Wacana yang terus berulang akhirnya menjadi kesepakatan, bahwa korupsi adalah salah satu masalah yang telah mengakar. Mereka para pakar melombakan nalaran, tentang mana yang bisa menjadikan negeri semakin besar.
Apa yang mereka bicarakan seringnya berupa langkah-langkah nyata, sebuah realisasi praktis dari satu konsep. Misal tentang bagaimana meminimalisir pungutan liar dengan pengelolaan sistem online, walau sistem lelang secara elektronik yang telah dilakukan selama lima tahun ini juga tak lepas dari kecurangan. Bisa pula berupa peningkatan kesejahteraan pemegang kuasa anggaran, walau dengan beban hidup yang ditanggung negara lewat tunjangan jabatan sampai detik ini juga tak cukup menjauhkan dari penyelewengan. Semua setuju dengan penerimaan SDM birokrasi yang berintegritas lewat sistem bersih dan terbuka, biarpun praktik korupsi banyak dilakukan oleh para atasan –yang sudah terlebih dahulu diterima. Mereka menjanjikan ketebukaan akses dokumen untuk transparansi anggaran, walau kita tahu hitam di atas putih itu berbeda dengan praktik lapangan. Mereka juga bicara penegakan hukum yang adil untuk semua, ketika penjara tak jauh beda dengan hotel berbintang lima.
Sebelumnya, bisa dibilang ini adalah tulisan sok tahu dari seorang yang jauh dari latar belakang pendidikan hukum, politik, atau ketatanegaraan. Karenanya tulisan ini tidak akan membahas teori-teori pemerintahan, namun ini lebih kepada pengalaman dan kehidupan, tentang hal-hal yang luput dari dialog kasus ini, namun begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Misalnya seperti ini.
I.
Atas nama efisiensi, semua bentuk praktik disahkan lewat sebuah tulisan yang tersertifikasi. Dalam perjalanannya, segala bentuk formalitas ini menjadi birokrasi yang berjalan menjauhi dari realita. Karena sebagian besar pengalaman kerja berada dalam dunia pekerjaan jasa konstruksi, maka akan banyak contoh yang berasal dari kehidupan di dalamnya.
Dalam proses pembangunan infrasruktur terdapat tiga buah pekerjaan, yaitu pekerjaan perencanaan, pekerjaan pengawasan, dan pekerjaan pelaksanaan. Nilai dari sebuah pekerjaan fisik infrastruktur tersebut sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah terkait lewat rencana anggaran. Konsultan perencana merancang sebuah desain yang sesuai dengan nilai anggaran, kemudian menyediakan dokumen berupa gambar dan Bill of Quantity(BQ) atau Rencana Anggaran Biaya (RAB) tanpa harga satuan.
Pada proses pelaksanaann, kontraktor pemenang tender pekerjaan pelaksaanan mengisi harga satuan pekerjaan dalam RAB tersebut (untuk lebih jelasnya lihat contoh RAB ini). Harga material, tenaga kerja atau alat yang dipakai bukanlah berasal dari harga yang ada di pasaran, melainkan berasal dari harga satuan bahan bangunan yang telah ditetapkan pemerintah lokal, biasanya disebut dengan basic price. Basic price memiliki nominal yang lebih tinggi dibanding dengan harga pasaran, dengan anggapan harga-harga tersebut sudah termasuk pajak.
Pada realisasinya, pajak yang membuat basic price lebih mahal itu dibayarkan secara langsung pada pengelola pajak. Setiap pengambilan uang muka atau termyn, kontraktor wajib membayarkan pajak sesuai prosentase uang yang diambil, walau dalam uraian yang tertuang dalam RAB sendiri tidak ditemukan alokasi dana untuk pembayaran pajak. RAB menguraikan cukup jelas bahwa jumlah nilai yang diajukan murni untuk proses pembangunan. Bisa kita lihat, bahkan antar dokumen legal saja terdapat inkonsistensi satu sama lain.
Inkonsistensi lainnya bisa kita lihat pada Analisa Satuan Harga Pekerjaan (ASHP) yang distandarkan oleh pemerintah. Pada setiap satuan pekerjaan, terdapat standar koefisien untuk tukang, material, dan alat. Misal untuk membuat kolom beton bertulang setiap m3 nya, diperlukan mandor, kepala tukang batu, tukang batu, tukang kayu, tukang besi, dan pekerja dengan berbagai koefisien nilai. Koefisien ini kemudian dikalikan dengan daftar harga upah yang ada di basic price, sehingga didapatkan nilai upah tenaga kerja sesuai pekerjaan dan volumnya. Kenyataannya, pakah para pekerja bangunan ini dibayar sesuai standar ASHP dengan volume yang sesuai? Sering yang terjadi di lapangan tenaga tukang dibayar atas asas jual beli; suka sama suka. Jual beli jasa ini pun terjadi di bagian pucuk pekerja, antara rekanan pelaksana dengan mandor atau kepala tukang. Bagaimana aliran dana menuju pekerja/buruh bangunan itu sudah di luar kendali SNI.
Hal yang sama juga sering didapati dalam jual beli material. Cobalah tengok bagian AHSP dalam setiap RAB, kita tahu bahwa dalam setiap poin pekerjaan, material –seperti halnya juga pekerja, memiliki koefisien masing-masing. Masih dalam poin pembuatan kolom beton bertulang, material yang dibutuhkan adalah Kayu Terentang, Paku Biasa 2”-5”, Minyak Bekisting, Besi Beton polos, dan masih banyak lagi. Walau sudah bertahun-tahun rekanan pekerjaan pelaksanaan membeli bahan cor beton jadi (ready mix), toh sampai sekarang dalam setiap rencanan pekerjaan beton tetap menggunakan AHSP yang mengisyaratkan kerja manual material dan tukang. Sudah pasti, harga yang dibeli untuk setiap material jelas berbeda dengan apa yang diajukan di RAB.
Jika diteliti lebih dalam, akan banyak ditemukan ketidaksinambungan antara dokumen dan realita, tidak hanya dalam RAB namun juga pada rencana kerja dan syarat, pelaporan pengawasan, pemilihan tenaga ahli, struktur organisasi, dan lainnya. Semakin lama memahami, semakin dimengerti bahwa dokumen-dokumen itu memang dibuat untuk tidak bertemu dengan realita. Perbedaan ini bahkan telah dipertegas oleh badan pemerintahan sendiri; harga material yang berbeda, pembayaran pajak, atau standar yang tidak relevan dengan kenyataan. Hitam di atas putih berbeda dengan kenyataan; teori berbeda dengan praktik, kebijakan berbeda dengan pelaksanaan, rekapitulasi data berbeda dengan kondisi eksisting, perkuliahan berbeda dengan pengalaman. Walaupun begitu, sampai sekarang masih dokumen tertulislah yang dijadikan representasi legal dari kenyataan yang ada. Satu hal yang kemudian menjadi celah, untuk menumbuhkan tindakan korupsi di sekitar kita.
II.
Akan lebih mudah untuk mengawali ini lewat satu nalar yang kita semua amini, bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Kita terbiasa untuk membayar akan sebuah pelayanan dan meminta bayaran atas jasa yang kita berikan. Seseorang yang bekerja menuntut upah; dia berhak dibayar untuk sebuah jobdesk pada ritme waktu tertentu. Jika pada satu waktu dia terpaksa bekerja di luar kesepakatan itu, maka haknya lah untuk meminta upah lebih. Kita jelas familiar dengan uang lembur setiap bekerja overtime. Nalar seperti itu sangat wajar dijalankan oleh pekerja manapun; mulai dari penjaga warung sampai pegawai kantor. Namun jika nalar tersebut dianut oleh pejabat pemerintahan, akibatnya bisa sangat berbeda.
Misal pada sebuah instansi pemerintahan terdapat pekerjaan pengadaan jasa konstruksi, kepala instansi tersebut jelas ikut terlibat dalam prosesnya. Maka atas dasar ‘telah bekerja’ itulah dia merasa memiliki hak untuk meminta upah tambahan di luar gaji biasa. Dari mana upah tambahan itu? Dari sebagian nilai anggaran pekerjaan yang terkait. Contoh lain lagi ketika anggota dewan dengan wewenangnya mengadakan sebuah pekerjaan. Maka pada nilai anggaran yang tepecah menjadi perencanaan, pengawasan, dan pelaksanaan itu terdapat hak sang anggota dewan beserta koleganya. Masih dengan logika ‘karena wewenangku’ pekerjaan ini terjadi maka aku ikut bekerja –di luar jobdesk ku yang datang, duduk, duit. Sebuah aplikasi nalar yang tersedia dari pertentangan antara dokumen dan kenyataan, bisa diberi nama fee jabatan, biaya akomodasi, sampai biaya entertainment.
Contoh akrab lainnya seperti ini. Karena telah membantu tetangga menyiapkan makanan untuk hajatan, si A mendapat sedikit imbalan. Itu adalah peristiwa wajar, ketika si tetangga mengucapkan terimakasih dengan memberi sejumlah uang. Jika peristiwa itu terjadi di kantor pemerintahan, misal seorang pengaju IMB memberikan uang imbalan pada petugas atas kinerjanya yang memuaskan, maka dia bisa terkena pasal pungutan liar atau gratifikasi. Padahal bisa saja, tendensi si pengaju IMB tak lebih dari rasa terima kasih.
Kita lanjutkan lagi dengan contoh hajatan si tetangganya A. Setelah acara hajatan selesai, para tamu yang datang mendapat sewadah makanan untuk dibawa pulang. Kita yang sejak kecil tumbuh dekat dengan kata terima kasih, tentu tidak asing lagi dengan tradisi seperti itu. Setiap daerah mungkin punya nama untuknya. Namun coba kita tambahkan beberapa detail dalam kasus ini, misal si tetangga adalah seorang calon pada sebuah pemilihan, misal waktu hajatan dilakukan selama minggu tenang selepas kampanye, atau misal para tamu yang datang kebetulan penduduk pada daerah pilihan si tetangga yang mencalonkan. Akankah makanan berkat itu sesederhana terimakasih dan menebar kesenangan? Bila kita tidak terburu-buru berprasangka juga, bisa saja acaranya sendiri merupakan syukuran atas kelulusan anak atau ulang tahun cucu –yang sekali lagi, begitu wajar jika diakhiri dengan berbagi rejeki.
Selain rasa terima kasih, tentu bukan hal yang asing lagi bila kita berada dalam dunia di mana semakin mahal kita membayar semakin baik pelayanan yang kita dapat. Misal seseorang dengan tiket VVIP tentu akan mendapat pelayanan yang lebih baik ketimbang mereka dengan tiket tribun. Pelayanan transportasi kelas eksekutif tentu berbeda dengan kelas ekonomi. Ada pula sebuah bank yang memisah-misahkan costumernya berdasarkan nominal transaksi yang akan dilakukan. Jelas, mereka yang bernominal lebih besar akan mendapat pelayanan yang lebih baik pula. Jadi bukankah suatu kewajaran, jika banyak yang menganggap fasilitas pelayanan publik memiliki range harga yang berbeda? Misal Rp. 50.000 maka kamu bisa langsung bebas tilang, sementara Rp. 0 kamu harus ikut sidang. Atau untuk Rp. 350.000 kamu bisa langsung mendapat SIM C hanya dengan mengisi formulir sementara untuk Rp. 100.000 kamu harus ikut test driving. Pada contoh ekstrim, bila hanya membayar biaya administrasi untuk kasus gugatan di Mahkamah Konstitusi kamu bisa kalah, sementara bila membayar sejumlah Rp. 3 Milyar kamu dipastikan menang.
Lalu pertanyaannya, apa yang membedakan pembayaran tiket konser VIP dan pembayaran biaya masuk sekolah yang lebih besar dibanding calon siswa kebanyakan? Mengapa keponakan meminta upah setelah membersihkan rumput dianggap wajar sementara pegawai kantor meminta uang bensin untuk survey lokasi dianggap pungutan liar? Mengapa membagi bingkisan pada undangan anak ulang tahun dianggap wajar namun bingkisan selepas kampanye disinggung sebagai money politic?
III.
Agar dapat membicarakan hubungan; pekerjaan dan upah, pemberian dan terima kasih, atau membeli sesuatu dan mendapatkannya, secara adil memerlukan pemahaman mengenai batasan hak dan kewajiban.
Seorang pekerja kantoran yang bekerja di luar batas waktu kesepakatan memiliki hak untuk mendapat upah tambahan, sesuai dengan kesepakatan awal. Sehingga pertanyaannya; apakah bagi seorang pejabat mengurus kegiatan pebangunan infrastruktur yang terlaksana melalui instansinya merupakan satu bentuk kerja overtime? Apakah gaji dan tunjangan yang didapat setiap bulan mencakup upah atas kepengurusannya terhadap pekerjaan tersebut? Sampai mana saja kah kewajiban seorang pejabat instansi? Bila memang berbagai fee yang disebut tadi memang menjadi haknya, mengapa tak dimasukkan dalam dokumen yang sah?
Seperti contoh sebelumnya, uang terima kasih yang didapat A atas apa yang dikerjakannya untuk si tetangga adalah eufimis dari upah yang telah menjadi haknya. Si tetangga wajib membayar upah A, dan si A pun berhak atas itu. Sementara bagi petugas perijinan yang menerima uang terima kasih, itu berarti dia mengambil hak berlebih dari apa yang telah menjadi kewajibannya untuk dikerjakan. Penerimaan uang terima kasih ini memunculkan fasilitas baru dalam pelayanan publik yang akan tumbuh menjadi penyalahgunaan wewenang. Karena umpan ‘terima kasih’ menumbuhkan tendensi untuk menggunakan wewenang sebagai fasilitas baru di luar sistem.
Tumbuhnya fasilitas baru di luar sistem ini akhirnya dilihat masyarakat sebagai sebuah pilihan dari tingkat pelayanan dalam pelayanan publik. Mengingat fasilitas ini didapat dengan imbalan terima kasih, maka apa yang akhirnya terbentuk dalam pola pikir masyarakat adalah bila aku membayar maka aku berhak. Atau sebaliknya; aku memiliki hak karena aku membayar. Pola pikir ini kemudian menggeser satu kebenaran yang mendasar; pelayanan publik tersedia bukan karena telah membayar.
Karena masyarakat memiliki hak untuk setiap pelayanan masyarakat, hak untuk setiap alokasi dana yang mengatasatasnamakan rakyat Indonesia, hak dari setiap pinjaman yang diajukan dengan memakai nama warga negara Indonesia. Karena melalui setiap pajak dan pungutan yang –sadar atau tidak sadar, kita bayarkan, kita telah mengucapkan terimakasih pada setiap pelayanan yang kita dapatkan.
Namun sebagian besar dari kita terbiasa dari lahir jauh dari hak-hak tersebut, sehingga kita tidak mengenal hak kita sendiri sebagai warga negara. Padahal pemahaman ini tidak hanya ditujukan untuk mengambil apa yang telah menjadi hak, namun juga untuk melihat sampai mana hak tersebut bisa didapat. Karena walau sulit diterima, kita tidak berhak untuk mendapatkan SIM tanpa test driving sebanyak apapun kita membayar, kita tidak berhak lolos dalam sebuah penerimaan instansi hanya karena telah membayar, kita tidak berhak mendapat surat ijin tanpa kerumitan birokrasi walau sudah membayar. Mereka yang berhak mendapat SIM adalah mereka yang sudah teruji berhasil dalam ujian mengemudi, mereka yang berhak mendapat posisi di instansi adalah mereka yang kualitasnya memenuhi kualifikasi, mereka yang mendapat surat ijin tercepat adalah mereka yang syarat-syaratnya terpenuhi dan mengajukan permohonan ijin lebih dulu.
Mereka yang memiliki wewenang seakan telah melupakan hak dan kewajiban mereka yang dibatasi oleh berbagai peraturan. Celah-celah dalam peraturan bukannya dijaga untuk keseimbangan namun dijadikan jalan keluar untuk mendapat kesenangan. Mengingat kembali di mana garis hak dan kewajiban jelas hanya menjadi pengurangan dari jatah apa yang selama ini mereka dapatkan. Seperti kata Pram; Mereka yang terbiasa menikmati kesengsaraan bangsa-bangsa Asia memang tak rela kehilangan sebagian kecil dari jatah kehormatan yang mereka anggap sudah jadi hak dan sekaligus karunia Tuhan. ‘Mereka’ adalah representasi pihak superior dan ‘bangsa-bangsa Asia’ representasi dari pihak inferior.
Namun mengingat saat ini merupakan titik balik pemerintahan, bukan tidak mungkin akan terjadi peringatan kembali mengenai batasan dan relasi hak-kewajiban dari warga dan pemerintah. Relasi antara pemerintah dan warga yang bersifat transaksional perlu dibongkar kembali, karena tak perlu hukum jual beli agar proses pelayanan dan pemerintahan untuk bisa berjalan. Lewat tawaran kebaruan yang dimulai dari pendidikan seperti yang semua janjikan, semoga pemahaman mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki wara negara ini juga tak luput dari proses pembelajaran. Sehingga revolusi pendidikan yang dipaparkan bukan sekedar peningkatan keterampilan warga agar bisa menjadi sumber daya yang cukup bagi sistem yang terlalu banyak dikritisi ini, namun juga membentuk warga yang mengerti haknya dan memiliki kapasitas untuk memanfaatkannya.
Sementara itu, yang bisa dilakukan adalah belajar sendiri dan membagi apa yang telah dipelajari tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H