Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Umur 23 Tahun, Kamu Udah Ngapain Aja?"

27 Maret 2021   10:21 Diperbarui: 27 Maret 2021   15:03 4152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh JOLITA MO (jolitamo.com)

Kemarin (26/3), jagat Twitter +62 ramai gara-gara selebgram Awkarin beli hotel di umur 23 tahun. Sobat misquin, sobat ambyar, umat rebahan, kaum medioker, hingga jemaah pengangguran pun berkumpul jadi satu padu--dari yang curhat, curcol, sampai yang coba-coba ngasih wejangan agar kita ngga gampang insecure.

Sekilas intermeso. Momen berkumpulnya komentar netizen itu bikin saya mikir, kalau perlu kenapa ngga sekalian bikin serikat, ya, biar ada rasa senasib dan sepenanggungan yang menyatukan warganet (biar kamu ngga ngerasa benar-benar sendirian gara-gara menanggung beban hidup yang... ah, sudahlah, yha nga si, he he). Nanti bisa pakai slogan begini, "Sobat misquin sedunia, bersatulah!" (He he. Ok, garing~)

Awkarin (Sumber: Instagram @awkarin)
Awkarin (Sumber: Instagram @awkarin)
Balik lagi ke topik Awkarin dan umur 23 tahun.

"Umur 23, Awkarin udah bisa beli hotel. Lah, Gue apa kabar?" kira-kira begitu yang ada di benak netizen.

Kalau kilas balik ke umur 23 (2 tahun yang lalu), saya juga tak berbeda jauh dengan umat manusia rata-rata. Masih bingung nyari kerja apa yang pas di hati tapi juga pas di rekening, masih kinyis-kinyis keluar dari dunia kampus, masih jadi beban orangtua, sempat merasakan betapa menderitanya punya predikat sebagai 'pengangguran', baru selesai patah hati dan belajar move on dari mantan, lingkar pertemanan yang makin mengecil, struggling dengan lingkungan baru, dan seterusnya...

Bahkan, sampai saat ini saya masih terus berjuang~

Iya, berjuang melawan sambil menerima quarter life crisis. Dan entah sampai kapan akan berakhir, apakah ada ujungnya? Yang jelas, sekarang saya sudah bisa (sedikit) legowo dan coba menjalani hidup seperti air mengalir.

Baca juga: Minari dan Makna Rumah di Tanah Asing

Seandainya saya bisa merangkum jawaban 'bagaimana cara menghadapi quarter life crisis' dengan satu kata, saya akan bilang: "Hadapilah!" Memang tidak mudah, saya tahu. Tapi bukan berarti tidak bisa, kan?

Kita bisa mencari berbagai artikel tips menghadapi quarter life crisis di mesin Google. Ada banyak konten clickbait yang--setidaknya--sedikit membuahkan harapan pada diri kita sendiri. Yang perlu diingat bahwa tak ada cara yang 100% paling manjur buat mengatasi krisis menuju kedewasaan ini.

Ilustrasi oleh JOLITA MO (jolitamo.com)
Ilustrasi oleh JOLITA MO (jolitamo.com)
Seorang tetangga penjaga warung di dekat rumah saya kerap memutar lagu-lagu yang dinyanyikan Hindia, lengkap dengan volume kencang. Lirik salah satu tembangnya terngiang-ngiang di kepala saya, katanya: Kuatkanlah dirimu // Atas pertanyaan yang memburu // Tentang masa depan, pernikahan, pendidikan, pekerjaan, keimanan.

Seolah-olah nyanyian itu merupakan mantra untuk dirinya sendiri. Soal mantranya manjur atau tidak, hanya dirinya sendiri yang tahu.

Sejak lulus SMA beberapa tahun lalu hingga menginjak usia awal 20-an, tetangga saya itu masih menganggur. Tentu saja, ia berusaha melamar pekerjaan, namun jalan yang dilalui tak selalu mulus.

Baca juga: Ghosting dan Hal-hal yang (Rasanya) Tak Selesai

Selain tetangga saya dan diri saya sendiri, masih ada ribuan hingga jutaan generasi Z dan milenial yang bergumul dengan asam-pahitnya kehidupan.

Ada yang di usia 25 tahun belum lulus kuliah dan terancam DO, ada yang di usia 21 tahun sudah dituntut bekerja serabutan dan ngga sempat merasakan duduk di bangku PTN/PTS, ada yang di usia 26 tahun masih nganggur, ada yang di usia 28 tahun masih setia melajang atau ngga pernah punya pengalaman seperti apa rasanya pacaran itu, dan itu semua sah-sah saja.

Kalau kata pepatah abad 21, "Hidup itu bukan balapan. Selow aja. Start setiap orang beda-beda."

Menyinggung generasi Z dan milenial, saya menduga kalau yang nge-tweet soal Awkarin dan umur 23 itu, ya, hulunya dari kedua generasi tersebut. Ini bukan tanpa alasan. Soalnya, struktur kependudukan Indonesia dalam periode belakangan didominasi oleh generasi Z dan milenial cum sejak 2020 kita menghadapi pandemi yang berujung pada kelesuan ekonomi.

Bayangin aja, menurut data BPS tahun 2020 (dikutip dari Harian Kompas) ada sekitar 191 juta penduduk usia produktif (15-64 tahun). Sementara yang belum produktif (0-14 tahun) ada 16 juta jiwa dan penduduk yang sudah tidak produktif (65 tahun ke atas) berjumlah 63 juta jiwa.

Generasi Z (1997-2012) dan milenial (1981-1996) termasuk dalam usia produktif. Kalau ditotal, kedua generasi ini berjumlah 144,31 juta atau lebih dari separuh total penduduk. Namun ironinya, akibat pandemi angka pengangguran didominasi oleh kedua generasi ini. Kalau dirinci, kelompok usia 20-24 tahun ada 2.756.019 yang menganggur, disusul kelompok usia 15-19 tahun ada 1.624.465 orang.

Besarnya proporsi usia produktif itu sebetulnya bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan angka kesejahteraan. Diperkirakan pada 2030-2040 Indonesia diprediksi akan mencapai puncak bonus demografi, itu pun dengan syarat Indonesia bisa bangkit dari efek pandemi disertai dengan kebijakan pemerintah yang tepat guna.

Dalam situasi kelesuan ekonomi seperti sekarang dan sebagai generasi milenial medioker, saya pun jadi ikut cemas, bisakah kita semua melewati aral ini?

Awkarin itu hanya segelintir di antara orang-orang yang beruntung dan punya privilese. Persentasenya sedikit sekali jika dibandingkan dengan angka pengangguran di atas. Jadi, wahai sobat misquin, buang jauh-jauh perasaan insecure-mu itu!

Intinya, jangan membanding-bandingkan diri kita dengan pencapaian hidup orang lain. Hidup ini memang kurang ajar, Lur. Akui, terima, hadapi, dan fokus selesaikan momen saat ini jauh lebih baik daripada overthinking terus-terusan dan cuma bisa jalan di tempat.

Boleh saja Awkarin beserta kaum muda 'sukses' lainnya dijadikan dambaan tentang imaji bahkan goals sukses-di-usia-muda. Tak ada yang keliru dengan jargon sukseslah-di-usia-muda. Siapa sih yang tak bangga saat sebelum usia 25 bisa dapat gelar magister di luar negeri atau bisa beli rumah bahkan beli hotel seperti Awkarin? Tentu saja bangga.

Hanya saja, jargon seperti itu sangat mudah jadi bahan obralan. Kalau jargon sukseslah-di-usia-muda terpatri di pikiran terlalu dalam, secara tak sadar kita jadi manusia obsesif.

Sejauh ini, saya belajar bahwa hidup itu bukan melulu yang kita inginkan. Sewaktu zaman SD bolehlah kita merangkai mimpi dan cita-cita setinggi langit. Tetapi, saat memasuki usia dewasa dan menyadari tak semua yang kita angankan 100% terwujud, berarti waktunya kita belajar tentang kompromi. Semakin dewasa, hidup kita penuh dengan kompromi.

Sebagai penutup, saya ingin menyinggung lagi intermeso receh di awal paragraf. Apakah sudah waktunya kita bikin konsolidasi generasi Z dan milenial supaya bisa saling support ketahanan mental dan berjuang meraih bonus demografi? Oh, ya. Tentu saja calon konsolidasi ini perlu dibedakan dengan 'perwakilan' milenial di pemerintahan yang suka banyak gimmick. He he.

Baca juga: Buku dan Televisi, Dua Tembok Pembatas Antara Saya dan Ibu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun