Anne menatap lurus wajah Svart Skygge. Memandang dua lubang hitam di mana seharusnya bola mata monster itu terpasang. Svart Skygge tidak bermata. Lubang mata itu kosong dan gelap. Namun Anne sepertinya tahu Svart Skygge bisa melihatnya, Svart Skygge sedang menatapnya.
Bukan … bukan ia yang ditatap makhluk itu. Dengan refleks Anne meraih benda itu, bandul kalung dengan gambar rangkaian bunga berwarna ungu. Satu-satunya perhiasan yang dipakainya saat itu.
Satu titik bercahaya muncul di kedua lubang matanya. Hanya sekilas. Secepat kedipan mata. Namun Anne melihatnya. Svart Skygge memandangi kalungku!
“Aku … harus … melakukannya …” Svart Skygge berkata lirih. “Purple Heather …”
Kepalanya sedikit menunduk.
Anne tertegun. Terkejut. Jantungnya berdebar-debar semakin kencang.
Purple Heather? Anne mengamati Svart Skygge dengan pandangan bingung dan perasaan takut.
Purple Heather? Apa ia tidak salah dengar. Purple Heather adalah panggilan yang diberikan seseorang untuknya. Hanya dialah satu-satunya yang memanggil Anne dengan sebutan Purple Heather: bunga yang diabadikan dalam bandul kalung yang dikenakannya saat itu. Kalung pemberian seseorang yang selalu menjaganya. Siang malam selalu bersamanya. Orang yang ditakdirkan untuk selalu berada di sampingnya.
“Torbjørn?” panggilnya perlahan. “Kamu … Torbjørn?”
Svart Skygge tidak menjawab.
Salah satu goblin yang sedari tadi berdiam diri, tiba-tiba bergerak maju. Ia mencoba menyerang Anne – rupanya ia tidak sabar melihat sikap Svart Skygge yang dianggapnya ragu-ragu.
“Aaaaaahhhh!” Anne menundukkan kepala dan berteriak sambil menutup muka dengan kedua tangannya.
“Sraaaaaaat! Bluk! Gluduk-duk-duk-duk!”
Kepala goblin itu terjatuh dan menggelinding ke samping jasad Svein hingga mengenai kaki Anne. Darahnya berceceran ke mana-mana.
Rupanya Svart Skygge yang memenggal goblin itu. Jemari tangannya yang panjang dan tajam itu tampak meneteskan darah segar. Darah goblin yang baru saja dipenggalnya.
Goblin-goblin yang lain terkejut dan serentak melangkah mundur. Tidak ada yang berani bertindak gegabah lagi.
Anne mengintip dari balik jemari tangannya. Ia melihat tubuh goblin yang kini sudah terlentang tanpa kepala itu bergerak-gerak meregang nyawa.
Ia melihat kemarahan di wajah Svart Skygge. Ataukah perasaannya saja? Wajah Svart Skygge yang hitam gelap sebenarnya tidak bisa menampakkan emosi.
Para goblin itu berangsur-angsur mundur semakin menjauhi Anne dan Svart Skygge. Mereka tampak semakin ketakutan. Mereka sepertinya menyadari kemarahan sang bayangan hitam yang belum mereda. Terlebih setelah mayat rekan mereka yang dibantai Svart Skygge terhempas dan jatuh tepat di depan mata mereka.
“Purple Heather … “ kata Svart Skygge – makhluk kegelapan itu, memanggil Anne, terdengar seperti bergumam. Gumaman penuh kesedihan. Dia kemudian menurunkan kedua tangannya dan melangkah mundur perlahan-lahan. Svart Skygge memalingkan wajahnya lalu membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Anne. Dia keluar melalui pintu yang terbuka, yang menghubungi pekarangan belakang dengan bagian samping kastil. Tempat itu merupakan jalan pintas menuju gerbang utama. Kepergian Svart Skygge diikuti para goblin yang berlari tergesa-gesa di belakangnya. Tak satu pun dari mereka berani menoleh ke belakang – melihat Anne, walau hanya sesaat. Anne, satu-satunya anggota keluarga Branvold yang tersisa, yang seharusnya mereka bantai.
“TORBJØRN!” panggil Anne. Dia mencoba bangkit berdiri namun kakinya terasa berat, terlebih ada Svein di pangkuannya. Anne merasakan tubuhnya lemas dan menggigil. Ingatannya mengulang kembali apa yang telah ia alami. Ia menyaksikan perbuatan Svart Skygge dan kelompoknya – membantai habis keluarganya dan seluruh penghuni kastil ini – tidak terkecuali kuda-kuda, ternak, dan hewan peliharaan lainnya.
Anne kembali terduduk, bersimpuh.
“Torbjørn,” Anne bergumam perlahan. Torbjørn yang dia kenal adalah seorang våpen mester, orang yang seharusnya menjaga tuannya dan menjadi wadah bagi persenjataan ksatria klan Branvold. Setiap ksatria klan Branvold memiliki seorang våpen mester. Semakin kuat kemampuan tempur si ksatria, semakin hebat juga kemampuan våpen mester-nya.
Tak ada yang tahu mengapa Torbjørn waktu itu ditunjuk sebagai våpen mester pendamping Anne. Semua orang menganggap calon pewaris klan Branvold adalah Svein, putra sulung Thor. Torbjørn, sang pemenang turnamen laga antar-våpen mester, mempunyai kemampuan menyimpan dua ratus senjata di dalam tubuhnya. Seorang remaja yang benar-benar kuat dan berbakat.
Mengapa Torbjørn bisa berubah menjadi sosok Svart Skygge? Tak ada yang tahu. Dia menghilang ketika menemani Thor berperang melawan Tron Sørensdatter sang penyihir kegelapan. Tron memang menaruh dendam terhadap klan Brandvold – keluarga ksatria yang selama beberapa abad memburu dan menumpas kaum kegelapan.
Anne memperhatikan Torbjørn alias Svart Skygge yang semakin menjauh.
Anne tahu makhluk itu mengenalinya sebagai pewaris klan Branvold.
Apakah dia sengaja membiarkan Svein menjadi target utama pembantaian?
Tidak mungkin. Saat itu Torbjørn pasti berada dalam pengaruh kekuatan jahat. Torbjørn tidak mungkin membunuh Svein!
Rupanya Torbjørn masih ingat padaku … atau ada kesadaran dalam dirinya yang mencegahnya untuk melukaiku.
Anne memindahkan jasad Svein dari pangkuannya. Ia memaksakan dirinya untuk bangkit. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, Anne berdiri. Lututnya terasa lemas. Dia terlatih bertempur sejak kecil namun belum pernah mengalami peperangan yang sesungguhnya. Belum pernah melihat orang-orang dibunuh di depan matanya. Anne merasa gugup dan ketakutan.
Namun tekadnya begitu kuat. Dia adalah ksatria Branvold, pewaris klan dan calon pemimpin menggantikan ayahnya yang tewas dibunuh makhluk-makhluk kegelapan ini.
Aku harus kuat!
Anne tidak tahu kalau keberadaan seorang våpen mester akan mempengaruhi kekuatan tersembunyi yang dimiliki para ksatria Branvold.
Keberaniannya muncul seketika. Tanpa ia sadari, ia sudah melesat berlari menyusul Svart Skygge dan para goblin itu!
Aku harus mendapatkannya. Harus! Aku harus mendapatkannya …
Kekuatannya seolah-olah meningkat dengan pesat dan Anne berhasil mengejar Torbjørn. Para goblin yang melihat kedatangan Anne, serentak berpencaran seolah-olah membuka jalan baginya.
Begitu mendekat, Anne langsung menempelkan bandul kalung itu ke punggung Torbjørn. Tepat di mana seharusnya lencana itu berada. Lencana yang merupakan pasangan dari bandul itu.
Maafkan aku, Torbjørn ...
Svart Skygge memekik keras. Suaranya melengking tinggi membuat para goblin yang berpencaran itu berlari semakin menjauh ke segala arah. Mereka kabur meninggalkan pimpinan mereka yang kini terluka.
Punggung Svart Skygge seperti membara. Luka bakar melingkari di punggungnya, mengelilingi titik di bagian mana Anne menempelkan bandul miliknya itu.
“Maafkan aku, Torbjørn,” ulangnya.
Seperti lumpuh, Svart Skygge terdiam tidak mampu bergerak. Dia jatuh bertekuk lutut.
Anne merapalkan mantera lalu menjulurkan tangannya mengorek punggung monster itu yang kini terluka dan membelah penuh darah.
Dapat!
Anne menarik keluar sesuatu – sebilah pedang. Mata pedang itu putih berkilau seperti petir. Hvit Torden, pedang pusaka klan Branvold.
“Lakukan, Purple Heather, … lakukan,” terdengar bisikan di telinga Anne – suara Torbjørn sang våpen mester. Sementara Svart Skygge tertunduk bertekuk lutut diam tak bergerak.
Aku tak mampu. Aku tak akan mampu.
“Kamu bisa. Kamu pasti bisa.” Suara itu terdengar lagi.
Anne terdiam menahan isak tangisnya. Bahunya terguncang-guncang berbarengan dengan sedu sedannya. Haruskah ini kulakukan?
Para goblin yang sebelumnya berlarian memencarkan diri kini kembali berdatangan. Mereka mengerubungi Anne dan bersiap menyerangnya. Ketika sang pemimpin sudah tiada, maka tidak ada yang menghalangi mereka untuk membunuh Anne.
“Kau kuat Purple Heather, kau pasti bisa.”
Anne mengangguk. Dengan punggung tangannya, ia mengusap air mata di pipinya.
Kerumunan goblin itu seperti memaksanya melakukan apa yang diminta Torbjørn. Anne memantapkan hatinya. Ia menggenggam erat pedang itu dengan kedua tangannya.
“Maaf, Torbjørn, maafkan aku.”