Melihat pola dan perulangan masalah yang menimpa Gedung Nasional Medan (GNM) selama ini, saya menilai sangat perlu dilakukan audit sosial terhadap Yayasan Dana Gedung Nasional Medan (YDGNM). Hal itu untuk menemukan solusi terbaik penyelamatan GNM dari kepunahan, baik bermakna harfiah maupun bermakna non-harfiah.
Sebagaimana diketahui, secara berkala masalah GNM selalu mencuat kepermukaan, hanya karena YDGN ingin melakukan sesuatu yang kontroversial. Tahun 1999 GNM dengan lahan seluas 5.290 m2 itu akan dirubah dengan menambah bangunan komersil pada sisi kiri, kanan dan belakang gedung. Mereka mengatakan tidak akan merusak, bahkan akan merawat GNM. Alasan klasiknya, mereka tidak memiliki dana, hingga perlu menyerahkan bagiian lahan yang kosong kepada investor. Tahun 2014 permasalahan yang sama muncul kembali, meskipun ketika krisis serupa terjadi tahun 1999 Yayasan Gedung Juang Enam-Enam Sumut dan Dewan Pengurus Angkatan 66 Sumut berhasil mematahkan keinginan YDGN yang berkolaborasi dengan investor.
Waktu itu Walikota Medan Abdillah akhirnya berjanji akan mengurus GNM sebaik-baiknya. Iktikad itu ditunjukkan dengan pengalokasian dana dari APBD untuk renovasi GNM. Iktikad itu ditunjukkan dengan pengalokasian dana dari APBD untuk renovasi GNM. Gubsu Rizal Nurdin pun ikut mengalokasikan dana ratusan juta untuk renovasi, hingga pada tanggal 17 Agustus 2000 diresmikan pemakaiannya kembali yang ditandai dengan Upacara Peringatan Kemerdekaan RI yang langsung dipimpin oleh Gubsu Rizal Nurdin sendiri.
Eksistensi YDGN
Saya menjadi sangat curiga mengapa di dalam YDGN ini ada pola-pola tertentu yang menyebabkan entah siapa-siapa bisa masuk menjadi pengurus, antara lain anak dan menantu. YDGN yang mengurus sebuah warisan sejarah yang penting itu seyogyanya adalah badan terbuka dan akuntable. Ketika anak dan menantu bisa menjadi pengurus berarti ada indikasi kurang baik, setidaknya tradisi tertutup yang sangat tidak terpuji.
Pantas saja kemudian mereka sangat kering gagasan, dan pikirannya hanya ingin melepas lahan kepada orang ketiga, terlebih ketika memperhitungkan rakyat sudah lupa kasus-kasus lama. Dengan membiarkannya tak terurus, kelihatannya YDGN merasa memiliki alasan lebih kuat untuk melego lahan kosong GNM. Merekan malah tidak pernah berniat mendaftarkannya sebagai gedung bersejarah dan lokasi cagar budaya.
Jika itulah kemampuan tertinggi YDGN, maka secara moral YDGN sudah tidak berfungsi sama sekali. Kareananya masyarakat dan pemerintah perlu segera melakukan audit sosial.
Hal lain yang sangat mencurigakan, berdasarkan investigasi di lapangan, ternyata diketahui bahwa dokumen sertifikat lahan GNM dinyatakan hilang sejak 1994. Sangat mengherankan ketika akhir tahun 2014 sertifikat itu bisa muncul di kantor Walikota Medan untuk urusan permohonan izin perubahan peruntukan lahan GNM yang kini proses persetujuan atau penolakannya tengah menimbulkan kontroversi di DPRD Medan.
Saya melihat ada bau pidana di sini. Pihak penegak hokum perlu segera turun tangan sebelum masalah ini merebak ke sisi-sisi lain yang tak diinginkan, termasuk politik.
Kepunahan
Kepunahan menurut pengertian harfiah ialah rontoknya gedung itu sebagai bangunan fisik hingga tak bersisa. Sedangkan kepunahan menurut pengertian non-harfiah bermakna kemerosotan nilai dan kedudukannya sebagai benda dan bangunan bersejarah, baik karena pembiaran maupun karena tindakan seperti yang direncanakan oleh YDGN sekarang. Mendirikan bangunan apa pun, alapalagi pusat grosir, di bagian kiri, kanan dan belakang GNM termasuk kategori kepunahan non-harfiah.
Sebagai contoh, lihatlah misalnya motif orang datang ke Masjid Agung sekarang. Saya tidak melihat sebanyak orang yang masuk ke kompleks itu menjadi shaf yang bersujud di Masjid. Bagian terbesarnya hanya ingin memanfaatkan lahan masjid Agung sebagai space untuk parkir kenderaan. Jadi, bayangkanlah kini banyak orang yang berkata dalam hati: “sykurlah ada Masjid Agung untuk space parkir”.
GNM didirikan tahun 1954 oleh gubernur pertama Sumut SM Amin. Dana diperoleh dari sumbangan masyarakat dan pengumpulan melalui bazar di Lapangan Merdeka, Medan. Dalam data walikota Medan Gedung ini belum masuk sebagai gedung bersejarah dan pula tidak didaftarkan sebagai cagar budaya.
Padahal menurut UU Nomor 11 Tahun 2010, gedung ini memenuhi kriteri cagar budaya (berusia lebih dari 50 tahun, memiliki arsitektur khas mewakili zamannya, dan memiliki catatan sejarah penting bagi bangsa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H