Kalau ada yang bisa di-highlight dari film ini adalah mengenai sisi psikologi manusia setelah mengenal media sosial. Kita yang sering terpapar informasi-informasi di media sosial, disadari atau tidak, akan membandingkan diri dengan orang lain, terutama public figure. Perasaan tidak lebih keren, lebih baik, dan tidak lebih layak pada akhirnya akan membebani pikiran hingga kita fokus mencari jalan keluarnya.
Sayangnya, jalan keluar yang dipilih sering kali dibuat dalam keadaan tertekan dan tanpa proses berpikir panjang. Algoritma media sosial dengan ajaibnya akan mendekatkan kita kepada iklan-iklan yang seolah berkata, "Beli barang ini, maka kau akan terlihat keren."
Dengan model yang cantik-jelita atau yang berbadan atletis dan terkesan macho, kita secara tidak sadar akan terbujuk rayuan iklan itu dan akhirnya membeli barang tersebut. Hasilnya?
Tentu sia-sia, karena akan selalu ada yang memiliki lebih dari kita sehingga lama-kelamaan akan muncul mindset 'memiliki barang ini akan membuatku terlihat lebih keren' atau 'aku akan naik level dengan memiliki barang yang sama seperti artis X'. Kembali lagi: lingkaran setan konsumerisme.
Emosi dan Memori vs. Barang
Salah satu hal yang menarik di film kedua ini adalah penjelasan Joshua mengenai kebiasaan manusia mengaitkan emosi dan memori kepada barang. Jadi kita sering berdalih menyimpan barang karena ada ikatan emosi yang kuat dengan barang itu.
Biasanya, ada memori sebuah kejadian yang ingin dikenang. Namun, menurut pengalaman Joshua, memori dan emosi terhadap suatu kenangan tidak berada di barang, melainkan di dalam diri kita sendiri. Apalagi memori yang dimaksud adalah memori terhadap orang lain: anak, orang tua, pasangan, teman-teman, dan lain-lain.
Memang ada beberapa barang seperti foto, video, atau cendera mata yang bisa disimpan untuk mengingatkan kita akan sebuah kenangan. Akan tetapi jika sudah membuat tempat tinggal kita berantakan dan menyesakkan diri, ada baiknya kita menyortir barang-barang tersebut dan mulai menentukan mana yang bisa disimpan dan mana yang sebaiknya dilepas.Â
Sedikit mengutip dari master bersih-bersih terkenal, Marie Kondo, barang-barang seperti ini masuk ke dalam sentimental items. Sering kali proses bersih-bersih atau decluttering akan terhambat di proses ini, karena kita sulit melepaskan emosi dari barang dan kenangan. Jika ada dari pembaca yang ingin mengurangi barang tapi takut untuk melepaskan sentimental items, cara-cara memilah sentimental items dari Marie Kondo berikut bisa digunakan.
Dibandingkan dengan film pertamanya, film kedua ini tidak memberikan informasi yang 'baru'. Seperti yang dijelaskan di atas, cerita perjalanan The Minimalists memakan porsi lebih banyak dibanding narasumber lain. Sayangnya, jalan cerita tersebut sudah dijelaskan di TedTalks mereka beberapa tahun lalu.
Alur ceritanya pun sama persis hanya visual dalam film jauh lebih indah dan dibuat sedemikian rupa agar terlihat lebih artistik. Jika tidak ada akses untuk melihat film ini secara legal, saya sarankan melihat speech mereka di YouTube. Isi speech di sana adalah sebagian besar cerita di film ini.
Efek lain dari banyaknya porsi cerita The Minimalists adalah berkurangnya bagian cerita dari narasumber lain. Narasumber yang muncul pun tidak sebanyak film pertama. Hanya di film kedua ini ada pengalaman dari banyak orang yang sudah merasakan manfaat dari gaya hidup minimalis.