Mohon tunggu...
Rizqi Maulana
Rizqi Maulana Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar mengubah rangkaian pikiran menjadi kata-kata

I talk (to myself) a lot

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"The Minimalists: Less is Now", Hidup Minimalis Dimulai Saat ini Juga

3 Januari 2021   14:00 Diperbarui: 3 Januari 2021   14:07 2375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Januari 2021, The Minimalist kembali merilis film dokumenter terbarunya di Netflix. Kali ini film yang berjudul 'The Minimalists: Less is Now' membawa suasana baru ke dalam film keduanya. Sinematografi dan colour grading yang berbeda, narasumber-narasumber yang berbeda, dan visual yang jauh berbeda.

Akan tetapi segala yang berbeda ini tidak membuat kita lupa dengan Matt D'Avella sang sutradara karena masih ada ciri khas dirinya dalam film ini. Sayangnya, film ini memberikan pengalaman yang berbeda jauh dari film pertama. Bagi yang sudah menyaksikan film pertama atau yang sudah menonton video-video The Minimalists pasti akan merasakan.

Jalan cerita film ini masih sama dengan film sebelumnya. Sudut pandangnya pun masih sama: hidup dengan barang yang diperlukan dan menghidari compulsive consumption.

Bagian yang membedakan adalah narasi dari Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus di film ini jauh lebih banyak. Hampir separuh film berisi perjalanan mereka dari yang sebelumnya maksimalis menjadi minimalis seperti sekarang.

Jika di film Minimimalist pertama berfokus ke sudut pandang para narasumber dalam menjalankan minimalisme. Porsi bicara mereka bisa dibilang sama besar mencakup berbagai bidang. Ada yang berasal dari dunia akademik, hiburan, jurnalistik, penulis, dan konten kreator.

Selain itu, film pertama tidak hanya membahas soal gaya hidup minimalisme (hidup dengan barang yang dibutuhkan dan memberikan nilai bagi hidup), tetapi juga membahas gaya hidup lain yang membantu kita, yakni meditasi.

Sedangkan dalam The Minimalists: Less is Now fokus cerita lebih mengenai dunia konsumerisme yang menimbulkan masalah, media sosial dengan segala algoritmanya yang membuat kita terjebak di lingkaran konsumerisme tadi, hingga sisi psikologi manusia yang terbentuk, entah karena apa, untuk mengaitkan emosinya kepada barang.

Informasi-informasi baru masih bisa kita dapatkan, terutama tentang fakta di balik layar tentang perusahaan yang memberikan kemudahan dalam berbelanja. Ternyata, kecepatan dan kemudahan berbelanja memang bagai pisau bermata dua.

Jika kita bisa mengendalikan diri, maka itu akan menjadi sebuah anugerah. Akan tetapi, jika kita justru yang dikendalikan, hasilnya adalah seperti yang disebut di atas: terjebak di lingkaran setan konsumerisme.

Pengaruh Media Sosial

Kalau ada yang bisa di-highlight dari film ini adalah mengenai sisi psikologi manusia setelah mengenal media sosial. Kita yang sering terpapar informasi-informasi di media sosial, disadari atau tidak, akan membandingkan diri dengan orang lain, terutama public figure. Perasaan tidak lebih keren, lebih baik, dan tidak lebih layak pada akhirnya akan membebani pikiran hingga kita fokus mencari jalan keluarnya.

Sayangnya, jalan keluar yang dipilih sering kali dibuat dalam keadaan tertekan dan tanpa proses berpikir panjang. Algoritma media sosial dengan ajaibnya akan mendekatkan kita kepada iklan-iklan yang seolah berkata, "Beli barang ini, maka kau akan terlihat keren."

Dengan model yang cantik-jelita atau yang berbadan atletis dan terkesan macho, kita secara tidak sadar akan terbujuk rayuan iklan itu dan akhirnya membeli barang tersebut. Hasilnya?

Tentu sia-sia, karena akan selalu ada yang memiliki lebih dari kita sehingga lama-kelamaan akan muncul mindset 'memiliki barang ini akan membuatku terlihat lebih keren' atau 'aku akan naik level dengan memiliki barang yang sama seperti artis X'. Kembali lagi: lingkaran setan konsumerisme.

Emosi dan Memori vs. Barang

Salah satu hal yang menarik di film kedua ini adalah penjelasan Joshua mengenai kebiasaan manusia mengaitkan emosi dan memori kepada barang. Jadi kita sering berdalih menyimpan barang karena ada ikatan emosi yang kuat dengan barang itu.

Biasanya, ada memori sebuah kejadian yang ingin dikenang. Namun, menurut pengalaman Joshua, memori dan emosi terhadap suatu kenangan tidak berada di barang, melainkan di dalam diri kita sendiri. Apalagi memori yang dimaksud adalah memori terhadap orang lain: anak, orang tua, pasangan, teman-teman, dan lain-lain.

Memang ada beberapa barang seperti foto, video, atau cendera mata yang bisa disimpan untuk mengingatkan kita akan sebuah kenangan. Akan tetapi jika sudah membuat tempat tinggal kita berantakan dan menyesakkan diri, ada baiknya kita menyortir barang-barang tersebut dan mulai menentukan mana yang bisa disimpan dan mana yang sebaiknya dilepas. 

Sedikit mengutip dari master bersih-bersih terkenal, Marie Kondo, barang-barang seperti ini masuk ke dalam sentimental items. Sering kali proses bersih-bersih atau decluttering akan terhambat di proses ini, karena kita sulit melepaskan emosi dari barang dan kenangan. Jika ada dari pembaca yang ingin mengurangi barang tapi takut untuk melepaskan sentimental items, cara-cara memilah sentimental items dari Marie Kondo berikut bisa digunakan.

Dibandingkan dengan film pertamanya, film kedua ini tidak memberikan informasi yang 'baru'. Seperti yang dijelaskan di atas, cerita perjalanan The Minimalists memakan porsi lebih banyak dibanding narasumber lain. Sayangnya, jalan cerita tersebut sudah dijelaskan di TedTalks mereka beberapa tahun lalu.

Alur ceritanya pun sama persis hanya visual dalam film jauh lebih indah dan dibuat sedemikian rupa agar terlihat lebih artistik. Jika tidak ada akses untuk melihat film ini secara legal, saya sarankan melihat speech mereka di YouTube. Isi speech di sana adalah sebagian besar cerita di film ini.

Efek lain dari banyaknya porsi cerita The Minimalists adalah berkurangnya bagian cerita dari narasumber lain. Narasumber yang muncul pun tidak sebanyak film pertama. Hanya di film kedua ini ada pengalaman dari banyak orang yang sudah merasakan manfaat dari gaya hidup minimalis.

Menyaksikan film ini akan memberikan informasi baru bagi orang-orang yang ingin menjalankan gaya hidup minimalisme. Menggabungan informasi dan pengetahuan dari kedua film The Minimalists akan memberikan pondasi yang cukup untuk memahami 'how to' dan 'why to' dari minimalisme.

Setidaknya kita tidak akan menganggap bahwa pelaku gaya hidup minimalis bukanlah orang yang hanya memiliki dua pasang baju, satu handuk, dan rumah yang kosong melompong tanpa barang.

Referensi tambahan:

A rich life with less stuff | The Minimalists | TEDxWhitefish

The Art of Letting Go | The Minimalists | TEDxFargo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun