INI kejadian sesungguhnya, dan belum lama. Di sini, di Medan. Dua orang pekerja serabutan (si Maktub dan si Maktab, katakanlah begitu) berangkat ke pekerjaan yang sebetulnya bukan keahlian mereka. Mereka tidak tahu pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan begitu pesat.
Kedua kepala rumah tangga yang menganggur ini, hanya merasakan hidup makin susah. Pekerjaan tidak ada, meski kebutuhan semakin bertambah. Maka ketika ada informasi bahwa di sebuah tempat ada pekerjaan, mereka memburu. Karena bukan ahli, mereka bersedia menerima bayaran kecil. Itu sudah lebih baik untuk mempertahankan kehidupan keluarga. Tidak ada pilihan.
Ternyata pekerjaan itu cukup menarik. Bahkan memerlukan tambahan seorang pekerja lagi. Si Maktab berinisiatif menjemput seseorang lain, kerabatnya sendiri dan belum berkeluarga. Kini mereka sudah bertiga pada pekerjaan itu: Maktab, Maktub dan Mittop. Selang beberapa saat, Mittop yang baru bergabung itu meminta izin untuk keluar sebentar. Ia meminjam sepeda motor milik Maktub melalui Maktab. Maktub tidak curiga, dan memberikan kunci. Cukup lama si Mittop di luar, sehingga menjadi pertanyaan bagi Maktub dan Maktab.
Kejadian selanjutnya begitu mencekam. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti begitu tergesa-gesa di depan lokasi pekerjaan dan mengundang perhatian orang banyak. Beberapa orang menggiring Mittop dalam keadaan sudah babak belur dan kedua tangannya digari. Rupanya ia telah melakukan transaksi narkoba di sebuah tempat dan tertangkap tangan.
Kode 86. Dari keterangan Mittop, Maktub dan Maktab diciduk. Bahkan tanpa hak memberi keterangan, langsung digari dan digiring masuk mobil. Petugas-petugas itu masih sangat muda usia. Tetapi mereka mungkin menganggap cara-cara kasar menjadi pilihan, tentu karena mereka tak pernah memperoleh teori smart intelligent. Itu sudah lazim tampaknya, hingga seseorang yang setara kakeknya pun diperlakukan seperti anak-anak dengan penuh noda dan dosa.
Mengherankan sekali Maktub, Maktab dan Mittop tidak langsung dibawa ke kantor tempat para petugas itu bekerja. Mereka diberi waktu berpikir. Berpikir macam-macam dan aneh-aneh dalam kawasan kode 86. Maktub tidak pernah merasa bersalah, begitu pun Maktab. Perasaan mereka tetap melawan meski sama sekali tak berdaya. Setelah sekian lama akhirnya mereka dibawa ke kantor. Petugas yang lebih senior merasa aneh, mengapa bukan semua orang kampung kalian bawa ke sini? Apa urusan kedua orang ini? Ayo segera lakukan test urine, begitu perintahnya.
Mittop, Maktub dan Maktab terus dibujuk untuk kode 86. Malah jika mungkin masuk ke kode 88. Kode 86 sudah lazim diketahui oleh kalangan yang lebih luas. Tetapi kode 88 itu rupanya semacam barter. Mittop, Maktub dan Maktab diminta menunjukkan simpul jaringan narkoba yang lebih besar dan imbalannya mereka diringankan atau malah bisa dilepas begitu saja. Tetapi syaratnya jangan tunjuk simpul yang ada di Kampung Kubur dan di sebuah tempat lain yang lebih baik tak usah disebut di sini.
Kode 88. Mittop hanyalah seorang remaja korban lingkungan, dan sudah pasti ia seorang korban kode 88. Begitu cepat ia digulung dan informasi kode 88-lah yang membuatnya hari ini menjadi tersangka dengan barang bukti di tangan. Maktub dan Maktab tak mungkin dijerat tanpa alat bukti, atau hasil test urin. Jika keduanya bersih, lalu mau diapakan?
Maktub kehilangan helm dan handphone dalam kejadian ini. Kemudian, beberapa hari setelah kejadian, Maktub menerima sms dari nomor handphonenya sendiri (selama dalam 24 jam dalam tahanan mereka sudah melakukan komunikasi dengaan keluarga dan petugas tahu nomor yang digunakan di rumah).
Isinya “kamu sudah bebas bukan? Saya tunggu kamu datang mengambil handphone kamu di sana (menunjukkan sebuah tempat) pada pukul 2.00 dini hari”. Ini juga sebuah peragaan yang memaksa kita berpikir keras, begitu burukkah pemahaman mereka terhadap tugas mulia yang diembankan oleh Negara? Mestinya, dengan permintaan maaf lembaga tempat bekerja petugas itu harus datang ke lokasi penggerebekan tempo hari, berbicara kepada tokoh-tokoh lokal dan secara khusus meminta maaf kepada Maktub dan Maktab.
Sangat perlu dihitung rasa kebencian rakyat karena korban fisik, materi dan perasaan akibat profesionalitas yang dangkal dalam menjalankan tugas. Kamtibmas tak bisa diurus sendiri oleh siapapun. Lalu bagaimana mendapatkan dukungan sosial jika rakyat antipasti kepada yang mengajak?
Masalah Bersama. Bulan lalu saya terkesima mendengar penjelasan Rudi, Kepala BNN Sumatera Utara di kantornya Jalan Halat, Medan. Katanya 2/3 uang yang beredar di permukaan bumi ini adalah uang kejahatan transnasional narkoba.
Indonesia menjadi negara dengan tingkat kompleksitas permasalahan narkoba tertinggi ketiga di dunia. Dengan target bersih narkoba 2015 akan ada gerakan yang begitu gencar. Tetapi gencar-gencar tak berpola dan tak smart tentulah membahayakan rakyat. Arogansi dan motif abuse of power itu sangat berbahaya.
Kini bagaimanalah seorang tua bersikap jika begitu keluar rumah, anak remajanya sudah dikepung narkoba? Akses yang begitu mudah untuk narkoba saat ini bukanlah kesalahan rakyat. Memang di sebuah tempat di Delitua, Medan, kemarin berdiri sebuah spanduk yang menyatakan bahwa seluruh warga “perang” terhadap narkoba.
Siapa yang ditemukan terkait narkoba, akan diramai-ramaikan. Ini positif dan sekaligus negatif. Bagaimana jika seseorang berniat jahat kepada seseorang lain lalu memfitnahnya sebagai gembong narkoba lalu dibakar hidup-hidup oleh rakyat? Berapa korban manusia yang akan kita saksikan dengan penuh air mata di samping kerugian material yang tak terhingga? Tuhan, tolonglah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H