Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Holocaust Ayam

27 September 2010   13:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:55 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dari satu mimpi ganjil dini hari

*

Truk berbobot 2 ton menggeram menjelang puncak tanjakan. Mesin 110 ps yang kecapaian itu hampir saja mencapai puncak bukit sebelum akhirnya satu sepeda motor memotong lintasan dan berhenti tepat di mukanya. Anak muda di dalam kabin truk terperanjat dan memijak pedal rem seketika. Muatan seberat 1 ton, ratusan ayam pedaging yang terkemas berjejalan dalam boks-boks bambu bersusun, menjerit massal dalam bahasa mereka. Momentum melemparkan kandang-kandang ke muka namun jalinan temali yang terhubung kepada taut-taut baja menahannya dari sisi ke sisi. Satu umpatan nyaris terlontar dari mulut anak muda pengemudi truk. Tapi dia tidak sempat mengatakannya, begitu dia lihat pengendara motor yang berada di boncengan turun dan mengokang sepucuk Magnum.

*

”Keluar kau!” bentak si pembawa senjata, sembari menghunuskannya tepat menyasar kepala. Suaranya feminin, dari balik helm berkaca gelap. ”Naik ke bak belakang dan lepaskan semua tali. Biar kernetmu tetap di dalam. Dan jangan kau matikan mesin.”

*

Gemetar dan pucat, sopir bergeming. Dia begitu syok.

*

”Aku bilang turun!” ulang sang pengancam. Sopir sontak melompat keluar. Dia langsung memanjat anak tangga yang menjulur di samping pintu kabin, di bawah todongan laras yang selalu mengikutinya. Dia lakukan apa yang tadi diperintahkan. Sang pengancam beringsut ke depan dan memberi kode jari kepada rekannya yang menunggang motor untuk maju menepi.

*

”Dan kau, Kernet, pinggirkan truk kau ke belakang motorku itu,” hardik sang pengancam yang telah menudingkan senjata genggamnya ke sasaran baru. ”Lekas!”

*

Tapi kopling yang terlalu segera dilepaskan membuat mesin truk itu terbatuk dan mati. Si sopir di atas bak terjungkal menghujam bagian atas deretan kotak. Beberapa buah kontainer bambu itu pecah; membebaskan sebagian warganya yang langsung beterbangan ke udara.

*

”Hei! Kali ini kalau mati lagi mesinmu, aku janji kau ikut pula.”

*

Si kernet selamat dari horor. Dia sudah berdoa sedalam-dalamnya meminta penundaan maut. Roda-roda truknya kini berhasil keluar dari tepian aspal.

*

”Sekarang angkat bak kau itu!”

*

Kernet menekan kenop. Terdengar dengung, lalu tungkai hidrolik perlahan menjungkirkan bak itu ke belakang. Ayam-ayam tolah-toleh gelisah. Mereka sudah cukup kelu, kelaparan dan berdesakan setelah diangkut semalaman tanpa makanan dan air. Penjara cuma menyediakan rontokan bulu, dingin, debu, dan bulir-bulir kotoran. Kini lantai bak yang makin miring membuat mereka semua merosot ke satu sisi kandang masing-masing. Suara protes mulai riuh.

*

”Hei, Sopir. Lompat ke belakang! Buka kunci engsel bak kau.”

*

Kandang-kandang itu longsor bergelimpangan saat pintu bak membuka.

*

”Kini jajarkan. Lalu buka semua tutup kandang itu. Lekas!”

*

Si sopir berusaha mengerjakannya dengan seksama. Masa lalu barangkali sudah berlintas-lintasan di benaknya, dan dia tak ingin mati pagi ini. Dia terkenang utangnya di warung kopi, cicilan motor yang belum lunas, juga janjinya kepada mertua untuk membelikan kompor gas baru. Dia daraskan nama tuhan saban membukai kandang satu per satu.

*

Para ayam gaduh luar biasa ketika merdeka. Mereka buang air, berkepak-kepak dan lari ke segala arah, turun bukit, lenyap ke hutan.

*

”Nah, kini kau masuklah, Pir. Silakan kau dan kawanmu kembali mengemudi,” kata sang pengancam, sembari memberikan isyarat kecil kepada penunggang motor yang langsung membawa motornya ke dekat pintu kabin.

*

Dari atas sadel motor sang pengancam bersabda kepada kedua korbannya, ”Aku tak akan membunuh kalian kali ini. Dengan syarat: Sampaikan pesanku kepada bos kalian, si Torry Suhamto, pemilik peternakan...”

*

”...katakan kepada bedebah itu, untuk tiap unggas yang dijualnya untuk dibunuh di kota, harus ada seekor yang dia bebaskan. Bilang pada orang itu, aku tak akan membiarkannya menyiksa ayam seperti dia dulu pernah menyiksa pekebun cengkeh.”

*

”Kini baiknya kukatakan sejujurnya, ini cuma pistol mainan, kok...."

*

Sebelum melesat dengan motornya ke arah berlawanan, sang pembajak itu membuka kaca helmnya dan menyulut sebatang sigaret. Mengisapnya dalam-dalam, berujar, "Terutama katakan pada bos kalian, aku seorang vegetarian.”

*

***

*

...dan di mimpi tersebut saya diberi peran figuran sebagai kernet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun