Mohon tunggu...
Rizki Purnomo
Rizki Purnomo Mohon Tunggu... Mahasiswa / Freelancer -

Un-football-skilled football maniac

Selanjutnya

Tutup

Bola

Zona Extraterrestrial Messi dan Kontemplasi Copa America (Part II)

9 Juli 2015   17:34 Diperbarui: 9 Juli 2015   17:34 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Kontemplasi (n.) : renungan dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh

 

Kegagalan Messi bersama Timnas Argentina (untuk ke sekian kalinya) di Copa America 2015 akan menjadi sebuah kontemplasi. Perenungan bagi dirinya sendiri dan seluruh warga sepakbola dunia.

Untuk tim semewah Argentina – dengan lini depan yang dapat membuat fans timnas Brazil menangis kala hanya melihat Diego Tardelli di pos striker mereka – seharusnya mencetak banyak gol adalah sebuah rutinitas. Sebuah jaminan akan raihan trofi yang terakhir kali mereka rengkuh pada Copa America 1993. Namun nyatanya, Messi harus menyadari bahwa performa bombastis di level klub tidak semudah itu ditularkan ke level Timnas. Messi seperti mulai dari nol lagi. Argentina (baca : Messi) sulit mencetak gol.

Harapan itu sempat ada ketika di 45 menit pertama melawan Paraguay, Argentina unggul 2 gol dan Messi mencetak salah satunya (iya, saya tahu itu hanya penalti dan pertandingan harus berakhir imbang). Ketidaksinkronan Messi dengan Argentina akhirnya tampak juga di tiga pertandingan selanjutnya. Versus Uruguay dan Jamaika (iya jamaika, mungkin anda lebih kenal Bob Marley daripada sepakbola negara ini) Argentina hanya mampu menang 1-0. Foto-foto Selfie dari para punggawa Reggae Boys dengan Messi mungkin lebih layak terpampang di halaman depan koran olahraga ketimbang pertandingan itu sendiri.

Quarter-final melawan Kolombia, Messi dan kolega tak bisa berbuat apa-apa dan perbedaan kedua tim harus ditentukan lewat adu tendangan penalti. Argentina lolos via tembakan terakhir Carlos Tevez. Namun Messi kembali dihujat. Sang protagonis utama kembali gagal mencetak gol.

Semifinal kontra Paraguay, musuh yang sama seperti di fase grup. Argentina menang besar 6-1! Publik bergejolak. Walau mereka tahu tak ada nama Messi di daftar pencetak gol. Tapi itu termaafkan karena Messi mampu menampilkan permainan luar bisa. Memimpin armada serang Argentina dan mengkreasi beberapa gol (dan membuat dua pemain Paraguay mendapat perawatan medis).

------

Final, menghadapi sang tuan rumah Chile. Trauma kegagalan di Maracana setahun lalu sempat mengemuka. Namun tak cukup kuat untuk menyembunyikan betapa diunggulkannya Argentina. (Beberapa Cules sudah menyiapkan khotbah paling dahsyat untuk menyudahi duel legendaris bertajuk Siapa-yang-lebih-hebat-Messi-atau-Ronaldo?).

Tapi takdir berkata lain. Chile benar-benar memanfaatkan perannya sebagai tuan rumah dalam turnamen kali ini. Sangat tipikal tim tuan rumah. Dukungan puluhan ribu suporter, sedikit keberpihakan wasit dan ditambah acting memukau Gonzalo Jara memudahkan La Roja melaju sampai partai puncak menantang Argentina.

Final pun berakhir anti-klimaks untuk Messi dan negaranya. Mimpi Argentina hancur berkeping-keping, lebih parah dari Ferrari Arturo Vidal pasca kecelakaan lalu lintas. Trofi idaman Messi melayang jauh, lebih jauh dari tendangan Gonzalo Higuain ketika adu penalti.

Sebelumnya, menyeruak kabar tidak sedap bahwa Messi berseteru dan dianggap terlalu mencampuri keputusan pelatih Gerardo Martino. Messi kecewa. Seusai pengalungan medali runner-up Messi langsung melepaskannya lagi dari lehernya. (Beruntung tidak ada tong sampah di dekat podium juara). Bahkan Messi menolak diberikan penghargaan most valuable player.

Layakkah itu semua?

Sepertinya anda harus beranjak dari hingar bingar kosmis yang mengagungkan Lionel Messi. Publik sepakbola harus paham bahwa Barca’s Messi adalah hal yang berbeda dengan Argentina’s Messi. Sebuah anomali sepakbola.

Perannya di lapangan hijau juga terus berevolusi. Semakin advance. Berubah menjadi Messi yang lebih komplit di mana beban maha-berat akan selalu berada di pundaknya. Sendirian.

Si nomor 30 kini sudah berubah menjadi nomor 10 sejati. The Perfect number 10. Layaknya trequartista a la Italia. Seorang pemain dengan kapasitas mumpuni dalam playmaking role. Pusat dari segala macam aktivitas dan serangan tim. Ban kapten di lengan makin mengukuhkan dirinya sebagai pemilik sahih nomor 10 kebanggaan tim Tango.

A talisman, captain, leader.

Sebuah tanggung jawab untuk seluruh rakyat Argentina. Sekaligus beban yang makin nyata terlihat dari sorot matanya.

Wajar bila Messi tak bisa terima harus gagal di dua final kejuaraan level Timnas. Menjadi nomor dua bukanlah habitatnya. Wajar dia menolak mendapatkan award pemain terbaik turnamen. Bukan itu yang ia cari. Sudah terlalu banyak gelar dan rekor pribadinya. Menerima award tersebut hanya akan menambah mainan baru untuk Thiago Messi.

Biarkan Messi bersedih. Yang ia butuhkan saat ini adalah sedikit perenungan dan berharap publik tak terlalu mendewakan dirinya - menganggap dirinya makhluk surgawi yang tak punya cacat sama sekali.

Dan tampaknya kita harus kembali pada kenyataan bahwa Messi hanyalah seorang manusia. Dialah yang harus berjuang melewati zona extraterrestrial-nya. Zona yang masih sangat sulit ia lewati. Sebuah zona khusus bagi elite sepakbola yang mampu menempatkan negaranya di puncak tertinggi. Dan sebuah zona di mana orang-orang berhenti membandingkan Messi versi Blaugrana dengan Messi versi Albiceleste.

------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun