kelurahan di mana tak ada sebiji pun warteg dalam yurisdiksinya. Yurisdiksi. Seksi sekali diksi ini.

Yurisdiksi adalah ruangan imajiner di dalam kepala dan di atas kertas. Seperti warna, ia sebetulnya tak pernah ada. Ia cuma bayangan yang melingkupi imbal-balik hak dan kewajiban di suatu wilayah yang dihuni manusia. Sekali ia diciptakan, maka para pengemban kewenangan di suatu yurisdiksi, contohnya pemerintahan provinsi, terjalin ke dalam interaksi hak dan kewajiban dengan para penghuni yurisdiksi tersebut. Jika pemerintah daerah telah menunaikan kewajibannya untuk melanggengkan kemacetan dan banjir, maka pemerintah itu berhak memungut pajak-pajak dari warganya. Ya, memang seideal itulah cara kerjanya.

.

12916524481396419372
12916524481396419372
2

Masalahnya adalah: Sejarah selalu berisi persinggungan yurisdiksi. Tiap individu juga punya “yurisdiksi” masing-masing, Saudara-saudari. Ada klausula yang berbunyi “saya berhak menikmati keuntungan lebih setelah saya bekerja keras” di dalam diri seorang pengelola warteg, misalnya. Sayangnya wilayah kedaulatan tersebut bisa-bisa tertindih oleh yurisdiksi Pemprov DKI yang tengah berniat memungut pajak makanan 10% atas warung pinggir jalan beromset lebih dari Rp. 167.000,00 per hari.

.

12916526591208463896
12916526591208463896
3

“Cih. Semua tukang pungut pajak itu putus asa banget kali, deh. Cari-cari sumber pajak baru gara-gara duit pajak lama menguap ke mana-mana. Orang kecil macam aku begini yang jadi tumbalnya entar,” kata Mbak Sihh (dengan dua buah “h”), pemilik warteg di kawasan Rawajati.

Suaminya yang orang Minang pun menimpali, “Rokok bolehlah kau cukai banyak-banyak karena bikin rusak orang senagari. Awak 'ni pelayan publik sebenar-benar karena bikin makanan murah. Macam 'ni mau kau pajaki?? Cirik jawi.”

.

Apakah jagad perwartegan dan restoran kecil akan kolaps akibat pajak 10%? Barangkali tidak juga. Sejak dahulu pewirausaha Nusantara sudah terkenal sangat mahir beradaptasi dengan situasi terburuk yang diciptakan tiran-tiran se-ngehe apa pun. Sebetulnya konsumenlah satu-satunya pihak yang kelak paling terbebani jika aturan pemajakan baru itu akhirnya betul-betul berlaku. Selalu konsumen. Tak ada lagi martir paling legawa di muka bumi ini selain konsumen gurem: Buruh pabrik, satpam, loper koran, kasir swalayan, pengumpul troli, teknisi AC, montir mobil, tukang sol sepatu, bencong Prumpung, sopir pribadi, penyapu jalan, penyedot WC, office boy/girl, tukang parkir, kusir taksi, pilot becak, masinis ojeg, nahkoda bajaj, sampai penggali kubur, dan semua manusia yang “menikahi keadaan” dalam istilah Romo Manyun. Sebab tak pelak anggota masyarakat tersebut, para penyelenggara aktivitas urban yang menyamankan hidup Saudara-saudari sehari-hari, kelak terpukul paling keras oleh rencana kebijakan sang kumpeni. Selisih antara makan siang harian seharga 10.000 dan 11.000, yang berarti 30.000 rupiah sebulan, adalah sekotak susu termurah. Adalah nyawa bayi, dan biang kekhawatiran rutin para ibu. Entah harus berapa kali lagi pihak tak beruntung itu sakit hati atas keterbatasan daya belinya. Tapi persetan. Sejak dahulu sakit hati tak pernah dimasukkan sebagai biaya dalam anggaran kekuasaan, bukan?

.

Maka itu alangkah mudah bagi si Kliwon, seorang jurnalis buletin imajiner Warta Warteg, untuk membayangkan kataklisme bagi Babel celaka ini jika warteg dan semua restoran cilik dipajak-pajaki oleh pemda. Secara amat hiperbolis ia membayangkan jalan-jalan raya yang penuh sampah, pabrik berhenti berproduksi, dan para bos tak bisa berangkat kerja atau meeting. Transportasi massal lumpuh total karena para pekerjanya sakit hati plus malnutrisi. Ben modiar sisan kutha iki, batinnya. Dan diam-diam masih mengharap ibukota Indonesia boyongan ke Wonosari.

.

12916612741878942499
12916612741878942499
Dok. Pribadi

.

“Warteg adalah produk kebudayaan yang unik,” kata almarhum Irianto Kongkoli. “Warteg itu cermin egalitarianisme pesisir utara Jawa. Terlihat dari keragaman produknya, keterbukaan penyajiannya, kesamarataan bangku dan mejanya serta pola duduknya yang cenderung langsung menghadapkan pelanggan dengan pelayan. Jadi kau makanlah di warteg saja. Lestarikan dan merdeka.”

Merdeka apaan, Bang....

.

Pikiran Kliwon lantas melayang ke Sumeria, tiga milenium Sebelum Masehi, di mana Raja Urukagina merilis aturan resmi yang diberlakukan bagi kaum paling berkuasa ibukota: Haram bagi kalian, wahai pendeta dan ksatria serta para kroni, untuk melanggar batas kebun orang miskin demi mengambil selongsong ranting atau memetik sebiji buah pun dari sana!

Lalu Kliwon merinding bulu kuduknya melihat kenyataan mutakhir, 5.000 tahun kemudian, ketika welas-asih bagi pihak paling papa dihapuskan pelan-pelan dari kebijakan publik bukan-oleh-penguasa-monarki namun justru oleh gerak-gerik kekuasaan (yang konon) berasas kerakyatan.

.

Wis, jangan muluk, Bleh,” kata Damianus, salah seorang konsumen warteg. "Come what may and take the pain."

Dia memang paling bijak dalam segala soal menyangkut isu ekonomi. Ingat, “Damianus” lho, bukan demi anus. Kalau demi anus itu bunyi redaksi sumpah jabatan: Demi Anus aku bersumpah akan bla-bla-bla. Makanya pejabat-pejabat seantero negeri kadang berpolah seperti orang yang tak perlu begitu takut kepada Tuhan.

“Jangan muluk, Bleh. Setiap warga negara wajib membayar pajak. Lebih mending kita berdoa saja supaya pengusaha warteg mampu menghargai dirinya seperti Soichiro Honda,” tegas Mas Anus pula.

.

Ya. Betul juga. Tahun 1931 di kota kecil Hamamatsu, Soichiro muda, sang calon pembangun imperium otomotif Honda, ketika itu menjalankan bisnis Bengkel Art yang sedang maju pesat. Suatu pagi anak muda 25 tahun ini pergi ke halaman kantor pajak. Diambilnya selang lalu ia semprotkan air ledeng ke jendela lantai 2 di mana kepala kantor dan para staf pajak sedang bekerja.

"Hoi, bedebah pajak! Rasakan air ini biar dingin kepala ente-ente, he he he he. Biar kalian bisa berpikir cara cari uang sendiri, bukan cuma bisa ambil jatah orang lain saja, dasar tukang palak! Ha ha ha ha.” Lalu ia kabur dengan motornya sambil masih ketawa-tawa.

Honda tak takut sama sekali. Kepada adiknya ia berkata, “Jangan khawatir, aku sudah bayar pajak banyak. Aku ini pelanggan bagi mereka. Aku siram mereka karena mereka angkuh sok bergaya bos, padahal sudah dapat uang dari rajanya, yaitu para pelanggan seperti kita. Aih, betapa amat sangat lucu belaka muka orang-orang itu waktu basah kuyup.”

.

Semoga para wajib pajak punya sense of superiority seperti Honda. Termasuk pengusaha warteg jika pajak 10% itu betul-betul diterapkan per 1 Januari 2011 nanti. Hari ini, perimbangan suara pro-kontra jelas masih dimenangi kubu kontra--di tingkat akar rumput. Sedang pada meja pembahasan lain, tiada anus yang tahu ke mana isu ini bermuara. Namun peta butanya kira-kira seperti berikut. Bila para pihak ditanya haruskah pajak itu dikenakan(?), maka pemerintah provinsi menjawab: Ya. Namun para pengusaha menjawab kompak: Tai kucing. Sementara orang macam saya, yang energi keberpihakannya kepada mereka yang papa telah dikuras habis-habisan oleh konsumerisme, barangkali hanya akan menjawab dengan klise paling sering dikatakan, paling ambigu, dan paling tak ada gunanya untuk membenahi dunia yaitu: Mari kita kembalikan masalah ini kepada pribadi masing-masing.

.

.

12918301671135505331
12918301671135505331
4

***

gambar diambil dari 1, 2, 3, dan 4

*) Paragraf ini hanya faktual 10%, sisanya fiktif

.

Postscript: Berita terakhir terkait penundaan penekenan rancangan perda yang mengatur pajak bagi penyedia jasa makanan dan minuman dapat ditelusur di Tempointeraktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun