Sebuah film tentang keluarga Korea Selatan-Amerika Serikat berjudul Minari menjadi perbincangan di internet sejak tahun 2020. Film yang dirilis tahun 2020 lalu, akhirnya tayang di Indonesia pada April 2021 dan saya langsung menonton film ini setelah melihat sedikit ulasan di internet. Datang dengan ekspektasi yang cukup tinggi, saya pulang dengan perasaan hangat dan tidak ada rasa kecewa. Minari berhasil menunjukkan dengan sederhana gambaran tentang permasalahan keluarga imigran dari beberapa sisi.
Film ini bercerita tentang sebuah keluarga Korea-Amerika yang pindah ke daerah sepi di salah satu negara bagian dengan maksud membangun bisnis pertanian agar bisa terlepas dari pekerjaan sebagai chicken sexer. Jacob Yi (Steven Yeun), sang istri, Monica Yi (Han Yeri), serta dua anaknya Anne dan David harus pergi ke daerah pinggiran yang jauh dari amenities kota, seperti rumah sakit, gererja, dan tempat bermain. Di sinilah perjalanan mereka bermula. Sepanjang film, kita akan disuguhkan dengan dinamika dan permasalahan keluarga.
Singkatnya
Banyak ulasan yang menyebutkan bahwa Minari adalah sebuah film yang menghangatkan hati dan membuat penontonnya tersentuh oleh perjalanan para anggota keluarga. Saya pun setuju. Meski film ini bisa dibilang cukup lambat, rasa bosan tidak sama sekali hadir. Pengembangan cerita yang lambat dan tidak terburu-buru ini membuat kita masuk lebih dalam ke akar dari masalah dan penyebab mereka berada di tempat itu.Â
Bisa dibilang semua karakter utama di film ini mendapatkan porsi yang pas. Mungkin Anne masih belum terlihat memiliki masalah--atau mungkin saya lupa. Sang Ayah, Ibu, Nenek, dan Adiknya semua memiliki masalah dan konflik satu sama lain. Hanya Anne-lah yang konfliknya belum terlihat. Biar begitu, kita pun bisa mendalami kondisi Anne dan pasti akan bersimpati kepadanya. Hanya karena itu tidak terlihat secara eksplisit di film, kita harus menelaah lagi lebih lanjut.
Minari juga berhasil menunjukkan beberapa budaya Korea ke dalam film ini dengan baik. Mulai dari yang sudah umum, seperti menunjukkan makanan khas, hingga ramuan jamu untuk anak kecil yang dibawa dan diracik oleh sang nenek untuk David, cucu laki-lakinya. Selain itu, ada juga rasa bangga yang dimunculkan. Rasa bangga memiliki budaya Korea. Rasa bangga yang membuat Jacob Yi ingin bertani tanaman Korea untuk dijual dan dipasarkan ke toko-toko khas Korea Selatan. Rasa bangga yang disambut dengan sifat oportunis karena ini bisa menjadi lahan penghasil uang untuk mereka.
Secara keseluruhan, dengan irama film yang lambat, ada banyak hal yang berhasil tersampaikan tanpa membuat saya bosan dan duduk hingga akhir.
Pelajaran tentang keluarga
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Jacob Yi ingin membangun bisnis pertanian sayur-mayur khas Korea di daerah yang ia pilih. Pilihan itu membuat masalah demi masalah bermunculan. Masalah antara dia dan sang istri.Â
Perbedaan pendapat kerap terjadi dan perkelahian dan adu argumen pun mau tidak mau harus disaksikan oleh anak-anaknya. Baru pada satu bagian film, kita tahu apa alasan Jacob Yi melakukan hal tersebut. Alasan itulah yang membuat saya berpikir tentang satu hal yang dilupakan oleh dua pasangan ini.
Jacob dan Monica di film ini bisa dibilang memiliki komunikasi yang tidak baik. Di beberapa adegan kita akan menyaksikan bahwa mereka tidak berada di sisi yang sama saat menghadapi sebuah kondisi. Bahkan, diceritakan bahwa Monica tahu rahasia Jacob meskipun dia tidak diberi tahu oleh suaminya. Kondisi itulah yang akhirnya memperparah hubungan mereka. Ketidaksamaan visi yang tidak didiskusikan dengan baik, akhirnya menjadi sumbu yang meledakkan emosi mereka berdua. Berkali-kali.
Satu hal menarik dalam film ini adalah karatker Jacob, saat memilih untuk bertani, yang masih belum selesai dengan dirinya sendiri. Dia tidak ingin dipandang gagal oleh anak-anaknya. Jacob ingin anak-anaknya melihat dia sukses meski hanya sekali. Pilihan dia akhirnya berbenturan dengan keinginan sang istri yang ingin mereka pindah ke California dan mengurus keluarga bersama-sama. Itu berarti, Jacob harus meninggalkan usaha yang tengah dibangun dan dirintis di Arkansas.
Di satu sisi, memiliki mimpi itu tidak salah, kan? Jacob ingin menjalankan apa yang menjadi angan-angannya dan keluar dari rutinitas sebagai chicken sexer--walaupun bayarannya besar dan mampu membayar utang-utang mereka. Akan tetapi, ketika sudah memiliki keluarga, benturan itu pasti tidak terhindarkan. Ketika Jacob memilik untuk mewujudkan mimpinya, keluarganya pun mau tidak mau harus mengikuti keinginannya. Walaupun itu berarti banyak kemudahan dan kenikmatan yang harus direlakan.
Benturan yang terjadi, ditambah dengan buruknya komunikasi, memang sangat masuk akal untuk membuat pertengkaran terjadi. Namun, rasa penasaran pun muncul: apakah yang seperti itu ada di kehidupan nyata? Jika kejadian ini ada di dunia nyata, rasanya pasti akan berkali-kali lipat lebih parah dan rumit.
Banyak hal yang bisa kita pelajari dari film Minari ini. Tidak hanya soal gambaran mengenai keluarga imigran Asia di Amerika dalam skala besar (antar-ras dan kultur) tetapi juga dari unit terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga. Bagaimana komunikasi yang buruk bisa menjadi bensin yang siap membesarkan api kecil dan soal mimpi dan kompromi dalam pernikahan. Mimpi vs. Keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H