Mohon tunggu...
S. A. R.
S. A. R. Mohon Tunggu... -

24 | PKY - ID |

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Yang Lupa Dibicarakan tentang Korupsi

25 Agustus 2014   03:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika diteliti lebih dalam, akan banyak ditemukan ketidaksinambungan antara dokumen dan realita, tidak hanya dalam RAB namun juga pada rencana kerja dan syarat, pelaporan pengawasan, pemilihan tenaga ahli, struktur organisasi, dan lainnya. Semakin lama memahami, semakin dimengerti bahwa dokumen-dokumen itu memang dibuat untuk tidak bertemu dengan realita. Perbedaan ini bahkan telah dipertegas oleh badan pemerintahan sendiri; harga material yang berbeda, pembayaran pajak, atau standar yang tidak relevan dengan kenyataan. Hitam di atas putih berbeda dengan kenyataan; teori berbeda dengan praktik, kebijakan berbeda dengan pelaksanaan, rekapitulasi data berbeda dengan kondisi eksisting, perkuliahan berbeda dengan pengalaman. Walaupun begitu, sampai sekarang masih dokumen tertulislah yang dijadikan representasi legal dari kenyataan yang ada. Satu hal yang kemudian menjadi celah, untuk menumbuhkan tindakan korupsi di sekitar kita.

II.

Akan lebih mudah untuk mengawali ini lewat satu nalar yang kita semua amini, bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Kita terbiasa untuk membayar akan sebuah pelayanan dan meminta bayaran atas jasa yang kita berikan. Seseorang yang bekerja menuntut upah; dia berhak dibayar untuk sebuah jobdesk pada ritme waktu tertentu. Jika pada satu waktu dia terpaksa bekerja di luar kesepakatan itu, maka haknya lah untuk meminta upah lebih. Kita jelas familiar dengan uang lembur setiap bekerja overtime. Nalar seperti itu sangat wajar dijalankan oleh pekerja manapun; mulai dari penjaga warung sampai pegawai kantor. Namun jika nalar tersebut dianut oleh pejabat pemerintahan, akibatnya bisa sangat berbeda.

Misal pada sebuah instansi pemerintahan terdapat pekerjaan pengadaan jasa konstruksi, kepala instansi tersebut jelas ikut terlibat dalam prosesnya. Maka atas dasar ‘telah bekerja’ itulah dia merasa memiliki hak untuk meminta upah tambahan di luar gaji biasa. Dari mana upah tambahan itu? Dari sebagian nilai anggaran pekerjaan yang terkait. Contoh lain lagi ketika anggota dewan dengan wewenangnya mengadakan sebuah pekerjaan. Maka pada nilai anggaran yang tepecah menjadi perencanaan, pengawasan, dan pelaksanaan itu terdapat hak sang anggota dewan beserta koleganya. Masih dengan logika ‘karena wewenangku’ pekerjaan ini terjadi maka aku ikut bekerja –di luar jobdesk ku yang datang, duduk, duit. Sebuah aplikasi nalar yang tersedia dari pertentangan antara dokumen dan kenyataan, bisa diberi nama fee jabatan, biaya akomodasi, sampai biaya entertainment.

Contoh akrab lainnya seperti ini. Karena telah membantu tetangga menyiapkan makanan untuk hajatan, si A mendapat sedikit imbalan. Itu adalah peristiwa wajar, ketika si tetangga mengucapkan terimakasih dengan memberi sejumlah uang. Jika peristiwa itu terjadi di kantor pemerintahan, misal seorang pengaju IMB memberikan uang imbalan pada petugas atas kinerjanya yang memuaskan, maka dia bisa terkena pasal pungutan liar atau gratifikasi. Padahal bisa saja, tendensi si pengaju IMB tak lebih dari rasa terima kasih.

Kita lanjutkan lagi dengan contoh hajatan si tetangganya A. Setelah acara hajatan selesai, para tamu yang datang mendapat sewadah makanan untuk dibawa pulang. Kita yang sejak kecil tumbuh dekat dengan kata terima kasih, tentu tidak asing lagi dengan tradisi seperti itu. Setiap daerah mungkin punya nama untuknya. Namun coba kita tambahkan beberapa detail dalam kasus ini, misal si tetangga adalah seorang calon pada sebuah pemilihan, misal waktu hajatan dilakukan selama minggu tenang selepas kampanye, atau misal para tamu yang datang kebetulan penduduk pada daerah pilihan si tetangga yang mencalonkan. Akankah makanan berkat itu sesederhana terimakasih dan menebar kesenangan? Bila kita tidak terburu-buru berprasangka juga, bisa saja acaranya sendiri merupakan syukuran atas kelulusan anak atau ulang tahun cucu –yang sekali lagi, begitu wajar jika diakhiri dengan berbagi rejeki.

Selain rasa terima kasih, tentu bukan hal yang asing lagi bila kita berada dalam dunia di mana semakin mahal kita membayar semakin baik pelayanan yang kita dapat. Misal seseorang dengan tiket VVIP tentu akan mendapat pelayanan yang lebih baik ketimbang mereka dengan tiket tribun. Pelayanan transportasi kelas eksekutif tentu berbeda dengan kelas ekonomi. Ada pula sebuah bank yang memisah-misahkan costumernya berdasarkan nominal transaksi yang akan dilakukan. Jelas, mereka yang bernominal lebih besar akan mendapat pelayanan yang lebih baik pula. Jadi bukankah suatu kewajaran, jika banyak yang menganggap fasilitas pelayanan publik memiliki range harga yang berbeda? Misal Rp. 50.000 maka kamu bisa langsung bebas tilang, sementara Rp. 0 kamu harus ikut sidang. Atau untuk Rp. 350.000 kamu bisa langsung mendapat SIM C hanya dengan mengisi formulir sementara untuk Rp. 100.000 kamu harus ikut test driving. Pada contoh ekstrim, bila hanya membayar biaya administrasi untuk kasus gugatan di Mahkamah Konstitusi kamu bisa kalah, sementara bila membayar sejumlah Rp. 3 Milyar kamu dipastikan menang.

Lalu pertanyaannya, apa yang membedakan pembayaran tiket konser VIP dan pembayaran biaya masuk sekolah yang lebih besar dibanding calon siswa kebanyakan? Mengapa keponakan meminta upah setelah membersihkan rumput dianggap wajar sementara pegawai kantor meminta uang bensin untuk survey lokasi dianggap pungutan liar? Mengapa membagi bingkisan pada undangan anak ulang tahun dianggap wajar namun bingkisan selepas kampanye disinggung sebagai money politic?

III.

Agar dapat membicarakan hubungan; pekerjaan dan upah, pemberian dan terima kasih, atau membeli sesuatu dan mendapatkannya, secara adil memerlukan pemahaman mengenai batasan hak dan kewajiban.

Seorang pekerja kantoran yang bekerja di luar batas waktu kesepakatan memiliki hak untuk mendapat upah tambahan, sesuai dengan kesepakatan awal. Sehingga pertanyaannya; apakah bagi seorang pejabat mengurus kegiatan pebangunan infrastruktur yang terlaksana melalui instansinya merupakan satu bentuk kerja overtime? Apakah gaji dan tunjangan yang didapat setiap bulan mencakup upah atas kepengurusannya terhadap pekerjaan tersebut? Sampai mana saja kah kewajiban seorang pejabat instansi? Bila memang berbagai fee yang disebut tadi memang menjadi haknya, mengapa tak dimasukkan dalam dokumen yang sah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun