Mohon tunggu...
Sujai Marali
Sujai Marali Mohon Tunggu... -

Pengarang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tentang "Kumara", Karya Saya yang Memenangi Sayembara Novel Etnografis Itu

24 Mei 2013   11:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:06 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, Kamis (23/5) saya memposting tulisan berita mengenai terpilihnya karya saya Kumara, Hikayat Sang Kekasih sebagai satu-satunya pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jawa Timur 2013. Tulisan tersebut saya unggah dari situs http://www.beritajatim.com/detailnews.php/2/Gaya_Hidup/2013-05-22/172421/S_Jai_Menangi_Lomba_Novel_Etnografis.  Namun kemudian dihapus oleh admin Kompasiana oleh karena menyalahi aturan blog ini. Terhadap peristiwa tersebut, saya mohon maaf kepada admin blok ini, dan utamanya juga kepada pembaca atau komentator yang sudah telanjur menikmati namun serasa tidak ada kelanjutannya. Oleh karena itu, saya rasa perlu untuk menayangkan tulisan kredo saya atas novel tersebut, yang juga sebagai sumber-sumber berita dari situs di atas, termasuk juga berita-berita lain seperti di http://www.koran-sindo.com/node/316263, atau di http://www.antarajatim.com/lihat/berita/110892/kumara-menangi-lomba-novel-etnografi-dkj. Termasuk juga di kompas. com http://oase.kompas.com/read/2013/05/23/19493987/Novel.Kumara.Menangi.Lomba.Etnografis.DKJ [caption id="attachment_263278" align="aligncenter" width="300" caption="Surat Keputusan Juri"][/caption] Kredo

SAYA menulis novel (Kumara, Hikayat Sang Kekasih) ini sebetulnya saya maksudkan sebagai tulisan biografi—riwayat banyak orang. Namun sebagai bentuk sastra, saya menggunakan prespektif (sudut pandang) danyang desa.

Saya terinspirasi dari satu istilah dalam buku Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi  Dalam Masyarakat Jawa: Kumara.  Meski banyak sekali menuai kritik dan ditolak, namun buku itu menyimpan kekayaan budaya menjadi sumber ilham yang tak habis-habisnya. Sudut pandang kumara saya gali dari sana.

Kumaraadalah wilayah kekuasaan danyang desa. Kumara juga berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Dalam tradisi Hindu, Kumara adalah Sanghyang Kumara, Dewa Pelindung Bayi—salah satu putra Dewa Siwa.

Novel ini bertutur kisah tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di pelosok desa di Jawa—tepatnya di sebuah dusun di Kediri—menghadapi  gerak pergeseran, pergesekan dan perubahan zaman.

Sebagai karya yang memuat banyak sekali biografi—yang oleh orang Jawa kerap disebut ‘sejarah’ itu—saya banyak sekali menggali tokoh-tokohnya dengan wawancara banyak orang. Mereka adalah para penduduk sekitar Pabrik Gula Ngadirejo dan para mantan buruh yang sebagian besar telah berumur senja, atas kenangannya sekalipun itu getir namun menerima lapang dada pertanyaan-pertanyaan tajam saya.

Mereka adalah orang-orang yang berjibaku dalam pergulatan selaku pribadi-pribadi masyarakat kecil yangkeukeuhpada daya budi hasil peradaban Jawa dan yang telanjur diuntai dengan tali secara keliru ke dalam pentahapan mistis yang irrasional. Bukan hanya itu. Bahkan mereka jugalah yang berkumpar pada keteguhannya dengan kultur Jawa rendahan yang mengukuhkan kebudayaannya, yang secara religi dimaknaistupid vainglorydengan istilah Abangan oleh sederet sarjana terkemuka—termasuk oleh Geertz.

Saya merasa agak beruntung berkenalan dengan karya Umar Kayam, Para Priyayi yang mencoba mengurai kembali gerak lembut tranformasi kaum priyayi ke dalam novel itu.  Dan inilah salah satu yang memantik saya menulis novel Kumara. Sekaligus mengkritiknya. Dari situ, saya mengambil jalan yang lain: makaKumaradari saya adalah sebentuk pledoi pribadi-pribadi masyarakat kecil dengan kultur Jawa rendahan yang sadar betul bagaimana mempertahankan, betapa berharganya hidup bagi semesta.

Sebagai konsekuensi dari ‘jalan lain’ yang saya tempuh ini, saya kumpulkan keberanian memasuki wilayah yang selama ini absen dalam sastra maupun sejarah kita. Atau setidaknya masih kontroversi hingga saat ini. Sejarah kelam 1965, misalnya. Pada novel ini saya tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa itu sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, apalagi yang berbaris-bergerombol memafhumi pembunuhan sembari bersembunyi, menghibur diri dengan alasan kemanusiaan tersebut.  Melainkan, saya bercerita dan saya memulainya dengan bicara tentang fakta. Tepatnya berpihak pada korban yang tak kuasa menolak menjadi dirinya sendiri, apalagi menjadi diri yang mengutuk pembunuhan itu, atau sembunyi atas nama apapun dari takdirnya.

Apa yang dilakukan Umar Kayam sesungguhnya telah tumbuh kepeduliannya pada perempuan ‘abangan,’ misalnya, melalui tokoh Sri dalam Sri Sumarah. Namun demikian Umar Kayam tidak melakukan beberapa hal yang saya sebut belakangan tadi itu: tentang kepedulian pada korban dan absennya alasan kemanusiaan—yang kehadirannya justru seringkali untuk menyembunyikan diri karena mengamini pembunuhan. Sebaliknya yang saya lakukan pada Kumara, saya tampilkan bagaimana kekuatan daya budi para perempuan yang tak mau kalah dari kepintaran kaumnya yang telah memilih membiakkan kecerdasannya menjadi anggota Gerwani, atau para pemuda yang menebar benih kritisnya dengan tergabung dalam Pemuda Rakyat. Sekali lagi saya hanya bercerita saja, tanpa begitu banyak saya aduk dengan pengetahuan saya perihal kemanusiaan.

Sebagai sebuah karya yang saya maksudkan selaku biografi, saya berutang budi, pikiran dan hati pada seseorang: Pipit Rochijat—seorang nasionalis Indonesia yang sejak 1972 “mengasingkan diri” ke Berlin Barat—yang dengan sabar berbagi cerita, menyerahkan sebagian pengalaman hidupnya, menjawab surat-surat saya, memasrahkan data, catatan harian serta dokumen-dokumen tua untuk memperkaya pengetahuan saya menulis cerita ini.

Bukan hanya itu, bahkan Pipit Rochijat merelakan sebagian kehidupan keluarganya pada tahun-tahun itu saya telisik untuk memperkaya tulisan saya. Bahkan melalui beliau saya mendapatkan transkrip wawancara Arief W Djati—dan oleh sebab itu saya berterimakasih pada intelektual ini—dengan ayahanda Pipit Rochijat,  Kartawidjaya, mantan Direktur PG Ngadirejo seputar peristiwa G-30-S di Kediri. Hanya saja, sebagai sumber dari inpirasi, saya musti berterimakasih kepada banyak orang lagi yang memberikan perjalanan hidupnya itu pada saya.

Terakhir, sebagai sebuah karya sastra, pada Kumara tidak ada pesan dari saya. Soal pesan dan kesan itu saya pasrahkan nantinya pada pembaca. Saya hanya bisa katakan, Kumara ditulis saya maksudkan untuk dokumentasi sejarah mental, sekaligus demi rekonsiliasi dalam alam kesadaran bahwa kebudayaan tidak berdiri di atas satu kaki alam pikiran rasional atau alam pikiran mistis saja. Bahwa mitos bisa bermula dari apa saja—tak terkecuali dari pikiran manusia. []

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun