[caption id="" align="alignnone" width="452" caption="http://beritaenam.com/mp-content/berita/50UANG.jpg"][/caption] Harus diakui bahwa perbincangan tentang pencapresan saat ini adalah sebuah kenaifan yang tak termaafkan dalam tataran akademis. Mengapa? Ibarat menggantang asap, kita berbincang tentang sesuatu berdasarkan ramalan yang kita ketahui tak mungkin akurat. Bahwa jika ditilik dari kesemrawutan pemilu 2014 (persiapan, pelaksanaan dan terlebih perhitungan suara), banyak hal yang membuat cukup sulit untuk menyatakan pemilu kali ini tak mengulangi kebobrokan pemilu-pemilu sebelumnya. Data penduduk tidak jelas (ingat kegagalan proyek eKTP dan DPT bermasalah), jumlah signifikan surat panggilan pemilih (form C6) yang tidak bertuan dan sangat potensil dimanfaatkan oleh orang yang tak mustahak, praktik politik uang dan kekhawatiran besar akan adanya aksi jual beli suara. Kesemuanya menjadi kondisi yang tidak saja memungkinkan hasil pemilu tak identik aspirasi rakyat, tetapi juga tak mungkin diprediksi oleh survei manapun. Survei memang sangat diperlukan, akan tetapi hanya oleh masyarakat yang sudah bermartabat. Mudah-mudahan saja Indonesia tidak menjadi lengah menjaga perhitungan suara yang potensil berlangsung tak ubahnya perampokan karena perhatian tersedot ke isyu pencapresan. Kriminalisasi demokrasi Indonesia inherent dalam proses (setiap tahapan pemilunya, dan kelihatannya karakter itu cukup diberi peluang oleh legalframework pemilu yang dibuat sesuai pesan-pesan imperatif para elit partai di Senayan) dan kelembagaannya. Bagaimana jika hasil quick count sangat berbeda dengan hasil perhitungan manual?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H