Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Musashi: The Journey of A Warrior & The Book of Five Rings (15)

29 April 2016   21:40 Diperbarui: 2 Juni 2016   20:40 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Jadi, seperti itulah keinginan ayahmu,” kata Dorin menutup pembicaraannya.

Bennosuke yang saat itu duduk bersila di hadapan Dorin tampak termangu. Tatapan matanya kosong – memandang ke bawah, ke hamparan tatami (sejenis tikar tebal penutup lantai yang terbuat dari anyaman jerami) yang menutupi lantai ruangan itu. Ruangan tempat Dorin biasa bercerita tentang para tokoh hebat yang membentuk sejarah Jepang, sejarah Chuugoku, ataupun mengenai tokoh inspiratif lainnya seperti Koushi, Moushi, dan bahkan Sonshi. Di ruangan inilah Bennosuke selalu menunjukkan wajah antusias ketika menyimak apa yang dikatakan Dorin. Walaupun ruangan ini tidak begitu besar, seukuran 4½ tatami, dan penerangannya juga sekadarnya saja, setiap malam tempat ini selalu menjadi tempat favorit bagi Bennosuke. Entah karena kemampuan Dorin bercerita dan menggambarkan berbagai peristiwa dengan menarik ataukah minat dan keingintahuan Bennosuke akan hal-hal tersebut – sejarah, kebudayaan, dan kisah kepahlawanan, yang membuatnya betah berlama-lama di ruangan ini.

Bennosuke terdiam cukup lama. Ia menundukkan kepalanya.

Ayo, Bennosuke, katakan kalau kau bersedia mematuhi keinginan Ayah dan ucapkan terima kasih pada Paman Dorin.

Ia menggigit bibirnya namun tak sepatah kata pun ia ucapkan, tak sedikit pun ia menggerakkan tubuhnya.

Dorin menunggu respons apa yang akan ditunjukkan anak itu.

Apa yang ia pikirkan? Sedari tadi sejak kukatakan Munisai menginginkannya pergi dari rumah ini, tak sepatah kata pun ia ucapkan.

Tangan bocah itu tampak mencengkeram hakama-nya dengan kuat – saking kuatnya, kepalan tangannya seperti gemetar. Hal itu tidak luput dari perhatian Dorin.

Anak ini sedih? Marah? Kecewa?

Dorin bisa memaklumi perasaan Bennosuke. Bocah itu tentunya bingung dan bertanya-tanya karena ia tidak merasa melakukan suatu kesalahan apa pun, yang menyebabkannya harus angkat kaki dari rumah ini, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.

Bennosuke tetap menundukkan kepala. Perasaannya bercampur aduk. Bahunya bergerak naik turun sedikit, hanya sebentar.

Dia menangis?Dorin seperti merasakan apa yang dirasakan anak itu.

Bennosuke mengatupkan rahangnya – mencoba mengendalikan emosinya. Ia sedih, marah, dan kecewa. Tetapi ia tahu keputusan ayahnya sudah bulat. Tak akan ada yang bisa mengubahnya – apa pun itu, siapapun itu. Munisai adalah seorang laki-laki yang berwatak keras. Ia tidak pernah menarik kembali kata-kata yang telah diucapkannya.

Bennosuke berusaha mengatur napasnya, mencoba bernapas dengan teratur seperti yang biasa ia latih saat bermeditasi.

Ketika ia mulai berhasil menenangkan dirinya sejenak, tiba-tiba semua hal-hal yang tidak menyenangkan tentang ayahnya muncul di benaknya.

Sejak dulu Ayah tidak suka padaku, Ayah tidak pernah dekat denganku, kami berdua memang tidak akan pernah bisa akrab.

Konsentrasinya menjadi goyah. Semakin dipikirkan, bayangan ayahnya semakin jelas terbayang dan Bennosuke semakin merasa tertekan.

Dari dulu aku tahu Ayah membenciku.

Namun demikian ia tetap tidak mampu menemukan alasan mengapa ayahnya menginginkan ia pergi dari rumah ini.

Apa sebenarnya kesalahanku? Apa yang telah kuperbuat? Sebegitu bencinyakah Ayah padaku?

Bennosuke merasakan dadanya sesak.

Katakan … katakan padaku, Ayah, apa yang telah kulakukan?

Bennosuke mencoba bertahan dari segala macam pikiran negatif yang muncul – dengan memusatkan pikirannya, berkonsentrasi. Ia harus tegar. Ia seorang anak laki-laki – putra seorang samurai, pendekar pedang ternama, Munisai … yang ingin mengenyahkannya dari rumah ini.

Berpikir tentang ayahnya malah kembali menimbulkan perasaan sedih, marah, dan kecewa yang tidak dikehendakinya. Perasaan yang sama seperti sebelumnya, mulai mengacaukan pikirannya dan juga membuat matanya menjadi panas …

Eh? Aku menangis? Tidak, aku tidak mau menangis. Tidak akan.

Ia ingin melawan semua perasaan itu termasuk keinginan menangis yang diluar kehendaknya. Ia ingin mengangkat wajahnya, memandang Dorin dengan tegar. Tetapi ia belum sanggup.

Akhirnya ia memutuskan untuk menunda memberikan jawaban. Ia tidak ingin membiarkan Dorin melihat dirinya berada dalam kesedihan. Toh ini semua hanya sementara. Tak ada yang kekal di dunia ini. Tidak kesedihan, tidak juga kebahagiaan.

Berpikir demikian, berangsur-angsur Bennosuke mulai mampu menguasai dirinya lagi.

Jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu – apakah itu rasa sedih, marah, khawatir, takut, gugup, ataupun cemas, singkirkan! Pikirkan hal lain. Pikirkan apa saja yang mampu membuatmu melupakan semua perasaan tidak menyenangkan yang kaurasakan saat ini. Enyahkan pikiran-pikiran yang mengganggumu!

Konsentrasi, Bennosuke. Berkonsentrasilah.

Pedang. Tiba-tiba imaji benda itu langsung terlintas – terbayang, di benaknya.

Ia membayangkan sejenak saat-saat ia berlatih pedang, mengayunkan bokken-nya dengan penuh semangat. Ia merasakan suka cita yang muncul saat ia berlatih. Ia merasakan kegembiraan bercampur rasa letih setelah ia berlatih. Ketika ia memikirkan itu semua perlahan-lahan perasaannya menjadi tenang.

Ia berhasil mengatasi kesedihannya. Ia tidak akan menangis. Ia adalah seorang anak yang kuat.

Ia telah memenangkan pertarungan dengan dirinya sendiri.

Bennosuke lalu mengangkat wajahnya dan menatap Dorin.

Yang ditatap tampak sedang memerhatikannya.

Apa yang akan dikatakan Paman sekarang? Apakah Paman akan mencoba menghiburku denganbercerita tentang Minamoto no Yoritomo atau Yoshitsune yang juga diasingkan di kuil? Atau tentang Matsudaira Takechiyo?

Matsudaira Takechiyo adalah nama kelahiran Tokugawa Ieyasu. Ieyasu ditawan oleh pihak Imagawa atau lebih tepatnya diserahkan sebagai sandera oleh keluarganya, klan Matsudaira, sebagai wujud suatu pengakuan – takluk. Selama menjadi sandera, Ieyasu diperlakukan dengan baik dan mendapatkan pendidikan kesusastraan dan militer layaknya seorang putra bangsawan. Akhir-akhir ini Dorin beberapa kali bercerita mengenai ketiga tokoh itu. Mereka yang semula berada di pengasingan, menjadi tawanan, kemudian berhasil membebaskan diri mereka dan bangkit menjadi pemimpin. Entah apakah semua yang diceritakan Dorin beberapa hari yang lalu itu ada hubungannya dengan peristiwa hari ini, ketika ia menyampaikan keinginan Munisai kepada Bennosuke.

“Jika kamu ingin mengubah nasibmu, kamu harus berusaha keras dan bersungguh-sungguh. Berhasil tidaknya keinginanmu untuk mengubah nasibmu, sepenuhnya tergantung pada dirimu. Sang Buddha hanyalah penunjuk jalan, kamulah yang harus melalui jalan itu. Seperti juga yang dialami oleh ketiga orang itu, mereka semua berusaha keras dan tidak pernah menyerah pada keadaan atau istilahnya bersikap pasrah menerima nasib tanpa berbuat apa-apa. Di kemudian hari Yoritomo menjadi penguasa militer atau shogun pertama di Jepang. Yoshitsune menjadi salah seorang pahlawan terbesar dalam sejarah Jepang. Saat ini Ieyasu menjadi panglima perang yang disegani dan hanya dialah yang kekuatan militernya sanggup mengalahkan Hideyoshi.” Demikian yang dikatakan Dorin ketika itu.

Bennosuke berdiam diri menunggu – apakah pamannya akan mengulangi lagi kisah ketabahan, keuletan, dan keberanian tiga orang itu atau apakah Dorin akan mengatakan hal yang lain?

“Otsu tidak suka pada laki-laki cengeng yang mudah menyerah pada nasib dan tidak mau berjuang,” kata Dorin.

Bennosuke terperanjat. Kata-kata macam apa ini?

Ini bukanlah kata-kata yang diharapkannya saat ini. Ia menatap sekilas wajah pamannya, menduga-duga apa yang ada di pikiran Dorin saat itu.

Paman Dorin … bisa-bisanya Paman mengatakan hal yang memalukan seperti itu. Bennosuke jadi jengkel. Apa urusannya dengan Otsu?

“Hanya mereka yang kuat yang akan bertahan, mereka yang lemah akan dikalahkan.” Dorin melanjutkan kata-katanya sambil menatap tajam ke arah Bennosuke – senyum tersungging di bibirnya tatkala ia melihat bocah itu memandangnya dengan wajah terkejut sembari merengut.

Kukira Paman bermaksud mengatakan kalau aku itu laki-laki cengeng …

Dorin memang suka iseng. Namun demikian, ia merasa gembira melihat Bennosuke berhasil menaklukkan perasaannya.

“Paman, apa pun yang Paman katakan, mereka semua yang diasingkan itu adalah orang-orang yang tidak diinginkan oleh … orang yang mengasingkan mereka,” Bennosuke terlihat tenang ketika mengatakan hal tersebut, walaupun Dorin mendengar suara anak itu bergetar ketika mengucapkannya.

‘Orang yang mengasingkan mereka’ … Aku hampir saja mengatakan ‘keluarga yang mengasingkan mereka’.

Bennosuke seketika itu menyadari pendapatnya yang keliru. Ketiga tokoh itu diasingkan bukan karena keinginan keluarga mereka, tetapi karena ada kekuatan yang lebih besar yang memaksa mereka berpisah dari keluarganya dan menjadikan mereka sandera.

Dorin memerhatikan ekspresi wajah Bennosuke.

Bocah ini sudah tahu, ayahnya tidak menginginkannya berada di sini.

Wajah Bennosuke terlihat biasa-biasa saja. Senyum mengembang di wajahnya walaupun sinar matanya terlihat redup.

“Apa pun keinginan Ayah, akan saya lakukan.” Ia lalu membungkukkan badannya di hadapan Dorin. Akhir tahun masih beberapa bulan lagi. Ketika musim semi tiba, aku sudah tidak berada di sini lagi. Sementara ini masih banyak hal yang harus kulakukan.

Bennosuke berharap ia masih diperbolehkan menonton pertarungan-pertarungan antara ayahnya dan para penantang yang menyambanginya.

Dorin merasa lega. Jika anak ini bisa mengatasi perasaannya saat ini, ia akan bisa mengontrol dirinya nanti ketika Munisai sendiri yang mengatakan padanya – memintanya pergi dari tempat ini.

Keesokan harinya, seperti biasa Bennosuke sudah berada di dalam salah satu ruangan di dojo, mempersiapkan diri untuk pelajaran membaca dan menulis. Ia sedang menata meja kecil dan peralatan untuk menulis ketika ia melihat Otsu datang menghampirinya.

“Selamat pagi, Bennosuke,” sapa Otsu sambil tersenyum. Kedua tangannya disembunyikan di balik punggungnya.

“Ah, Otsu, selamat pagi,” balas Bennosuke datar. Sepertinya peristiwa kemarin masih membekas dalam pikirannya.

“Aku membawakan kamu sesuatu,” kata gadis kecil itu lagi. Senyum mengembang di wajahnya.

Sesungguhnya Bennosuke tidak mengharapkan kehadiran Otsu saat ini, bahkan memikirkan kedatangan gadis kecil itu pun tidak.

“Ini, untukmu,” kata Otsu menyodorkan sesuatu. Sesuatu yang sebelumnya disembunyikan di balik punggungnya.

“Eh?” Bennosuke terkejut memandang benda yang disodorkan Otsu. Teru teru bozulagi? Anak ini suka sekali ya samateru teru bozu?

“… terima kasih,” Bennosuke sambil menerima benda itu dari tangan Otsu. Ia menjadi kikuk. Ia benar-benar tidak menyangka Otsu akan memberikan benda ini lagi. Kenapa benda ini lagi? Ada apa sebenarnya dengan Otsu danteru teru bozu?

“Ehm,” Otsu mengangguk sambil tersenyum senang melihat Bennosuke mau menerima pemberiannya.

Apa yang akan kulakukan denganteru teru bozoini? Masa sih aku harusmenyimpan benda ini untuk kemudian menggantungnya jika cuaca mulai memburuk?

“Ah, sebentar,” Bennosuke mengambil alat tulisnya, ia lalu duduk bersila dan menyapukannya kuas itu di bagian wajah teru teru bozu pemberian Otsu. Ia menambahkan alis, menggambarkan garis pada kedua matanya, dan mengubah sedikit bentuk mulut yang sudah dibuat Otsu.

“Eh, kamu apakan teru teru bozu-nya?” tanya Otsu yang kini sudah duduk bersimpuh di samping Bennosuke dan memerhatikan apa yang dilakukan bocah itu.

“Ini. Sudah mirip kan, sekarang?” Bennosuke memperlihatkan boneka itu pada Otsu.

Mirip? Mirip apa? Mirip siapa? Otsu mendekatkan wajahnya dan memandangi boneka itu dengan saksama. Wajahnya menunjukkan kebingungan.

“Ini teru teru dorin,” kata Bennosuke sambil tersenyum – menahan tawa.

Otsu membelalakkan matanya. “Teru teru dorin?” Ia kembali memerhatikan boneka kain yang sedang dipegang Bennosuke itu.

“Hahahahaha!” Otsu tertawa terpingkal-pingkal. Teru teru bozu buatannya – yang sudah diubah tampangnya itu oleh Bennosuke, memang mirip dengan Dorin.

Bennosuke pintar sekali menggambar wajah Guru Dorin! Otsu terus tertawa.

Bennosuke ikut tertawa. “Mirip ya, teru teru dorin,” katanya.

Otsu kembali tertawa.

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Bennosuke merasakan kehadiran seseorang. Seseorang yang sepertinya ada hubungannya dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

“Ssssttt! Paman datang,” Bennosuke memperingatkan ketika ia melihat Dorin berjalan mendatangi tempat mereka.

Keduanya langsung terdiam dan melanjutkan aktivitas mereka sebelumnya. Otsu sibuk memerhatikan lembaran kertas di atas meja kecil tempat Bennosuke belajar menulis – sambil tersenyum simpul. Bennosuke menyiapkan peralatan untuk pelajaran membaca dan menulis.

“Apanya yang mirip teru teru dorin?” tanya Dorin begitu ia sampai di tempat kedua anak itu. Ia berdiri tegak di hadapan Bennosuke sambil berkacak pinggang dan bermuka masam.

“Eh?” Bennosuke terkejut. Paman mendengarnya?

Bennosuke menengadahkan wajahnya – memandang Dorin sambil melongo. Yang dipandang tampak memelototinya.

Otsu kembali tertawa ketika ia melihat gaya Dorin berhadapan dengan Bennosuke – namun ia berusaha menahan tawanya itu.

“Ah, Guru Dorin. Selamat pagi,” katanya sambil menundukkan kepala dengan mulut tersenyum. Suara ‘hehehe’ perlahan terdengar dari mulut mungilnya.

“Selamat pagi, Otsu,” sahut Dorin yang lalu melirik ke arah teru teru bozu yang sudah dipermak itu – dan kini berada dalam genggaman tangan kiri Bennosuke. Matanya langsung mendelik.

Jadi itu yang namanya teru teru dorin.

Dorin sebenarnya ingin tertawa melihat wajah benda itu. Alis, mata, dan mulutnya betul-betul menyerupai bentuk karikatur dirinya.

Sementara Bennosuke menjadi serba salah.

“Ah,” katanya tiba-tiba dan dengan cepat melihat ke arah pintu dojo – tempat dari mana Dorin datang. Dorin pun spontan menengok ke arah itu.

Tidak ada sesuatu atau seorang pun di sana. Dorin menyadari tipuan Bennosuke.

Tidak ada apa-apa! Anak ini mencoba menipuku, dia ingin mengalihkan perhatianku dariteru teru dorinhasil rekayasanya itu. Dasar bocah nakal!

Ia langsung mengarahkan pandangannya kembali ke bocah itu. Tampak Bennosuke dengan terburu-buru menyembunyikan teru teru dorin di balik obi-nya.

Dorin menjadi jengkel, ia merasa kali ini tingkah laku bocah itu sudah keterlaluan.

“Aku sudah melihatnya, Bennosuke. Percuma kamu sembunyikan.” Ia menatap bocah itu dengan gemas.

“Aduh!” tiba-tiba Bennosuke berteriak kesakitan – telinga kirinya dijewer oleh pamannya.

Sakit, tahu! Bennosuke mengelus-elus telinganya yang kini memerah itu.

Sementara Otsu terus-menerus tertawa. Ia menggunakan kedua tangan menutupi mulutnya dan memalingkan wajahnya ke arah lain.

Bennosuke melihat pamannya berjalan menuju sudut pekarangan – mengambil sebuah benda yang biasa dijadikan alat untuk menghukum Bennosuke: sapu.

“Bennosuke …”

Belum selesai Dorin berbicara, bocah itu sudah bangkit berdiri dan berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.

“Sampai nanti, Otsu,” teriaknya – melambaikan tangan, tanpa menoleh.

Otsu terpingkal-pingkal melihat tingkah kedua orang yang usianya jauh berbeda ini.

“Lihat Otsu, begitulah Bennosuke. Kamu jangan mau sama laki-laki seperti dia yang melihatku memegang sapu saja sudah kabur meninggalkanmu, apalagi kalau dia melihatku memegang pedang.” Dorin sengaja berbicara keras-keras supaya Bennosuke mendengarnya.

Bennosuke sudah hapal apa yang akan dilakukan Dorin dengan sapu itu. Ia akan disuruh menyapu pekarangan – yang kemudian dilanjutkan dengan menimba air sumur, mengepel lantai dojo, dan banyak pekerjaan lainnya. Padahal ayahnya telah mengupah beberapa orang pekerja harian untuk mengurus rumah, selain itu murid-murid ayahnya juga bertugas membersihkan dan merawat dojo. Tentu saja Bennosuke merasa keberatan jika ia harus melakukan pekerjaan yang bukan merupakan tugasnya itu.

Ada-ada saja, Paman Dorin itu.

Bennosuke tahu konsekuensi dari membolos pelajaran pagi ini. Hukumannya biasanya menulis huruf kanji sebanyak dua ratus kali. Tetapi ia tidak yakin kalau huruf kanji yang harus ditulisnya sebagai hukuman kali ini adalah huruf kanji teru teru dorin.

Pagi hari ini, setelah pelajaran membaca dan menulis, Bennosuke berlatih pedang di pekarangan rumahnya. Ayunan bokken-nya terlihat cepat dan bertenaga. Sementara itu Dorin duduk di tempatnya yang biasa – salah satu batu besar berbentuk pipih, memerhatikan Bennosuke berlatih. Akhir tahun ya … tinggal beberapa bulan lagi.

Bennosuke lalu menghampiri Dorin. Sepertinya ia telah selesai berlatih. Bokken dipegang dengan tangan kanannya dan bagian pipih senjata itu ditepuk-tepukkan ke bahu kanannya.

“Aku tahu cara mengalahkan Ayah,” katanya kepada Dorin – ia menyeka keringat yang membasahi dahi dan pipinya.

“Heh?” Dorin memandang Bennosuke dengan bingung – seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu. Takabur sekali anak ini.

“Bukannya tempo hari kamu lari terbirit-birit seperti tikus dikejar kucing?” ledeknya. “Padahal ayahmu belum muncul.” Dorin mengingatkannya akan kejadian beberapa waktu yang lalu.

Bennosuke menggelengkan kepalanya – sebagai bentuk pernyataan bahwa ia tidak akan melakukan hal itu lagi.

“Itu kan karena aku tidak siap,” katanya dengan yakin.

“Memangnya kapan kamu mau siap? Seorang yang berlatih pedang harus selalu waspada, bersiaga setiap saat. Kelengahan sedetik pun bisa berakibat fatal. Di dalam bertarung, pikiran harus terfokus pada pertarungan itu. Jangan pernah pikiranmu terhenti dan melantur walaupun hanya sesaat ...”

“Caranya dengan bertarung di malam hari,” tukas Bennosuke – mengabaikan penjelasan Dorin yang panjang lebar tentang pertarungan dengan pedang itu.

Dorin sebenarnya agak mendongkol omongannya dipotong oleh bocah itu, namun demikian ia tetap menyimak apa yang dikatakan Bennosuke.

Mengalahkan Munisai dengan bertarung di malam hari? Barusan makan apa bocah ini? Atau jangan-jangan ia keracunan makanan basi?

“Oh, malam hari seperti waktu itu dong, ya,” Dorin menganggut-anggut – nada bicaranya mengejek. “Tapi, Bennosuke, malam hari, pagi hari, siang hari, sore hari, sama saja. Apa bedanya? Yang menentukan adalah kemampuanmu dan kesiapanmu.” Dorin menatap Bennosuke dengan sungguh-sungguh. Ia terlihat serius dengan apa yang dikatakannya.

Bennosuke kembali menggelengkan kepalanya, lalu dengan pongah membusungkan dadanya. “Ayah itu kan mendapatkan julukan ‘tanpa tandingan di bawah matahari’.”

Dorin teringat gelar yang diberikan oleh Kengo Shogun kepada Munisai.

“Terus?” tanya Dorin.

“Artinya dia ‘bisa dikalahkan di bawah bulan’.” Lalu Bennosuke tertawa tergelak-gelak. “Hahaha!”

Dorin terkejut mendengar perkataan Bennosuke yang kacau itu.

Ternyata bocah ini cuma bercanda!

Dorin agak mangkel juga mengetahui dirinya dijadikan korban kelakar Bennosuke.

“Ahahaha!” Bennosuke terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perutnya. Sesekali ia mengangkat wajahnya, memandang ke arah Dorin yang berwajah masam, lalu tertawa lagi. “Hahaha!”

Dorin tiba-tiba menegakkan tubuhnya lalu sedikit membungkuk.

“Eh, Munisai,” sapa Dorin melihat seseorang yang berada di belakang Bennosuke. “Selamat pagi.”

Bennosuke menghentikan tawanya, namun mulutnya masih tersenyum lebar. Dengan pandangan mata mengejek ia memerhatikan apa yang dilakukan Dorin.

Mau mencoba menipuku lagi?

“Paman, memangnya Paman tidak tahu, jurus yang sama tidak bisa digunakan dua kali untuk menghadapi …”

“Selamat pagi,” terdengar suara berat seseorang di belakangnya. Suara seseorang yang sangat dikenalnya – yang hanya dengan mendengarnya saja sudah membuatnya merinding.

Perlahan-lahan ia membalikkan badannya dan menoleh ke sumber suara itu. “Ayah?!” serunya terkejut bercampur gugup. Saat itu wajah Bennosuke pastilah sudah menjadi pucat pasi. “Eh … selamat pagi, Ayah.”

Bennosuke membungkukkan badannya.

“Hm, selamat pagi.” Munisai menganggukkan kepalanya. Matanya tajam memandang wajah terkejut anaknya itu.

“Se … se … sejak kapan …” Bennosuke tergagap-gagap – ia melirik ke arah Dorin yang kini terlihat serius.

“Sejak ‘bisa dikalahkan di bawah bulan’,” jawab Munisai singkat.

Dorin tersenyum, rupanya kehadiran Munisai tidak bisa dirasakan oleh Bennosuke. Bocah yang bisa menyadari – menangkap gerakan tongkat kayu Dorin sebelum dipukulkan ke meja tulisnya atau bisa mengetahui kehadirannya dari arah belakang, ternyata tidak bisa merasakan kedatangan Munisai.

Seorang master pedang memang luar biasa.

Seorang master pedang tidak saja mampu menyerang lawan tanpa diduga – seolah-olah serangan tersebut dilakukan tanpa persiapan, tetapi juga membuat lawan menjadi kesulitan mengarahkan serangan balik ke arahnya karena sepertinya semua gerakan lawan bisa terbaca oleh si master pedang.

Bahkan ada yang mengatakan ketika seorang master pedang bertarung, gerakan lawan terlihat lambat sehingga mudah ditangkis atau mudah dihindari. Kecepatan mata membaca gerakan lawan diikuti refleks yang terlatih membuat seorang master pedang terlihat begitu digdaya.

Selama ini, Bennosuke belum pernah melihat ayahnya bertarung lebih dari seperempat jam. Ketika menghadapi lawan yang kuat, Munisai pasti menggunakan pedang. Apakah pedang itu dipegang dengan satu tangan atau dengan kedua tangannya, pertarungan tetap berlangsung singkat.

Sedikit banyak Bennosuke sudah bisa merasakan yang mana di antara para penantang ayahnya itu merupakan lawan yang kuat dan mana lawan yang lemah – sebelum mereka bertarung menghadapi ayahnya dalam duel di dojo ini.

“Ini,” kata Munisai memberikan sebuah belati dan potongan kayu sepanjang setengah kaki.

“Bikin tusuk gigi,” perintahnya.

Bennosuke menerima belati dan potongan kayu itu dari tangan ayahnya.

“Semuanya?” tanyanya.

“Tentu saja tidak. Cukup dua ratus batang saja,” jawab Munisai.

“Untuk apa banyak-banyak, memangnya mau jualan tusuk gigi …” katanya lagi.

Dorin tersenyum menyeringai.

Anak ini mendadak bisa berubah sikap ketika berhadapan dengan ayahnya.

“Baiklah,” jawab Bennosuke sambil membungkukkan badannya. Ia sudah terbiasa membuat tusuk gigi seperti yang barusan diperintahkan ayahnya itu. Biasanya ia akan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam untuk membuat dua ratus tusuk gigi.

“Bennosuke,” terdengar Munisai memanggilnya.

“Ya,” sahut bocah itu menoleh ke arah ayahnya – lalu menundukkan kepalanya.

“Kudengar Dorin sudah berbicara padamu.” Munisai memandang lurus-lurus ke arah Bennosuke. Tatapan matanya tajam. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu mengerti apa yang dikatakannya padamu.”

“Saya mengerti,” jawab Bennosuke menganggukkan kepalanya.

“Dan kamu akan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh,” kata Munisai lagi.

“Ya,” Bennosuke menjawab dengan perlahan. Tangannya yang memegang belati itu tampak gemetar.

Bersambung

Bagian (20), (19), (18), (17), (16), (15), (14), (13), (12), (11) dan sebelumnya

#‎Tantangan100HariMenulisNovel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun