Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siulan di Tengah Malam (3)

5 September 2014   19:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:31 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bocah itu sekarang sudah berdiri di hadapanku.

Mukanya putih pucat– dan berlumuran darah. Matanya memancarkan kesedihan yang mendalam.

Benar dugaanku. Bocah ini bukan manusia!

Aku melihat darah mengalir dari pelipisnya. Ada luka di dahinya. Pasti lebar sekali lukanya. Darah mengalir dari luka tersebut. Aku tak bisa melihat luka tersebut dengan jelaskarena dahi si bocah tertutup rambut poninya.

Tak ada manusia yang bisa bergerak normal dengan luka seperti itu.

Pikiranku blank.

Aku menatapnya tanpa mampu berkata apa-apa.

Baju dan tubuhnya kotor.

Dia berjalan masuk.

Aku bergerak mundur.

“Aku takut, aku sendirian, di sana gelap dan sepi, tidak ada siapa-siapa,” dia berkata – memelas.

“Oh ya, namaku Renno,” katanya perlahan – sambil menatapku.

Mata bocah ini tidak memancarkan kehidupan! Dingin sekali.

Spike, yang biasanya sangat menyukai anak-anak, menggeram seolah mengancam hendak menerkam si bocah.

“Aku sayang anjing,” katanya sambil memandang Spike. Dia menghampiri Spike dan menjulurkan tangannya hendak memegang kepala boxer itu.

Tangannya sangat kotor, sepertinya bocah ini tidur di jalan atau tidak mandi berhari-hari.

Spike menggeram lebih keras dan bersiap untuk menyalak. Dia tampaknya ketakutan sekali.

“Tahan sebentar,” kataku sambil memegang pundak si bocah.

Aku merasakan sesuatu yang lembut, dingin, dan …. basah.

Aku segera menarik tanganku dari pundaknya. Aku melihat tanganku berlumuran sesuatu, lengket dan pekat.

Darah? Tanganku basah oleh darah!

Aku hanya menyentuh pundaknya sebentar tapi ….

Si bocah menatap tajam ke arahku.

“Kakak, kenapa?” tanyanya.

Aku tak bisa bergerak. Tubuhku menggigil – gemetar dan tegang. Terus terang aku merasa takut sekali.

Spike mulai menyalak. Suaranya lebih terdengar seperti lengkingan ketimbang gonggongan. Dia rupanya merasa terancam dan juga ketakutan.

Si bocah melihat tanganku yang berlumuran darah. Dia menatapku lekat-lekat. Jelas sekali dia tahu kalau aku ketakutan setengah mati.

Aku paling tidak tahan melihat darah…. Aku merasa mual.

Si bocah memalingkan wajahnya dan menundukkan kepala.

“Aku memang sudah mati,” katanya datar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun