Gadis bertubuh tinggi, langsing, dan berambut pirang itu menatap onggokan mayat di hadapannya. Tinggi tubuh gadis tersebut melebihi rata-rata pria seusianya. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Tangannya sedikit gemetar tatkala ia menyulut api ke mayat-mayat itu. Api yang terbentuk dari sinar yang melesat keluar dari ujung mata pedang berwarna putih berkilau seperti kilat – Hvit Torden.
Anne Lilla Magnhild Branvold, gadis remaja itu, menghela napas panjang. Entah ini sudah tumpukan yang keberapa, ia tidak ingat lagi. Sudah lebih dari dua hari ia melakukan hal ini.
Ia menggerak-gerakkan jemari tangannya yang terbalut gauntlet berwarna ungu. Warna yang sama dengan armor yang menyelubungi tubuhnya.
Anne telah malih rupa menjadi seorang gadis remaja. Transformasi itu terjadi tatkala ia secara tidak sengaja merapalkan mantra saat ia menggenggam pangkal Hvit Torden. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba mampu mengingat mantra tersebut dan merapalkannya. Mantra yang selalu dilantunkan ibu atau neneknya waktu menjelang tidur – sama seperti yang selalu mereka lakukan kepada Svein, kakaknya.
Sesuatu seperti menuntunnya, memerintahkannya untuk merapalkan mantra tersebut.
Ketika itulah, tatkala ia melantunkan mantra itu, ia merasakan suatu kekuatan magis menyelimuti dirinya. Ia mengalami perubahan fisik, bertumbuh menjadi lebih dewasa. Pikirannya seolah-olah terbuka. Berbagai pengetahuan dengan derasnya mengalir memenuhi otaknya. Tak hanya tubuhnya, mentalnya pun bertumbuh dewasa mengikuti pertumbuhan fisiknya. Ia telah bertransformasi dari seorang gadis cilik menjadi seorang gadis remaja seutuhnya.
Sosok bocah tidak memungkinkan Hvit Torden untuk bertempur sehingga pedang itu memilih sosok yang mampu menggunakannya dengan leluasa. Semua kekuatan dan memori mengenai pertarungan leluhur klan Branvold yang telah menggunakan Hvit Torden dalam pertempuran telah berpindah ke diri gadis itu.
Anne memerhatikan onggokan jasad yang kini terbakar itu. Bau daging terbakar memenuhi hidungnya. Ia merasa mual karena mengetahui daging apa yang terbakar itu. Namun ia tidak merasa khawatir kawanan serigala yang menghuni hutan di sekitar kastil Branvold akan mendatangi tempat ini. Mereka tidak pernah mendekat ke kastil ini sebelumnya. Tidak juga sekarang ketika kobaran api ada di mana-mana.
Anne tahu Hvit Torden mampu menyerap sinar matahari untuk kemudian mengeluarkan kembali panas tersebut. Panas yang mampu membakar apa pun. Hvit Torden bahkan mampu menembakkan sinar panas seperti busur yang melepaskan anak panah.
Selain itu, bandul yang diberikan oleh Torbjørn juga memiliki kekuatan gaib lain selain berfungsi sebagai kunci pembuka arsenal si våpen mester. Bandul berukir bunga berwarna ungu, purple heather, itu memiliki kemampuan menciptakan dragon armor yang berasal dari sisik naga berwarna ungu. Saat Anne meraba ukiran bunga bunga tersebut sebanyak tiga kali, maka muncullah ratusan kelopak bunga berwarna ungu yang secara ajaib beterbangan mengelilingi dirinya. Kelopak itu berputaran seperti tertiup angin puting beliung dan kemudian terjalin satu sama lain saling merapat menyelubungi tubuhnya dan terangkai membentuk armor berwarna ungu.
"Tiga kali. Lakukan hal itu maka kau akan mendapatkan pelindung yang sangat kuat."
Anne teringat apa yang dikatakan Torbjørn saat pertama kali bocah laki-laki itu menyerahkan bandul tersebut kepadanya.
"Boleh kulakukan sekarang?” pintanya dengan mata berbinar-binar.
Si bocah calon våpen mester itu menggelengkan kepalanya. “Kau baru boleh melakukannya setelah kau mampu menggunakan Hvit Torden."
Anne merengut. Waktu itu ia belum tahu siapa yang akan mewarisi pedang pusaka klan Branvold tersebut. Ia sendiri masih berumur lima tahun. Terlalu muda dan terlalu kecil untuk bisa mengangkat Hvit Torden.
"Kalau kau melakukannya sekarang, tak akan terjadi apa-apa,” kata Torbjørn sambil tersenyum.
Anne yang sekarang sudah bukan anak kecil lagi. Ia mampu mengangkat Hvit Torden dengan mudah, bahkan mengayunkan dan menusukkan pedang itu lurus ke depan dengan cepat.
Ia lalu berjalan berkeliling memeriksa untuk memastikan semua mayat sudah dikumpulkan dan dibakar. Ia tidak mungkin menguburkan mereka semua. Anne sempat memerhatikan kondisi mayat-mayat itu. Kebanyakan terbelah melintang dari bahu kanan hingga pinggang di bagian kiri. Apakah mereka mengenakan armor ataupun tidak, kondisi terbunuhnya serupa satu dengan yang lain.
Betapa hebatnya Svart Skygge itu, Torbjørn yang ia maksud. Kemampuan tempur våpen mester rupanya memengaruhi kekuatan sang makhluk kegelapan.
Para våpen mester yang lain pun dibunuh Torbjørn dengan mudah.
Apakah Svart Skygge itu begitu kuat karena dia sebenarnya merupakan perwujudanTorbjørn, sang pemenang laga antar våpen mester?
Anne telah dua tiga kali menyusuri bagian dalam kastil ini sejak dua hari yang lalu. Ia menemukan banyak mayat para ksatria Branvold. Ada Gwendoline – yang dijuluki si raksasi merah, ada juga pemuda tanggung yang baru saja ditahbiskan menjadi ksatria. Anne mengenali mereka dari lambang di bagian dada mereka. Mayat-mayat Svart Skygge dan goblin juga ada di antaranya.
Kejatuhan kastil ini bukan tanpa perjuangan. Puluhan ksatria beserta våpen mester mereka bertempur dengan gagah berani. Tubuh para våpen mester yang hancur berantakan itu membuktikan kalau mereka bertarung sampai mengorbankan nyawa mereka – mengeluarkan seluruh senjata yang ada di tubuh mereka dan melontarkannya ke pasukan monster itu. Namun Anne memerhatikan tidak semua våpen mester mengeluarkan persenjataan mereka, ada beberapa yang terbunuh dengan tubuh utuh. Mereka sepertinya tidak sempat membuka arsenal di tubuh mereka.
Dari seribuan goblin dan sepuluh Svart Skygge yang menyerang benteng ini, hanya tersisa kurang dari seratus goblin dan satu Svart Skygge. Mereka itulah yang mengerumuninya waktu itu. Mengerubunginya untuk membunuhnya.
Anne yakin, seandainya Svart Skygge terakhir itu bukan Torbjørn, maka monster itu pasti sudah mati dibunuh para ksatria klan Branvold. Torbjørn terlalu kuat, bahkan di usianya yang masih belasan tahun itu.
Anne menghela napas. Sejujurnya ia tidak ingin mengingat-ingat kejadian tersebut. Dadanya terasa sesak. Seandainya ia tidak malih rupa menjadi seorang gadis yang beranjak dewasa dengan pikiran yang sudah matang, mungkin ia akan terus menangis tanpa mampu berbuat apa pun di tempat ini.
Ia berjalan keluar dari pekarangan belakang tempat ia dan Svein biasa berlatih pedang. Tempat yang sekarang penuh dengan tumpukan mayat yang dibakar itu. Sekilas ia menoleh dan berhenti sejenak. Anne membalikkan badannya dan mengucapkan doa – yang sudah sering ia panjatkan selama dua hari terakhir ini, agar arwah mereka bisa mendapatkan kedamaian abadi.
Di luar kastil, hamparan bunga purple heather terlihat begitu indah dan mencerahkan hati. Bunga yang bermekaran sepanjang tahun di sekeliling kastil klan Branvold itu menyimpan kekuatan magis yang luar biasa. Sekalipun di musim dingin tatkala salju menutupi daerah tersebut, purple heather tetap bermekaran. Bunga-bunga tersebut seperti mengeluarkan panas yang menghangatkan sekitarnya.
Konon di tanah yang mengelilingi kastil itu terkubur seekor naga yang memiliki sisik berwarna ungu. Sisik naga itulah yang kemudian muncul ke permukaan menjadi bunga purple heather. Api yang tersimpan di tubuh naga tersebut terus-menerus berkobar di dalam tanah, menyalurkan panas hingga permukaannya, membuat kumpulan bunga berwarna ungu itu bermekaran sepanjang tahun.
Dan sekarang aku mengenakan armor berwarna ungu berkilau – armor yang berasal dari sisik naga.
Seekor elk tampak berdiri di balik semak belukar tak jauh dari kerumunan bunga berkelopak ungu tersebut.
"Ayo, Tor,” Anne memanggil elk itu. Elk itu bernama Torbjørnelk berasal dari Torbjørn dan elk. Entah kenapa si bodoh itu menamai semua makhluk yang ada di sekeliling kastil dengan sebutan ‘Torbjørn’ disingkat Tor. Entah itu elk, lynx, serigala, ataupun rubah merah.
Namun Anne tidak menggubrisnya. Hanya elk ini yang dipanggilnya Tor. Untuk yang lain, Anne memiliki nama panggilan sendiri.
Tor berjalan mengikuti Anne.
Si bodoh itu. Anne tersenyum mengingat bocah yang dulu selalu bersamanya itu. Sebenarnya Torbjørn bukanlah anak yang bodoh. Ia hanya terlalu fokus pada hal-hal yang disukainya. Itu saja
Tiba-tiba Anne merasakan sesuatu menghampirinya. Tangannya dengan cepat meraih pangkal Hvit Torden.
Sebelum ia membalikkan badan ke arah datangnya makhluk itu, sesuatu menerpa dirinya. Sesuatu yang menimbulkan perasaan hangat di hatinya. Anne memejamkan mata tatkala seberkas cahaya menyilaukan bergerak mendekatinya. Ketika cahaya itu mulai memudar, tampaklah sosok yang beberapa waktu lalu pergi meninggalkan kastil ini.
Lys Engel.
Lys Engel datang mendekat.
Seperti yang diceritakan para tetua klan Branvold, sosok yang telah bereinkarnasi itu tidak akan ingat jati diri dan masa lalunya. Tetapi ia masih memiliki perasaan terhadap Tuannya.
Lys Engel memandang Anne dengan tatapan seperti seorang anak memerhatikan orang yang baru dikenalnya – orang yang dianggapnya bisa menjadi sahabatnya.
"Kukira kau tak akan kembali.” Anne tersenyum. Wajah Lys Engel itu sungguh rupawan. Ketika ia masih hidup, Torbjørn tidaklah setampan ini.
Walaupun ia tidak tersenyum, Lys Engel terlihat ramah. Mungkin inilah gambaran sosok yang selalu berbahagia.
Lys Engel terus memandangi Anne. Ia memperlihatkan sepasang sayap berwarna putih. Sayap yang sangat lebar. Sayap yang melekat di punggungnya itu bergerak terus, mengepak-ngepak, menjaganya tetap melayang.
Anne tersenyum geli membayangkan – seandainya Torbjørn setampan ini, pasti dia sudah punya banyak pacar.
Wajah Lys Engel tetap tanpa ekspresi. Makhluk itu menatap lurus-lurus mata Anne. Anne seperti melihat kekosongan dalam pandangan makhluk bercahaya itu.
Lys Engel sepertinya memerhatikan bola mata Anne yang biru jernih. Seolah-olah ingin mengetahui apa yang ada dalam pikiran gadis itu.
Apakah ia mengenaliku? Aku yang sudah berubah wujud menjadi gadis berusia belasan tahun ini? Tubuhku bahkan lebih tinggi daripada Torbjørn– jika ia masih berwujud seorang pemuda saat ini.
Tanpa sadar Anne menoleh ke arah Tor. Elk itu seperti menganggukkan kepalanya.
Anne tertawa kecil. Ia mengulurkan tangannya meraih dagu Tor dan menggaruknya perlahan.
Tapi Tor mengenaliku.
Anne kembali menatap Lys Engel.
Makhluk bercahaya itu sekarang melayang mengelilingi Anne. Bentangan sayapnya sungguh lebar seperti albatross – burung laut. Terkadang ia sedikit menjauh untuk kemudian medekat lagi. Terkadang ia mendekati Tor. Elk itu sepertinya mengenali Lys Engel – ada sesuatu pada makhluk bercahaya itu yang mengingatkan Tor akan Torbjørn.
"Torbjørn,” panggil Anne perlahan.
Lys Engel tidak menoleh. Sepertinya mendengar pun tidak.
Ah, tidak seharusnya ia kupanggil demikian.
"Lys Engel,” panggil Anne perlahan. “Apakah kau tidak mengenaliku?"
Lys Engel menoleh – entah apakah ia mengenali panggilan tersebut atau hanya kebetulan saja ia menoleh.
Anne meraih bandul kalungnya dan mengarahkannya pada Lys Engel.
"Lihatlah,” katanya. “Kau yang memberikan ini padaku.” Dulu – ketika kau masih berwujud seorang bocah laki-laki – calon våpen mester.
Sesaat Anne melihat perubahan raut wajah Lys Engel. Makhluk ini memandangi bandul kalung tersebut cukup lama. Ia seperti mengenali benda yang dipegang Anne itu.
"Purple Heather,” kata Anne menjelaskan. “Kau selalu memanggilku demikian."
Hanya kau satu-satunya yang memanggilku Purple Heather.
Lys Engel menolehkan wajahnya memandang Anne. Ia menatap mata Anne dalam-dalam.
“Purple … Heather …” terdengar suara menyebut nama panggilannya. Tetapi bukan suara Torbjørn. Suara yang lembut, merdu, dan menenangkan hati.
Anne memerhatikan Lys Engel. Dia sekali pun tidak membuka mulutnya. Dia berbicara dengan hati.
Anne menganggukkan kepalanya. “Purple Heather,” ulangnya seolah mengingatkan makhluk itu akan nama yang begitu akrab dengannya.
“Purple Heather.” Kembali suara tersebut terdengar. Lys Engel terbang melayang mendekati Anne. Ia berdiri di hadapan gadis itu. Tingginya tidak melebihi pundak Anne.
Ia tak lebih tinggi dari Torbjørn saat terakhir kali kulihat.
“Purple Heather.” Terdengar panggilan Lys Engel di hatinya.
Anne kembali menganggukkan kepalanya. Tak disangkanya benda ini yang mengingatkan Torbjørn akan dirinya. Benda yang melindunginya dari kematian – dari ancaman Svart Skygge. Benda ini pula yang membawa kembali ingatan Lys Engel akan dirinya.
“Purple Heather … Nona Anne Lilla Magnhild Branvold …”
Anne terkejut.
Ia mengenaliku!
Anne bergerak maju dan memeluk sosok tampan yang tidak lebih tinggi dari bahunya itu. “Torbjørn, rupanya kau masih ingat padaku.” Ia terisak mendekap Lys Engel yang tidak lebih tinggi darinya itu.
“Torbjørn?” Lys Engel tampak bingung.
Ia ingat padaku tetapi ia tidak ingat jati dirinya di penghidupan yang lalu. Ingatannya tertutup, terkunci, untuk menghindari perasaan yang bisa mengganggu kesadarannya. Ia … tidak ingat telah membantai orang-orang di kastil ayahku. Ia telah membunuh ayah, Svein, ,,,
“Bukan, kau bukan Torbjørn,” Anne terisak. “Kau bukan lagi seorang våpen mester,” kata Anne sambil menyeka matanya yang basah. Ia tahu semua itu bukan kesalahan Torbjørn.
Kau juga bukan lagi Svart Skygge.
Anne tahu seseorang membuatnya atau memaksanya melakukan hal itu. Membuat Torbjørn melakukan pembunuhan, bukan, melakukan pembantaian di kastil Branvold.
“Kau adalah … “
Anne memandang ke langit biru melihat sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Sesuatu yang terbang dengan anggunnya. Sayapnya yang putih cemerlang begitu memesona. Entah bagaimana makhluk tersebut bisa muncul di sana.
“Albatross,” Anne berkata perlahan lalu tersenyum. “Namamu Albatross.” Anne mengulangi kata-katanya. Suaranya masih terdengar parau.
“Albatross?” terdengar dia bertanya. Lys Engel menatap ke langit, memandang makhluk yang terbang dengan sangat cepat itu.
Anne mengangguk.
“Kau akan membawaku terbang ke angkasa, seperti burung itu,” katanya sambil menunjuk albatross yang kini sudah terbang menjauh itu.
“Terbang? Kamu ingin terbang?"
Anne tersenyum. Aku hanya bercanda, Albatross.
Tiba-tiba Lys Engel yang kini bernama Albatross itu bergerak ke belakang Anne. Ia meletakkan kedua tangannya di bahu gadis itu. “Purple Heather ingin terbang?"
Anne merasakan sesuatu melekat di punggungnya. Sepasang sayap! Albatross telah menyatukan dirinya dengan Anne. Ia melekat di armor gadis itu.
“Terbanglah Purple Heather, terbanglah ke mana pun kau mau."
Perlahan-lahan Anne merasakan tubuhnya melayang.
“Wow!” ia terkejut lalu tertawa. Sementara tubuhnya semakin tinggi melayang. Ia merasakan angin berhembus semakin kencang dan udara menjadi lebih dingin.
Ia melihat ke bawah, segalanya terlihat semakin mengecil. Tor, si elk, tampaknya hanya sebesar kuku jarinya. Ia telah terbang tinggi melebihi puncak menara kastil Branvold. Anne terpesona dengan pemandangan yang dilihatnya, ia bisa melihat barisan pegunungan yang berselimut salju, hutan-hutan, sekelompok rubah yang sedang berburu, dan bahkan sungai yang membelah wilayah itu menjadi dua bagian.
Semakin lama kastil Branvold tampak semakin mengecil.
Anne menyadari sesuatu. Apa yang sekarang terlihat di kastil itu membuat dadanya terasa sesak. Puing-puing dan warna kecoklatan menghitam di sana-sini. Bekas kebakaran dan pembantaian. Menara-menara dan sebagian tembok kastil porak poranda.
Anne berusaha menyimpan kegundahan hatinya.
Tiba-tiba perasaannya menuntun pandangannya ke suatu tempat. Sesuatu di luar kastil Branvold. Anne memandang hamparan bunga purple heather yang mengelilingi kastil tersebut. Kumpulan titik berwarna ungu yang tak pernah berubah warna itu tampak berwujud seperti seekor …
Naga?
Ia mengamati dengan penuh saksama.
Benar!
Kumpulan bunga ungu yang kini hanya terlihat seperti titik-titik itu membentuk wujud seekor naga yang berbaring melingkar mengelilingi kastil. Seekor naga yang sangat besar!
Anne teringat legenda yang sering diceritakan ketika ia masih belum bisa membaca dan menulis. Di bawah tanah yang mengelilingi kastil Branvold terbaring seekor naga bersisik ungu. Naga yang pernah mencoba menyerang kastil tersebut. Naga, Purple Dragon, itu berhasil dikalahkan oleh Brandr Branvold yang merupakan kakek buyut dari Thor Branvold – ayah Anne. Di tempat naga itu terkubur, muncullah bunga berwarna ungu seperti sisik naga itu. Itu sebabnya tanah di sana selalu terasa hangat, api yang berasal dari dalam tubuh naga terus-menerus berkobar di dalam tanah. Bahkan di musim dingin sekalipun, ketika seluruh kastil tertutup salju, bunga-bunga purple heather tersebut tetap berkembang, tak pernah layu, tak pernah tertutup salju.
Konon sisik naga berwarna ungu itulah yang kini membentuk armor yang dikenakannya.
Masih menurut legenda tersebut, pedang Hvit Torden ditempa dari taring Purple Dragon. Pedang itu mampu memanggil petir dan menyimpan sinar matahari. Hvit Torden juga membuat pemiliknya mampu memanggil naga dan menungganginya untuk berperang.
Tetapi Anne tidak pernah mendengar kisah leluhur Branvold yang berperang dengan menunggangi naga.
Mungkin sebagian kisah dalam legenda tersebut merupakan dongeng.
Anne terus terbang menjauh dari tempat kediamannya. Ia ingin mencoba sejauh mana kemampuannya terbang. Segera setelah itu, ia harus kembali ke kastil untuk mempersiapkan dirinya kalau-kalau lawan melancarkan serangan lanjutan.
Keadaan di wilayah kekuasaan ayahnya terlihat begitu menyedihkan. Desa-desa hancur dan terbakar. Mayat terlihat di mana-mana. Jalan dan jembatan penghubung antar permukiman tersebut juga rusak.
Anne merasakan sesuatu … kehampaan yang teramat sangat di hatinya.
Tak ada makhluk hidup di sana. Bahkan hewan peliharaan dan ternak pun dibantai semuanya.
Ia ingin mendekati tempat itu, mendarat di sana dan memeriksa keadaannya. Tetapi sesuatu mencegahnya.
Albatross! Ia tidak ingin aku melakukan hal itu.
Anne sempat memerhatikan sekilas desa-desa tersebut. Ia sedikit terkejut.
Tidak semua yang mati itu penduduk desa dan hewan-hewan mereka. Ada puluhan … tidak mungkin ratusan mayat goblin yang tergeletak di desa-desa itu. Di antaranya ada beberapa mayat berukuran besar dan bertubuh kelam.
Svart Skygge! Mereka berhasil mengalahkan monster itu.
Anne tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Banyak warga desa yang pernah menjadi prajurit dan dilatih di kastil Brenvold. Beberapa perwira yang pensiun juga kembali menetap di desa-desa sekitar kastil – desa tempat kelahiran mereka.
Rupanya pertempuran di sini juga berlangsung dengan sengit dan memakan korban di kedua belah pihak.
Berangsur-angsur Anne terbang semakin tinggi dan semakin tinggi hingga ia akhirnya menjauh dari tempat tersebut.
Pantas mereka – para warga desa, tidak ada yang muncul ketika kastil diserang ...
Penyerangan ini begitu taktis. Siapa sebenarnya orang-orang yang ditenung menjadi Svart Skygge itu? Apakah mereka juga våpen mester seperti Torbjørn.
Tidak. Mereka tentunya para jenderal atau komandan pasukan elite. Torbjørn memang yudhaka yang terlatih dalam pertarungan tetapi ia bukan ahli strategi yang mampu menggerakkan pasukan dalam jumlah besar.
Anne terdiam.
Serangan ini betul-betul telah direncanakan dengan baik.
Beberapa Svart Skygge memimpin ribuan goblin menyerbu wilayah kekuasaan ayahnya.
Aku hanya berharap pasukan ekspedisi yang sedang dalam perjalanan pulang menuju kastil dalam keadaan selamat.
Aku juga harus segera kembali ...
Ia harus bersiap-siap untuk menghadapi musuhnya – Tron Sørensdatter sang penyihir kegelapan. Orang yang diduganya menyebabkan kehancuran klan Branvold.
Saat ini aku belum siap ...
Ketika ia sudah mendekati kastil, ia melihat di bawah sana tampak seseorang sedang berdiri memandangi pintu gerbang kastil yang terbuka lebar.
Siapa orang itu? Korban pertempuran? Warga desa yang mengungsi?
Banyak pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Anne.
Begitu mendarat, ia menyadari orang yang sedang berdiri di depan gerbang itu seorang wanita.
Anne mendadak curiga. Dari penampilan si wanita terlihat ia bukanlah orang yang baru saja menempuh perjalanan jauh, kelelahan, ataupun mengalami luka-luka.
Ia bukan penduduk wilayah ini. Bagaimana ia bisa sampai di tempat ini sedangkan jalan-jalan banyak yang rusak?
“Maaf, siapa Anda?” tanya Anne.
Wanita itu menoleh. Ia seorang perempuan muda. Dari penampilannya tidak bisa ditebak usia si wanita, tetapi sikapnya menunjukkan ia adalah seorang yang telah hidup cukup lama.
Wanita itu tampak terkejut sesaat ketika ia melihat kemunculan Anne.
Hanya sesaat, lalu ia tersenyum.
TAMAT
Kisah sebelumnya: Purple Heather
Kisah selanjutnya: Purple Dragon
Catatan:
Hvit Torden (White Thunder): Guntur Putih – nama pedang pusaka klan Branvold yang diwariskan secara turun temurun. Hvit Torden mampu menahan tenung ataupun serangan sihir lainnya. Pedang pusaka tersebut juga mampu memunahkan ilmu sihir dari para penyihir kegelapan. Seperti pedang pusaka lainnya, Hvit Torden bisa memotong baja dan membelah batu karang. Hvit Torden hanya dapat digunakan oleh semua anggota klan Branvold tetapi kekuatan sesungguhnya akan muncul saat pedang itu digunakan oleh sang pewaris klan. Pewaris sejati Hvit Torden saat ini adalah Anne.
Lys Engel (Light Angel): Malaikat Cahaya. Makhluk ini merupakan perwujudan dari orang yang memiliki tingkat kesadaran (kekuatan roh) yang tinggi semasa hidupnya. Kekuatan roh dibentuk dari hasil latihan bertahun-tahun menempa karakter, mental, spiritual, dan fisik hingga eksistensi mereka seolah-olah menyatu dengan alam. Semakin besar kekuatan roh seseorang, semakin kuat kemampuannya ketika bereinkarnasi menjadi Lys Engel. Lys Engel umumnya tidak mengingat jati dirinya pada penghidupan yang lampau – hanya segelintir yang masih mengingat hal-hal tertentu yang melekat pada dirinya.
Svart Skygge (Black Shadow): Makhluk kegelapan yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Mereka umumnya berasal dari para ksatria (knights) ataupun yudhaka (warriors) yang dikalahkan oleh para penyihir dan kemudian diubah wujudnya menjadi monster kelam tersebut. Kemampuan tempur dan kekuatan Svart Skygge tergantung dari kemampuan dan kekuatan ketika mereka masih hidup sebagai ksatria ataupun yudhaka – termasuk kemampuan sebagai Våpen mester. Itu sebabnya Torbjørn sebagai Svart Skygge masih menyimpan persenjataan di tubuhnya. Kekuatan Svart Skygge juga tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh sang majikan (penyihir yang menenung mereka). Dalam kisah di atas, Torbjørn masih memiliki kesadaran bahwa Anne adalah majikannya. Svart Skygge sulit untuk diubah kembali menjadi sosok sebelumnya (ksatria atau yudhaka). Salah satu cara untuk menyelamatkan para ksatria dan yudhaka tersebut adalah dengan membunuh penyihir yang telah menenung mereka.
Våpen mester (weapon master): Master persenjataan. Orang yang diberi kuasa untuk menyimpan (arsenal), menjaga, dan menggunakan senjata-senjata tersebut. Biasanya ia menyimpan persenjataan itu di dalam tubuhnya. Semakin kuat seorang våpen mester semakin banyak dan beragam senjata yang dapat ia simpan di tubuhnya. Seorang våpen mester memiliki kekuatan yang setara dengan sepuluh hingga seratus prajurit reguler. Våpen mester juga ahli menggunakan berbagai macam senjata. Beberapa våpen mester tercatat memiliki kemampuan tempur melebihi majikan mereka. Para ksatria, majikan dari våpen mester, umumnya memiliki benda sebagai kunci pembuka arsenal di tubuh abdi mereka itu. Wujud kunci dan lokasi disembunyikan dengan sihir. Anne sebagai majikan Torbjørn menggunakan bandul kalungnya sebagai kunci dan satu titik di punggung Torbjørn sebagai mulut (lubang) kunci tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H